Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Mengenang Yuri Gagarin, Manusia Pertama Penjelajah Luar Angkasa 64 Tahun Lalu
12 April 2025 13:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Sebuah patung laki-laki dipahat tersenyum sumringah, berdiri bisu di sudut Taman Mataram. Tangannya membentang, sorot matanya yang tajam namun teduh lurus menatap langit yang pernah dijamahnya.
ADVERTISEMENT
Ia adalah Yuri Alekseyevich Gagarin, manusia pertama yang menembus batas bumi 64 tahun lalu tepat pada 12 April 1961. Kini, ia membeku dalam perunggu di jantung Jakarta.
Tak banyak yang mengenalnya, tak banyak pula yang sadar, bahwa sosok bisu itu pernah disambut hangat Presiden Soekarno.
Yuri bahkan menerima Penghargaan Tertinggi Kelas II Republik Indonesia. Ia disebut sebagai putra bangsa oleh sang proklamator, kehormatan langka bagi seorang warga asing.
Kini ia berdiri sendiri, ditatap burung dan pelintas jalan, tak sedikit yang menatapnya bingung, bertanya-tanya siapa gerangan laki-laki asing yang selalu tersenyum menatap langit.
Padahal senyumnya menyimpan cerita historik peradaban manusia, simbol pencapaian ilmu pengetahuan, simbol hubungan erat Timur dan Indonesia yang dikaburkan waktu, yang pelan-pelan dikaburkan dari sejarah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kalimat singkat ini menjadi legenda setelah Yuri mengucapkannya sesaat sebelum roket Vostok 1 lepas landas pada 12 April 1961.
Poyekhali jadi simbol semangat dan keberanian manusia pertama yang menembus luar angkasa. Setelah itu, Yuri pun tercatat dalam sejarah peradaban manusia sebagai orang pertama yang mengorbit bumi selama 108 menit.
Namun dalam ingatan masyarakat Indonesia, namanya tidak setenar Neil Armstrong, astronot NASA yang pertama kali menginjakkan kaki di bulan 8 tahun setelah Yuri.
Tak banyak yang tahu, bahwa ambisi NASA mendaratkan Armstrong ke bulan didasari oleh keberhasilan Yuri terbang ke angkasa.
40 Hari setelah Yuri berkelana di angkasa, Presiden Amerika Serikat saat itu, John F Kennedy berpidato di depan kongres, meminta AS bersiap mendaratkan astronotnya di bulan.
ADVERTISEMENT
Pidato ini pun menjadi titik awal perang terbuka antara AS dan Uni Soviet untuk saling unjuk teknologi, gengsi, dan kekuasaan di luar batas atmosfer.
Bertahun-tahun kemudian, kedua negara adidaya itupun saling adu gengsi, tak mau kalah satu sama lain. Soviet mengirim satelit, wahana robotik, bahkan anjing bernama Laika.
Sementara AS membangun NASA, mengembangkan roket Saturn V, dan mengorbitkan astronot dalam misi-misi Gemini dan Apollo.
Perang teknologi ini berlangsung sengit dan sunyi, seluruh dunia kagum melihat dua negara super power saling unjuk gigi menjadi paling hebat dalam mengeksplorasi langit.
Pembalasan telak AS terhadap Uni Soviet tercatat pada 20 Juli 1969, saat Neil Armstrong menjejakkan kaki di Bulan.
Peluncuran ini dibuat meriah. AS saat itu sengaja mempertontonkan keberhasilannya ke seluruh penjuru dunia. Seluruh dunia diajak menyaksikan kemenangan AS lewat layar televisi.
ADVERTISEMENT
Tak heran mengapa kemudian dunia lebih mengenal Armstrong dengan kutipan legendarisnya “Satu langkah kecil bagi seorang manusia, satu lompatan besar bagi umat manusia,” saat menginjakkan kaki di bulan ketimbang Poyekhali Yuri Gagarin.
Satu kesalahan publikasi Uni Soviet saat itu adalah tidak tidak menyiarkan langsung penerbangan Yuri Gagarin. Membuat publik akhirnya tidak kenal dengan Yuri jika dibandingkan dengan Armstrong.
Sementara Indonesia, saat itu sedang transisi Orde Lama menuju Orde Baru, pergeseran kekuasaan dari Sukarno yang pro Timur yang dekat dengan blok komunis menjadi Soeharto yang pro Barat.
Pasca krisis politik dan ekonomi yang terjadi setelah peristiwa 1965, pengaruh Timur yang lebih identik dengan blok komunis dan hubungan dekat dengan negara-negara seperti Uni Soviet dan China, mulai diredam secara perlahan termasuk sejarah Yuri Gagarin melintasi angkasa.
ADVERTISEMENT
Dengan perubahan cermin politik luar negeri Indonesia yang beralih dari blok Timur ke blok Barat dan pengaruh media global yang mendominasi narasi sejarah, Neil Armstrong akhirnya menjadi nama yang lebih familiar di Indonesia ketimbang Yuri Gagarin.
Bahkan hingga saat ini, nama Yuri Gagarin tidak ditulis dalam buku pelajaran sejarah sekolah sebagai pionir perang dingin AS-Rusia di luar angkasa.
Masa Reformasi, Normalisasi Hubungan Indonesia dan Rusia
Setelah jatuhnya Orde Baru dan terjadinya Reformasi pada 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam hubungan luar negeri yang lebih bebas dan terbuka.
Indonesia pun membangun ulang hubungan diplomatiknya dengan Rusia. Seiring berjalannya waktu, hubungan bilateral antara Indonesia dan Rusia semakin baik, terutama dalam bidang ekonomi, militer, dan kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Patung perunggu Yuri setinggi 282 cm dan berbobot 500 kg karya seniman Rusia Alexei Dmitrievitch Leonov yang diresmikan 2021 lalu oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar, Duta Besar Rusia untuk RI Lyudmila Vorobieva, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menjadi simbol hubungan bilateral Indonesia dan Rusia yang semakin baik.
“Kehadian patung Yuri Gagarin memaknai keeratan warga Jakarta dengan Rusia, khususnya dalam mendukung sejarah 70 tahun hubungan kedua negara serta menciptakan ruang terbuka hijau yang sejuk dan nyaman bagi publik Jakarta,” kata Anies saat meresmikan patung ini di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu 10 Maret 2021 lalu.