Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menteri LHK Apresiasi Taman Safari Indonesia yang Jalankan Program Edukasi Satwa
31 Januari 2024 13:05 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 16 Juli 2024 9:08 WIB
Apresiasi ini disampaikan langsung kepada Founder Taman Safari Indonesia, Jansen Manansang, dan Tony Sumampau di acara Workshop bertajuk ‘Peran LK Dalam Mendukung Upaya Penyelamatan TSL Serta Penurunan Emisi’ di Ballroom Hotel Fairmont Jakarta Selatan, Selasa (30/1).
“Kami sangat mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan dan dijalankan Pak Jansen dan kawan-kawan di Taman Safari Bogor. Ini bisa menjadi percontohan dan rujukan bagi Lembaga Konservasi di Indonesia,” ungkap Siti, seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima kumparan.
Lembaga Konservasi (LK) merupakan mekanisme pengelolaan satwa di luar habitat (ex-situ), yang dilakukan untuk mendukung pengelolaan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) di dalam habitatnya (in-situ).
Siti juga menegaskan bahwa LK untuk kepentingan umum memiliki fungsi penting yang menyatukan elemen konservasi, pendidikan, dan rekreasi yang sehat.
"LK seperti kebun binatang baik yang besar maupun kecil, Public Service Obligation-nya sangat kuat, utamanya untuk melindungi dan melestarikan (TSL), serta edukasi kepada masyarakat," terang Siti.
Tak hanya itu, LK juga memiliki aspek komersil yang memerlukan perizinan dari pemerintah. Siti menerangkan bahwa izin tersebut merupakan otoritas dari negara kepada manajemen operasional LK.
"Kalau kita lihat bahwa wildlife belong to the state atau milik negara, artinya ada constitusional rights untuk rakyat dan negara. Apabila diberikan izin maka menjadi operational rights, dan apabila izin dengan segala persyaratannya dipenuhi hingga beroperasi menimbulkan nilai ekonomi, maka jadi economic rights yang manfaatnya dapat diterima oleh masyarakat secara finansial maupun sosial," terang Siti.
Selain pengelolaan TSL, Siti mengatakan bahwa LK juga berpotensi memiliki nilai ekonomi karbon, di mana tutupan vegetasi yang ada di area Lembaga Konservasi dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang juga menyimpan dan menyerap karbon.
"Bahkan kita bisa mengembangkan nilai-nilai pembeda dari aktivitas lembaga konservasi, dengan High Conservation Value yang relevan dengan substansi karbon," tutur Siti.
Sementara itu, KLHK saat ini tengah mengimplementasikan FoLU Net Sink 2030 yang selaras dengan target dan tujuan pada Kunming Montreal Biodiversity Global Framework, Convention Biological Diversity (CBD).
"Dalam ruang lingkup FoLU Net Sink 2030, konservasi keanekaragaman hayati menjadi aksi mitigasi, misalnya melalui intervensi dalam pembinaan populasi dan habitat," jelas Siti.
Lebih lanjut, pemanfaatan nilai ekonomi karbon dari sisi status lahan di LK yang secara umum menjadi hak milik, berpeluang dikembangkan skema karbon melalui program-program Aforestasi, Rehabilitasi, dan Reboisasi (ARR). Skema karbon di Lembaga Konservasi juga dapat menjadi peluang pendapatan (financial additionality) untuk mendukung pengelolaan satwa yang lebih baik dan memenuhi standar mutu.
"Dari sinilah dapat dilihat keterkaitan erat antara perubahan iklim dengan keanekaragaman hayati, krisis iklim dapat mengubah habitat, mengganggu proses ekologis, dan meningkatkan risiko kepunahan TSL," ujar Siti.
Saat ini, tercatat 82 unit LK untuk kepentingan umum yang teregister di KLHK. Namun, Siti menyadari bahwa belum semua LK mempunyai sarana prasarana dan sumber daya yang memadai dalam pengelolaan TSL.
Siti menuturkan, perlu dibangun sebuah konsep Akademia Konservasi, di mana para staf pengelola dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan dalam pengelolaan satwa. Kemudian, pengetahuan dan sumber daya manusia yang profesional di bidangnya, antara lain seperti kurator, keeper, studbook keeper, dan penggunaan teknologi pengembangbiakan dapat berbagi pengetahuan dengan LK lain, penangkar, atau bahkan petugas-petugas konservasi di lapangan.
"Saya kira kebutuhan-kebutuhan pendidikan dan pelatihan terkait konservasi spesies satwa liar bisa diintegrasikan di sini, termasuk pengembangan akademia konservasi. Dalam pelaksanaannya bisa dibangun dalam skema kerja sama KLHK, Universitas/PT, dan TSI sebagai lembaga konservasi," kata Siti.
Menjawab keinginan Siti tersebut, Direktur Taman Safari Indonesia (TSI), Jansen Manansang, mengaku sangat siap menjadi fasilitator untuk mendukung terwujudnya wadah akademik, untuk mendidik dan melahirkan bibit-bibit praktisi yang siap berkarier di dunia konservasi dan edukasi di bidang kesatwaan.
“Kami berterima kasih atas apresiasi dari Bu Menteri. Terkait keinginan mendirikan sekolah khusus untuk melahirkan keeper-keeper satwa yang akan membantu keberlangsungan lembaga konservasi tentu kami sangat siap. Terlebih saat ini, program-program penelitian dan pelatihan untuk eksternal juga sudah berjalan bagus,” ujar Jansen Manansang.