Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sesampai di depan SMP Negeri 11 Cirebon yang berada di Jalan Perjuangan Majasem (Jalan Saladara), 11 pemuda sudah menunggu mereka. Kesebelas orang itu—dalam dakwaan di persidangan—diyakini sebagai Hadi Saputra, Eka Sandy, Jaya, Supriyanto, Sudirman, Eko Ramadani, Rivaldi Aditya, Saka Tatal, Andi, Dani, dan Pegi alias Perong.
Keyakinan hakim itu didapat dari kesaksian dua pegawai cuci mobil di dekat SMPN 11, Aep dan Dede. Keduanya mengaku menyaksikan peristiwa pengeroyokan terhadap Eky dan Vina oleh kesebelas orang tadi—yang disebut sebagai kelompok geng motor Moonraker.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi Polres Cirebon dan Polda Jawa Barat yang diperoleh kumparan, Aep dan Dede menyebut tengah nongkrong di warung kopi depan MAN 2 Cirebon. Pada saat yang sama, dari jarak 50 meter, keduanya melihat lebih dari 10 orang sedang nongkrong di depan SMPN 11.
Aep dan Dede menyaksikan Eky dan Vina melintasi SMPN 11 ke arah Sumber, Kabupaten Cirebon. Eky disebut memakai jaket XTC berwarna biru kelir putih, sedangkan Vina memakai rok pendek. Keduanya berjalan beriringan dengan satu motor lain yang dikendarai teman Eky, Liga Akbar Cahyana alias Gaga Awod.
Sebelas orang yang nongkrong tadi lantas melempari Eky, Vina, dan Liga dengan batu, tapi ketiganya terus melaju. Sekitar 5 dari 11 orang tersebut kemudian mengejar Eky dan Vina dengan 4 motor. Dalam persidangan, Liga mengaku lepas dari kejaran itu karena belok ke gang di sebelah MAN 2 Cirebon. Setelahnya, ia tak tahu apa yang terjadi pada Eky dan Vina.
Sementara, Aep dan Dede masih melihat bahwa dari 4 motor tadi, 2 di antaranya memepet motor Eky dan Vina di depan MAN 2 Cirebon. Seorang yang memepet dari sisi kiri membawa balok bambu dan memukulkannya ke arah Eky.
Adegan kejar-mengejar diyakini berlanjut ke arah Sumber, tetapi dua saksi tersebut tak mengetahui kejadian selanjutnya. Karena takut, Aep dan Dede langsung pulang dari tongkrongan mereka malam itu sesaat setelah melihat pengeroyokan itu.
Tak dinyana, 1 kilometer dari MAN 2 Cirebon, Eky ditemukan tewas sedangkan Vina terluka parah di Flyover Talun. Ada warga yang melapor ke Polsek Talun sekitar pukul 22.30 WIB, dan saat dua petugas piket mendatangi lokasi kejadian, sudah banyak warga mengerubungi mereka.
Petugas piket yang bernama Suja dan Supardi, serta seorang perangkat desa bernama Suroto yang datang ke lokasi, menggambarkan kondisi Eky sudah tak sadarkan diri—yang belakangan dikonfirmasi tewas dengan posisi telungkup menggunakan helm. Saat helm dilepas, darah mengucur deras dan terlihat luka lebam di wajahnya.
Adapun Vina dalam kondisi merintih “aduh… aduh…” dengan posisi telentang. Hidungnya mengeluarkan darah, kaki kanan luka parah, dan rok pendeknya tersingkap ke bagian perut. Dalam keadaan itu, petugas melihat celana dalam perempuan itu tak menutupi semua kelaminnya sehingga kemudian ditutupinya dengan jaket.
Vina dan Eky lantas dibawa ke RSUD Gunung Jati Kota Cirebon.
Munculnya Kecurigaan Keluarga
Lewat tengah malam, pukul 01.45 WIB 28 Agustus, Vina yang koma dinyatakan meninggal di RSUD Gunung Jati. Ayah Vina, Wasnadi, datang dan melihat anaknya dalam kondisi selang oksigen telah dilepas karena sudah tak bernyawa.
Dokter jaga IGD mengatakan Vina mengalami luka memar pada kepala bagian kiri; luka terbuka di pelipis kanan; luka memar di dagu; luka terbuka di tungkai bawah kanan sisi depan, tulang kering patah; pendarahan aktif dari kedua lubang hidung, telinga, dan mulut.
“Tampak pendarahan aktif dari lubang kemaluan berwarna merah segar, encer, tanpa disertai adanya gumpalan jaringan,” kata dr. Ihda Silvia dalam kesaksiannya di persidangan.
Di RS Gunung Jati, Polsek Talun menginformasikan kepada Wasnadi, ayah Vina, bahwa putrinya mengalami kecelakaan tunggal. Laporan yang sama diterima oleh ayah Eky, Rudiana.
