Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyinggung mengenai reformasi PBB saat menyampaikan pidato di Sidang Majelis Umum pada Senin (27/9) di New York.
ADVERTISEMENT
Menurut harus Retno harus ada paradigma baru di organisasi multilateral tersebut. Paradigma itu ialah semangat kolaborasi atau multilateralisme.
“Izinkan saya hari ini untuk menawarkan sebuah dunia yang menerapkan paradigma baru. Paradigma win-win, bukan zero-sum. Paradigma keterlibatan, bukan penahanan. Paradigma kolaborasi, bukan kompetisi,” kata Retno dalam Majelis Umum PBB ke-77, Senin (26/9), dikutip dari kemlu.go.id.
Lebih lanjut, Retno menjelaskan bahwa ada tiga alasan mengenai pentingnya reformasi paradigma PBB ini. Pertama, menghidupkan kembali semangat perdamaian. Retno mencontohkan kasus di dunia ketika kebencian dan ketakutan menghasilkan konflik, misalnya Palestina dan Perang Rusia-Ukraina.
“Kita harus mengubah defisit kepercayaan ini menjadi kepercayaan strategis. Dimulai dengan menjunjung penghormatan atas hukum internasional. Prinsip kedaulatan dan integritas teritorial tidak dapat dinegosiasikan,” jelas Retno.
Alasan kedua perlunya paradigma baru ini yaitu untuk menghidupkan kembali tanggung jawab bersama untuk melakukan pemulihan global. Retno menilai pandemi COVID-19 dan persaingan ekonomi global telah mendorong negara dihadapkan pada krisis.
ADVERTISEMENT
"Paradigma baru kolaborasi harus menjadi semangat PBB. Keterlibatan yang inklusif dan bermakna harus mengalahkan pendekatan take it or leave it," ucap Retno.
"Padahal, suara semua negara. besar dan kecil, maju dan berkembang harus sama pentingnya. Ini adalah dasar dari multilateralisme. Itulah mengapa kita membutuhkan PBB yang kuat dan direformasi," sambung dia.
Inisiasi yang Baik Namun Penuh Tantangan
Pengamat hubungan internasional, Hikmahanto Juwana, mengatakan pidato Menlu Retno menjadi awalan yang baik untuk mengajak negara di dunia melakukan reformasi sistem PBB. Hikmahanto menjelaskan pada sejarahnya PBB dibentuk setelah kemenangan sekutu atas kelompok fasis selama Perang Dunia II.
Sejak saat itu, PBB memiliki mandat untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Namun, sistem saat ini menempatkan pihak-pihak yang terlibat dalam perang untuk memiliki hak veto untuk menentukan arah kebijakan di PBB. Lebih lanjut, Hikmahanto melihat pemegang veto adalah negara yang dianggap memiliki power.
ADVERTISEMENT
“Namun realitasnya sekarang dinamikanya sudah berubah. Telah muncul kekuatan baru di dalam sistem internasional,” ujar Hikmahanto ketika dihubungi oleh kumparan, Selasa (27/9).
Hikmahanto juga menggarisbawahi minimnya representasi yang adil di dalam sistem PBB.
“Eropa diwakilkan oleh tiga negara, dari benua Amerika diwakili oleh Amerika Serikat. Asia hanya satu, padahal kita memiliki penduduk paling banyak, sedangkan Afrika tidak ada representasi sama sekali,” tambahnya.
Ia menilai representasi menjadi hal yang krusial dalam memastikan kebijakan yang diambil oleh PBB dilaksanakan sesuai dengan mandat yaitu menjaga perdamaian. Sedangkan saat ini, bipolaritas telah membuat kebijakan PBB cenderung berpihak padahal salah satu blok.
“Kalau sekarang ada satu resolusi yang sekiranya merugikan kubu Amerika Serikat, bisa diveto oleh mereka. Begitupun jika ada resolusi yang merugikan Rusia, akan diveto oleh mereka. Jadi permasalahan global tidak akan selesai kalau seperti ini,” tutur Hikmahanto.
Sepakat mengenai hal tersebut, pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah berpendapat restrukturisasi dengan didasarkan pada representasi setiap negara harus menjadi solusi yang diutamakan oleh Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Perlu ada keterwakilan tiap kawasan di dalam PBB, mulai dari keterwakilan agama, suku, ras, agama, dan budaya. Ini yang seharusnya ditekankan oleh Menlu RI,” jelas Teuku.
Walaupun begitu, Hikmahanto berpendapat bahwa reformasi yang dikemukakan oleh Menlu Retno tidak bisa dilakukan sendiri oleh Indonesia. Untuk menyepakati adanya amandemen piagam PBB, perlu adanya kesepakatan dari pemegang hak veto.
“Tidak kuat kalau dilihat, Indonesia perlu merangkul lebih banyak pihak jika berharap reformasi ini dapat dilakukan. Terutama negara negara pemegang hak veto,” katanya.
Penulis: Thalitha Avifah Yuristiana.