Menjadi Komuter, Cara Hemat Hidup di Jabodetabek

29 November 2024 22:33 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komuter Foto: Haya Syahira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Komuter Foto: Haya Syahira/kumparan
ADVERTISEMENT
Langit Kota Bogor masih gelap ketika Arvin Belva (26) memulai paginya. Jarum jam baru melewati angka 5 sedikit, tetapi ia sudah rapi dengan kemeja putih yang sudah disiapkan istrinya sejak tadi malam.
ADVERTISEMENT
Pelan-pelan ia menuntun motornya keluar dari halaman rumah di kawasan Padjajaran, Bogor, lalu tanpa ragu tancap gas menuju Stasiun Bogor yang berjarak tak sampai 10 menit dari rumah.
Bagi Arvin, ini adalah rutinitas pagi yang biasa. Rutinitas yang sudah 3 tahun lebih ia jalani. Meski lelah, Ia mengaku rela menjadi komuter Bogor-Jakarta untuk menghemat uang demi kebutuhan yang lebih penting. Pola hidup itu saat ini dikenal sebagai frugal living.
“Awalnya kalau dibayangin capek sih, tapi lama-lama jadi kebiasaan. Sebagai pemegang prinsip frugal living, ini pilihan yang paling masuk akal sekarang.” kata Arvin kepada kumparan, Kamis (28/11).
Di atas kepalanya semburat warna jingga mulai muncul, tanda ia harus berpacu dengan sang fajar. Arvin harus tiba tepat waktu di peron 5, demi mengejar baja beroda di jalur merah yang akan membawanya ke jantung kota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Rintangan sebenarnya baru dimulai di dalam gerbong kereta tempat Arvin dan ratusan penumpang lainnya yang saling berebut tempat.
Kursi kosong habis tak tersisa, Arvin lagi-lagi harus bersabar berdiri di sudut sempit antara pintu dan pembatas kursi dekat pintu otomatis yang seharusnya dihindari karena berbahaya, sambil menikmati perjalanan 90 menit melewati 21 stasiun hingga sampai di Stasiun Juanda.
Sebagai karyawan perusahaan pelat merah, datang terlambat ada di daftar pertama yang harus dihindari. Dengan KRL ia bisa tiba di kantornya tepat waktu tanpa khawatir pengeluaran bulanan membengkak karena biaya bensin dan tol.
“Kalau dihitung rata-rata butuh 1,5 jam lah buat sampe kantor, untungnya kantor gue lokasinya deket Stasiun Juanda, enggak perlu transit juga cuma perlu sabar,” kata Arvin.
ADVERTISEMENT
Ide untuk tinggal menetap di Jakarta bersama keluarga kecilnya beberapa kali terlintas di benaknya. Hanya saja dengan penghasilan bulanannya, Arvin merasa tinggal di kota satelit seperti Bogor adalah pilihan paling rasional untuk menekan pengeluaran.
“Menurut gue, beli rumah di Jakarta itu enggak worth it. Yang dicari dari rumah kan kenyamanan. Di Jakarta, kenyamanan itu mahal,” ujar Arvin tegas.
Tidak jauh dari Bogor, Syahidan (25), seorang perantau asal Jambi, juga memilih menjadi komuter. Baginya, akses mudah ke transportasi publik adalah syarat mutlak dalam memilih lokasi kosannya saat awal merantau 2 tahun lalu.
Pilihan pun jatuh di kawasan Ciputat, kawasan ini menurutnya ideal karena tidak begitu jauh dari Stasiun MRT Lebak Bulus.
ADVERTISEMENT
“Ke mana-mana gampang, rasanya kayak tinggal di Jakarta, padahal mepet Jakarta,” katanya sembari tertawa kecil.
Ia tidak sabar menunggu pembangunan lanjutan rute MRT dari Bundaran HI ke Ancol rampung. Dengan begitu ia tidak perlu lagi menggunakan ojek online dari Stasiun Bundaran HI menuju kantornya di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Selatan.
“Sekarang masih agak ribet sih harus nyambung-nyambung ke transportasi lain, mesti dipanjangin ini rute MRT sampe Jepang,” kata Syahidan berseloroh.
Sementara itu, seorang komuter asal Tangerang, Nissi Elizabeth (24) juga harus menempuh perjalanan panjang setiap harinya. Dibanding Arvin dan Syahidan, Nissi harus bangun lebih pagi karena rute yang ditempuh lebih panjang dan rumit.
Ia harus transit antar moda menggunakan KRL dan LRT untuk menuju kantornya di Kelapa Gading.
ADVERTISEMENT
Memilih bertahan sebagai komuter memang melelahkan bagi Nissi, namun membayangkan kesempatan untuk tetap dekat dengan keluarga menurutnya setimpal.
“Hitungan ongkosnya KRL dari Cisauk sampai Klender Rp 5 ribu, lanjut ojol dari Stasiun KRL ke LRT Velodrome Rp 12 ribu, ongkos LRT dari Velodrome sampai Boulevard Utara Rp 5 ribu,” kata Nissi merincikan perjalannya.
“Total ongkos pulang pergi plus parkir motor di Stasiun Cisauk Rp 54 ribu per hari. Kalau dikali 22 hari kerja, sebulan kurang lebih Rp 1,1 juta,” tuturnya.
Cerita perjalanan Arvin, Syahidan, dan Nissi dengan pilihannya menjadi komuter bukan hanya sekadar rutinitas harian. Bagi mereka, ini adalah perjalanan menuju hidup yang seimbang.

