Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konon, Atlantis tenggelam dalam semalam setelah digoncang gempa dan disapu tsunami. Tapi Jakarta bukan Atlantis, dan (semoga) masih punya waktu untuk menghindar dari nasib sial karam terbenam ―yang tak sekadar ramalan, tapi proyeksi berbasis data.
Proyeksi itu menyebut: 95 persen Jakarta Utara di bawah permukaan laut pada tahun 2050.
Berdasarkan simulasi proyeksi tersebut, misalnya, kawasan wisata Kota Tua Jakarta yang legendaris di Taman Sari, perbatasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara, akan mengalami penurunan permukaan tanah hingga 2,9 meter pada 2050.
Jakarta Utara dan Jakarta Barat memang menjadi wilayah dengan penurunan permukaan tanah paling gawat di ibu kota, yakni 25 sentimeter dan 15 cm tiap tahunnya. Selama satu dasawarsa terakhir ini saja, tanah di Jakarta Utara telah ambles 2,5 meter.
Riset soal penurunan tanah Jakarta digelar tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung sejak Soeharto masih berkuasa tahun 1997. Mereka menggunakan statistik yang telah dikumpulkan sejak 1975, bahkan mengambil data dari tahun 1925.
Sepuluh tahun kemudian, 2007, tim mengeluarkan kesimpulan penting: Jakarta berpotensi tenggelam. Selang lima tahun, 2012, tim merancang simulasi potensi Jakarta tenggelam.
“Penurunan tanah di Jakarta berkorelasi dengan proses pembangunan. Tanah mulai turun pada masa Orde Baru, sekitar tahun 1975, sejak pembangunan di DKI Jakarta dipacu secara luar biasa,” kata Heri Andreas, ahli geodesi ITB yang terlibat riset, saat berbincang dengan kumparan, Selasa (23/10).
Bagaimana pembangunan masif bisa jadi sedemikian korosif?
“Karena kebutuhan air banyak lalu menyedot air tanah dalam, plus beban bangunan dan infrastruktur berlebih,” ujar Heri.
Singkat kata, pembangunan masif Jakarta yang ditujukan untuk menyangga perekonomian kota dan negara, tak kuat disangga oleh tanahnya.
Penyedotan air tanah dalam secara berlebih diyakini Heru menjadi faktor terbesar dalam penurunan tanah Jakarta. “Bisa 70–80 persen, sedangkan faktor beban dari gedung sekitar 10 persen.”
Yayat Supriatna, pakar tata kota Universitas Trisakti, mengatakan bahwa segala sesuatu yang diambil dari dalam tanah akan menyebabkan penurunan muka tanah.
“Dengan kecepatan pengambilan air tanah secara berlebihan, terdapat struktur pori-pori tanah yang kempes. Pelan tapi pasti, tanah Jakarta semakin turun. Seperti mengempiskan bantal raksasa di bawah tanah,” kata Yayat kepada kumparan di Cawang, Jakarta Timur, Rabu (24/10).
Kenapa harus mengambil air tanah secara berlebih?
Karena Jakarta tak mampu memenuhi kebutuhan air bersih penghuninya. Perusahaan Air Minum (PAM) JAYA hanya sanggup mengalirkan tak sampai separuh dari total air bersih yang diperlukan warga Jakarta.
“Kalau bicara riil, bukan data formal, PAM baru melayani 37 persen dari kebutuhan air ibu kota,” kata Firdaus Ali, Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Sumber Daya Air.
Firdaus yang juga pakar bioteknologi lingkungan Universitas Indonesia itu menyatakan, “(Volume air) yang disuplai PAM tidak layak untuk sebuah kota, apalagi ibu kota. Jakarta krisis air . Water security Jakarta cuma 4 persen.”
Satu orang di Jakarta membutuhkan sekitar 200 liter air per hari. Jika dikalikan dengan jumlah penduduk Jakarta yang 10 juta jiwa, maka dalam sehari Jakarta membutuhkan 2 miliar liter air bersih.
Alhasil, warga Jakarta cari cara untuk memenuhi kebutuhan air mereka: menyedot air tanah.
“Air tanah paling mudah diambil, dan kualitasnya paling bagus,” kata Heri Andreas.
Ada dua jenis air tanah: air tanah dangkal pada kedalaman 16–25 meter yang biasa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, dan air tanah dalam sejauh 80–300 meter di bawah tanah.
Dari kedua jenis tersebut, ekstraksi atau penarikan air tanah dalam adalah yang paling mengancam. Penyedotan air tanah dalam secara besar-besaran biasa dilakukan oleh gedung-gedung besar seperti mal, apartemen, dan perkantoran.
Gedung-gedung yang memuat banyak orang di dalamnya itu membutuhkan pasokan air dalam jumlah besar, namun tak mendapat suplai cukup―atau tak mau membayar lebih untuk beroleh air bersih.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat melakukan inspeksi mendadak ke gedung-gedung bertingkat di ibu kota, dan menemukan sejumlah hotel memiliki catatan pemakaian air PAM yang terlalu sedikit.
Angka-angka itu tak masuk akal untuk memenuhi kebutuhan puluhan dan ratusan tamu hotel, sehingga mereka diindikasikan menyedot air tanah secara ilegal. Salah satu hotel, Sari Pan Pacific , Surat Izin Pengambilan Air Tanah-nya telah kedaluwarsa sejak 2013.
Total ada seratusan gedung yang terdeteksi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencuri air tanah. Sebanyak 56 gedung memiliki sumur resapan sedalam lebih dari 200 meter―yang artinya mereka menyedot air tanah dalam. Sementara 33 gedung, termasuk Sari Pan Pacific, izin SIPA-nya sudah habis, bahkan ada pula yang tidak memiliki izin.
Pengelola gedung-gedung itu, menurut Kepala Seksi Pemanfaatan Air Tanah DKI Jakarta Ikhwan Maulani, akan diminta untuk membayar pajak air tanah dan didenda karena telah mengeksploitasi.
Pajak air tanah sebesar 20 persen untuk kalangan industri diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2017. Regulasi ini mendorong agar pelaku industri tak menggunakan air tanah secara berlebih.
Ahli geodesi Heri Andreas berpendapat, pajak air tanah dan denda semata bukan solusi.
Ia menegaskan: satu-satunya cara mencegah Jakarta tenggelam ialah dengan menyetop total ekstraksi air tanah dalam.
“Sudah ada bukti nyata jika ekstraksi disetop, tanah akan berhenti turun. Di Singapura, air tanah tidak diambil dan tidak ada penurunan tanah,” kata Heri.
Jika itu tidak dilakukan, maka permukaan tanah akan terus turun. Padahal di saat yang sama, air laut mengalami kenaikan karena pemanasan global.
Kalau sudah begitu, pantai utara Jakarta pada 2050 diprediksi akan bergeser ke kawasan Harmoni di Jakarta Pusat, atau bahkan ke Semanggi di Jakarta Selatan.
Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Oswar Muadzin Mungkasa, mengatakan Pemprov DKI sedang menggodok grand design untuk mengatasi persoalan air tanah. Jika sesuai target, rancangan tersebut akan rampung dalam waktu enam bulan ke depan.
Rancangan itu antara lain merencanakan pendirian pos kamera pantau untuk memonitor gedung-gedung di Jakarta guna mencegah mereka terus mencuri air tanah.
------------------------
Waspada ancaman Jakarta Tenggelam . Simak Liputan Khusus kumparan.