Rudiana dan keluarganya melihat jenazah Eky di RS yang sama dalam keadaan dahi pecah, muka lebam, gigi depan hancur, bahu kiri patah, dan dada membiru. Dari sini, Rudiana curiga putranya bukan meninggal karena kecelakaan.
Walau begitu, di malam kelam itu, baik keluarga Eky maupun Vina memutuskan untuk membawa pulang jenazah ke rumah masing-masing untuk dikebumikan.
Di rumah Vina, kecurigaan kemudian juga muncul ketika sang nenek memandikan jenazah cucunya yang tewas pada usia 16 tahun itu. Ia mengamati luka-luka di tubuh Vina.
“Ada luka di area kemaluan. Kemaluannya bengkak. Terus kaki, di tulang, ibaratnya tidak sesuai,” kata pengacara keluarga Vina, Putri Maya Rumanti dari Tim Hotman 911.
Kecurigaan kedua keluarga menguat setelah Rudiana dan Wasnadi melihat kondisi motor Yamaha Xeon berwarna hijau-kuning yang digunakan Eky-Vina tidak rusak parah.
“Menurut keterangan keluarga almarhum Vina, motornya tidak kenapa-kenapa dan HP Vina pun tidak rusak, tidak pecah atau lecet. Di situ timbul kecurigaan. Tadinya mereka percaya saja akibat kecelakaan,” imbuh Putri.
Dalam salah satu siniar , keluarga Vina sempat menyebut bahwa tiga hari setelah kejadian, mereka diminta datang ke rumah kawan Vina yang bernama Linda. Linda disebut kerasukan arwah Vina yang menceritakan kronologi kejadian nahas yang menimpanya pada malam 27 Agustus.
Peristiwa kerasukan itu sempat direkam. Ketika itu Linda mengatakan ada 12 orang yang membunuh Eky, juga membunuh seraya memperkosa Vina. Selanjutnya, beredar kabar di medsos bahwa seorang pelaku memiliki afiliasi dengan petinggi kepolisian dan kabur ke Jakarta.
Hal itu kemudian memunculkan berbagai asumsi publik soal kematian Vina. Per 25 Mei 2024, Kepolisian hanya menetapkan 11 orang tersangka (8 di antaranya sudah jadi terpidana), dan tak ada pelaku yang ditemukan kabur ke Jakarta.
Pengacara keluarga Vina menampik “keterangan arwah” tersebut menjadi asal-usul penetapan 11 orang tersangka. Putri Maya menyebut informasi (dari arwah) itu hanyalah petunjuk yang perlu digali kebenarannya.
Setelah kecurigaan-kecurigaan terkumpul, keluarga Vina bersepakat untuk menyerahkan urusan ini pada ayah Eky, Rudiana, yang kala itu menjabat sebagai Kanit Narkoba Polresta Cirebon.
“Keluarga Vina mengikuti apa saja yang diarahkan oleh bapaknya Eky, karena bapak Eky adalah anggota Polri yang dirasa bisa dipercaya untuk menelusuri siapa-siapa saja yang diduga terlibat,” kata Putri.
Tergerak untuk membuktikan kecurigaan bahwa anaknya bukan tewas karena kecelakaan, Rudiana bersama anak buahnya melakukan penyelidikan sendiri pada 31 Agustus 2016—empat hari setelah kematian Eky—di lokasi yang berada pada radius 500 meter dari tempat kejadian perkara.
Bertemulah ia dengan Aep dan Dede yang mengaku mengetahui perkara ini, termasuk mengetahui para pelakunya yang disebut biasa berkumpul di depan SMPN 11.
Hanya saja, ada perbedaan keterangan saksi di sini. Liga Akbar Cahyana, kawan Eky yang pada malam celaka itu bermotor di samping Eky, mengaku melintas di depan SMPN 11 bersama Eky pada pukul 21.15 WIB. Sementara dalam dokumen BAP, Aep dan Dede nongkrong di sekitar TKP dan melihat kejadian kejar-mengejar Eky dengan geng motor sekitar pukul 22.30 WIB.
Perbedaan keterangan waktu antara Liga Akbar dan Aep-Dede jadi tanda tanya, sebab jarak antara pukul 21.15 dan 22.30 cukup jauh, lebih dari satu jam.
Kembali ke penyelidikan Rudiana pada 2016 silam yang membuatnya bertemu Aep dan Dede, kedua saksi tersebut kemudian melapor ke Rudiana hari itu juga, 31 Agustus, pukul 17.00 WIB, bahwa kelompok yang mengejar Eky dan Vina pada 27 Agustus malam sedang berada di depan SMPN 11 Cirebon.
Rudiana beserta tim dari Satuan Reserse Narkoba Polresta Cirebon lantas menangkap kelompok yang terdiri dari Eko, Hadi, Jaya, Eka Sandy, Supriyanto, Sudirman, Saka Tatal, dan Renaldi.