Komuter Jadi Gaya Hidup di Megalopolis

Tren menjadi komuter seperti yang dijalani oleh Arvin, Syahidan, dan Nissi lambat laun menjadi suatu hal yang umum di Jabodetabek sebagai kota megalopolis yang menjadi pusat pusat ekonomi, politik, dan sosial terbesar di Indonesia. Pilihan ini menjadi rasional di tengah tingginya harga tanah dan perumahan di pusat kota Jakarta yang semakin mahal dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna bahkan mengatakan saat ini ada kecenderungan masyarakat pergi meninggalkan Jakarta dan memilih untuk tinggal di pinggirkan kota.
“Ada fenomena menarik ini, kelas menengah Jakarta itu sebagian sudah meninggalkan Jakarta dan memilih tinggal di pinggiran kota,” kata Yayat kepada kumparan, Jumat (29/11).
Kelas menengah ini memilih untuk membeli rumah di kawasan Tangerang dan Bekasi yang terintegrasi dengan transportasi publik. Fenomena perpindahan penduduk ke pinggiran kota ini disebut dengan urban exodus.
“Jakarta Pusat adalah wilayah dengan penduduk yang berkurang tapi wilayah Jakarta Timur (meningkat) hampir 3 juta, wilayah Jakarta Selatan juga di atas 2 juta Itu menunjukkan bahwa fenomena ini (urban exodus) juga terjadi,” tuturnya.
Namun ada karakteristik khusus urban exodus di Jabodetabek, mereka memilih pindah ke pinggiran kota yang masih terjangkau oleh transportasi publik. Sehingga mereka bisa hidup sebagai komuter dengan tinggal di pinggir kota dan tetap bekerja di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Menurut Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Haris Muhammadun, gaya hidup komuter di Jabodetabek ini harus didukung dengan pengembangan kawasan Transit-Oriented Development (TOD) di simpul transportasi publik.
“Life style anak muda dengan memilih tinggal di area satelit bisa dijawab dengan pengembangan TOD pada lokasi-lokasi simpul transportasi publik, sehingga tetap bisa mengandalkan transportasi umum sebagai tulang punggung pergerakan,” kata Haris kepada kumparan, Kamis (28/11).
Menurut data DTKJ, terdapat peningkatan jumlah pengguna transportasi TransJakarta seiring dengan perluasan rute yang menghubungkan kota-kota satelit dengan jantung kota Jakarta.
“Kecenderungan pola tinggal masyarakat ke kota satelit juga ada, saat ini TransJakarta juga sudah beroperasi untuk menghubungkan layanannya dengan daerah mitra baik di Tangerang, Bekasi, Depok, dan lainnya,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
“Pada Juli 2024, TJ (TransJakarta) telah digunakan oleh 1,3 juta orang per hari, dan ada tren peningkatan pengguna yaitu sebesar 1,4 juta pada beberapa bulan terakhir,” tambahnya.
Berdasarkan data perkembangan transportasi DKI Jakarta per April 2024 dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, tidak hanya TransJakarta saja yang memiliki kenaikan penumpang, moda lain seperti MRT dan LRT juga mengalami kenaikan serupa.
Perkembangan Transportasi DKI Jakarta April 2024 Foto: Badan Pusat Statistik
Total penumpang MRT kumulatif Januari hingga April 2024 sebanyak 11,21 juta orang. Angka ini meningkat 15,79 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara LRT total penumpang kumulatif Januari hingga April 2024 sebanyak 360,14 ribu orang, meningkat 18,60 persen dari tahun sebelumnya.
Peningkatan ini menunjukkan bahwa masyarakat Jabodetabek sebenarnya sudah semakin bergantung dan terbiasa hidup dekat transportasi publik.
ADVERTISEMENT
“Seperti di TOD Pondok Cina Depok, contohnya, orang yang tinggal bisa bergerak ke mana-mana dengan transportasi publik baik KRL Commuter line-MRTJ-TransJakarta,” kata Haris.
Dengan berkembangnya layanan transportasi publik dan kawasan TOD, tinggal dekat dengan transportasi publik meski jauh dari lokasi tujuan bukan hanya soal kemudahan, tapi juga langkah cerdas untuk hidup lebih ringan biaya, efisien, dan ramah lingkungan.

