Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menyapa Tiga Golongan Penghuni Kamp Vokasi China
4 Maret 2019 19:25 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
ADVERTISEMENT
Xinjiang, salah satu daerah Gobi (berbatu) yang tak perlu diragukan lagi keelokannya, merupakan wilayah barat China yang berbatasan dengan negara-negara di Asia Tengah, seperti Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India. Sayangnya, tempat yang sejak dulu menjadi jalur distribusi perdagangan China ke Eropa itu, rawan disusupi ekstremis.
Beberapa tahun ke belakang, negara pimpinan Xi Jinping tersebut kian memperketat keamanan Xinjiang. Salah satunya dengan membangun kamp-kamp untuk "mendidik" warga yang dianggap terpapar radikalisme. Namun, China menolak menyebut kamp ini penjara dan membantah adanya pelanggaran HAM. China justru menamakannya "Vocational Learning Center" atau Tempat Pelatihan Vokasi.
Kebanyakan warga yang menghuni kamp ini adalah warga Uighur, etnis Muslim yang mencakup 45 persen populasi Xinjiang. Meski begitu, China mengklaim ada pula orang-orang dari etnis lainnya, seperti Han, Kazakh, dan Hui yang "bersekolah" di kamp itu.
Kamp vokasi ini dibangun di prefektur yang pernah jadi lokasi serangan, yaitu Kashgar, Atush, Shule, dan Hotan. kumparan menjadi salah satu media yang mengunjungi keempatnya.
ADVERTISEMENT
Tiga Golongan
Kepala Sekolah kamp vokasi Hotan, Memeti, memaparkan tiga golongan masyarakat yang dimasukkan ke dalam kamp. “Pertama, mereka yang belum berpartisipasi tapi sudah terpapar paham radikal, ekstremis, dan teroris,” ujar Memeti saat kami kunjungi di kamp Hotan, pengujung Februari 2019.
“Golongan dua, mereka yang sudah berpartisipasi terorisme, bersifat berbahaya tapi belum berakibat fatal, kalau mereka ini sudah menyadari kesalahannya dan bisa bebas dari hukuman secara UU,” tambahnya.
Adapun golongan tiga, adalah mereka yang sudah berpartisipasi dalam teror dan ekstremis, bahkan sudah dipenjara. Setelah keluar dari penjara, pemerintah menganggap masih ada paham radikal yang melekat. Maka, dibutuhkan pendidikan dan pelatihan di kamp vokasi.
Sebelum dimasukkan ke dalam kamp, mereka menandatangani perjanjian untuk mematuhi seluruh aturan. Di dalam perjanjian itu juga tertera kriteria yang membuat mereka segera lulus. Namun, Memeti tak menjelaskan secara rinci.
“Mereka ini setelah lulus bisa kembali ke masyarakat. Masyarakat yang sama dengan yang lain,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Senyum Penghuni Kamp
kumparan berkesempatan mewawancarai beberapa penghuni kamp. Wawancara dilakukan dengan pengawasan petugas, kepala sekolah, dan pejabat setempat.
Menanggapi pertanyaan kumparan, mereka menjawabnya dengan riang, seolah merasa bersyukur berada di tempat itu karena aman dan terbebas dari ekstremisme.
Salah satunya Maidijingliang Yilimu, yang ditemui di kelas menjahit kamp vokasi Atush. Pria 30 tahun ini mengaku telah mendekam di kamp itu selama setahun.
Dia dijebloskan lantaran menonton dan mengunduh video terorisme di internet. Yilimu adalah penghuni kamp dari golongan pertama: Terpapar radikalisme.
“Saya banyak menonton video itu beberapa kali, saya lalu terpengaruh terorisme dan ekstremisme setelah menonton video itu,” ujar Yilimu.
“Saya dulu ingin menjadi salah satu dari mereka, membunuh banyak orang non-muslim,” tuturnya menjawab pertanyaan kami dengan bahasa China yang amat fasih.
Berada di kamp tersebut, Yilimu mengisi harinya dengan kegiatan keterampilan yang bermanfaat, salah satunya menjahit. “Saya juga dulu sama sekali enggak bisa bahasa China. Sekarang bisa, karena itu penting jadi bahasa standar nasional,“ katanya.
ADVERTISEMENT
(Dalam wawancara dengan Yilimu di Atush, kami dikelilingi lima hingga enam penjaga).
Yetula Tursun, penghuni kamp vokasi di Kashgar, juga penghuni kamp dari golongan pertama alias terpapar radikalisme. Dia mengaku dijebloskan pada Juni 2018 setelah kedapatan membaca buku bermuatan radikal yang dibeli dari toko ilegal.
Isi buku yang dianggap radikal itu menyebutkan bahwa Muslim harus memisahkan segala yang halal dan non-halal, termasuk larangan berteman dengan non-muslim.
“Lalu saya sebar ke aplikasi WeChat, dan saya sebarkan ke adik saya. Bahkan adik perempuan saya sampai berhenti bekerja,” ujarnya.
“Saya senang belajar bahasa China, belajar hukum, dan aturan China. Saya juga belajar mendesain pakaian, menari, paduan suara, dan basket,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Tursun sangat ramah. Dia malah meminta kami untuk mengabadikan momen bersama melalui telepon seluler yang kami pegang. Dan di kamp ini, penjagaan tak terlalu ketat seperti di Atush.
Baca juga:
ADVERTISEMENT
Human Rights Watch dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melaporkan ada satu juta warga Uighur yang ditahan di sejumlah kamp di China, termasuk empat wilayah yang kami datangi. Warga Uighur, seperti yang diberitakan media dunia, mengalami persekusi, kekerasan, hingga diskriminasi, dan dicekoki ideologi Komunis di dalam kamp itu.
Baca juga:
Namun, di hadapan para petugas dan kepala sekolah, penghuni kamp yang kami wawancarai serempak membantah laporan itu. Mereka mengaku diperlakukan sangat baik. Tak ada keluhan ataupun laporan.
Pengakuan ini juga datang dari Mamat Yusuf, 24, pria Uighur yang sudah sembilan bulan menempati kamp vokasi di Shule. Sebelum dimasukkan ke kamp ini, Yusuf bergabung dengan kelompok ekstremis.
ADVERTISEMENT
Yusuf yang masuk golongan dua penghuni kamp, yaitu berpartisipasi dalam radikalisme, mengaku tak tahu lagi ke mana arah hidupnya jika tak bergabung di kamp.
“Saya dipengaruhi dan berpendapat bahwa yang diberikan pemerintah [adalah] non-halal. Makanya saya mengancam membakar semua bantuan. Rumah bantuan dari pemerintah itu non-halal, jadi saya enggak butuh rumah dan akan membakarnya. Tapi setelah itu polisi datang dan menangkap saya,” tuturnya.
Baca juga:
Rangkaian kunjungan ditutup dengan tarian Uighur-Kazakh yang disuguhkan murid vokasi. Uighur --yang memiliki induk klan Turki-- memang sudah ditakdirkan menyihir dunia dengan tarian dan musik 12 Muqam, berlangsung sejak Dinasti Qing.