Semakin Meluas dengan MRT Lintas Timur-Barat

Pembangunan MRT Lin Timur Barat Fase 1 Tahap 1 Foto: MRT Jakarta
Jumlah komuter juga diprediksi akan semakin bertambah dengan meluasnya cakupan layanan transportasi publik yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Jakarta.
Salah satu nya adalah pembangunan rute baru MRT Jakarta lintas timur hingga barat. Jika rute ini sudah rampung, maka masyarakat bisa menempuh perjalanan dari Tomang, Jakarta Barat ke Medan Satria, Bekasi, hanya dalam waktu 45 menit saja.
ADVERTISEMENT
“Jarak sekitar 24,5 kilometer lalu estimasi waktu perjalanan dengan MRT sekitar 45 menit,” kata Kepala Divisi Corporate Secretary MRT Ahmad Pratomo kepada kumparan, Kamis (28/11).
Selain membantu mengurai kemacetan lalu lintas Jakarta rute ini bisa menjadi solusi dari kepadatan moda transportasi lain seperti KRL dan TransJakarta yang melayani rute serupa.
Lebih lanjut Ketua DTKJ, Haris, mengatakan pembangunan rute ini jika diimbangi dengan pengembangan TOD seperti fasilitas rumah susun atau tempat tinggal di sekitar stasiun bisa menjadi ekosistem baru bagi para komuter.
Ia memprediksi kawasan Kembangan di Jakarta Barat dan Kota Harapan Indah di Bekasi akan menjadi incaran para komuter yang sedang mencari tempat tinggal dekat transportasi umum.
Menurutnya ini bisa menjadi opsi bagi MRT Jakarta untuk membangun TOD berbasis tempat tinggal di dua kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Sudah pasti di sisi barat ada Puri Kembangan dan sekitarnya, dan disisi timur ada Kota Harapan Indah di Medan Satria Bekasi,” tutur Haris.
Kini rute baru ini tengah dalam proses pembangunan. Direktur Utama PT MRT Jakarta, Tuhiyat, mengatakan proyek konstruksi ini akan selesai 2031 nanti.
“Setelah pencanangan, langkah selanjutnya ialah kita akan segera memulai proses tender yang rencananya akan dilakukan tahun depan (2025) dengan target penyelesaian proyek konstruksinya pada 2031," kata Tuhiyat dikutip dari instagram resmi MRT Jakarta @mrtjkt, Kamis (28/11).
Pembangunan rute baru ini tidak hanya membuat masyarakat Jabodetabek memiliki akses yang lebih baik untuk mobilitas harian, jika didukung dengan pengembangan kawasan TOD di lintas timur barat MRT, maka tidak hanya sekadar perubahan gaya hidup, melainkan menjadikan Jabodetabek sebagai kota megalopolis yang lebih layak huni.
ADVERTISEMENT