Renaldi alias Aldi kemudian dilepas karena sejak awal konsisten tak mengakui terlibat dalam peristiwa tersebut. Sementara Rivaldi ditangkap dalam perkara lain, yakni penganiayaan terkait senjata tajam.
Dalam persidangan, baik Rivaldi maupun 7 orang terpidana lain sama-sama mengaku tidak saling kenal.
Dakwaan Kematian Vina: Diperkosa dan Dibunuh
Setelah kejar-mengejar terhadap Eky dan Vina hilang dari pandangan Aep, Dede, dan Liga Akbar, seluruh kejadian hanya disaksikan oleh pelaku pengejaran, korban sendiri (Vina-Eky), dan TKP yang bisu.
Dalam persidangan, polisi mengatakan sempat mengecek CCTV yang terdapat di Perumahan The Gardens di Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon. Namun rekaman CCTV itu tak bisa dibuka lantaran tidak ada operatornya.
Interogasi oleh Rudiana dkk. pada 31 Agustus terhadap 7 pelaku (minus Rivaldi yang ditahan karena kasus lain) berakhir dengan munculnya pengakuan dari 8 orang terkait, plus 3 orang yang masih buron (Pegi alias Perong, Andi, dan Dani) bahwa Eky dan Vina tewas dibunuh, serta Vina diperkosa.
Pengakuan-pengakuan hasil interogasi itulah yang membuat Rudiana melaporkan kasus ini ke Unit Reskrim sekitar pukul 18.30 WIB, masih pada hari yang sama, 31 Agustus.
Cerita bahwa ada 11 pelaku dalam peristiwa kematian Eky dan Vina itu selaras dengan dakwaan terhadap para terpidana di persidangan.
Salah seorang pelaku, Eko Ramadani, didakwa menendang motor Eky-Vina hingga terjatuh di sekitar Flyover Talun. Kejadian ini tak disaksikan oleh para saksi, yakni Aep, Dede, dan Liga Akbar, yang sudah tidak melihat ujung kejadian kejar-mengejar terhadap Eky dan Vina.
Eko disebut memukul Eky dengan bambu sebanyak dua kali; yang diikuti pukulan tangan kosong oleh Saka, Andi, Hadi, Eka Sandi, Jaya, Supriyanto, dan Sudirman; lalu pukulan kayu oleh Dani; pukulan kayu bambu dan batu oleh Rivaldi; dan pukulan tangan kosong oleh Pegi.
Sementara itu, Hadi disebut memukul Vina dengan bambu ke arah pundak, diikuti oleh pukulan tangan kosong oleh Pegi dan Dani.
Vina dan Eky yang tak berdaya lantas disebut dibawa ke lahan kosong di depan SMPN 11 Cirebon, tepatnya di Gang Bakti 1 yang berlokasi sekitar 1 km dari Flyover Talun. Di lahan kosong itu, Eky kembali dipukuli dengan tangan kosong dan bambu.
Dalam dakwaan, Rivaldi disebut menusuk Eky dengan samurai panjang dan memukul kepalanya dengan batu. Pegi lalu memukul dan menyabet samurai pendek ke tubuh Eky, diikuti tusukan oleh Dani.
Vina juga dianiaya. Ia dipukul di hidung dan kepala belakang yang membuatnya tak sadarkan diri. Dalam keadaan itu, Vina disebut disetubuhi bergantian oleh Eko, Dani, Hadi, Sudirman, Supriyanto, Eka, Jaya, dan Rivaldi. Adapun Pegi didakwa mencium dan memegang payudara korban.
Setelah disetubuhi, Vina disebut disabet samurai dan dipukuli dengan batu. Kemudian, seperti tercantum dalam dakwaan, ia dan Eky diletakkan kembali di Flyover Talun dengan posisi Eky telungkup dan Vina telentang di median pembatas jalan. Motor Eky juga ditaruh di situ.
Atas kecurigaan keluarga Eky dan Vina, penangkapan 8 pelaku dan interogasi terhadap mereka, serta laporan dugaan pembunuhan oleh ayah Eky, dilakukanlah autopsi. Makam korban dibongkar dan hasil autopsi tertuang dalam Visum et Repertum tanggal 13 September 2016.
Pada tubuh Eky, terdapat tanda-tanda trauma tumpul pada kepala berupa patah tulang di tengkorak yang dapat menyebabkan kematian. Ada juga trauma tumpul berupa patah tulang pada lengan atas, hasta kanan, tulang pengumpil kanan, luka terbuka pada dahi kiri, mata kaki, dan tungkai bawah kiri, serta luka lecet pada mata kaki kiri dan resapan darah pada bagian kulit dada.
Kemudian hasil autopsi Vina menunjukkan trauma tumpul pada kepala yang ditandai patah tulang tengkorak, trauma tumpul paha kanan dan tungkai bawah kanan. Patah tulang paha kanan dan patah tulang kering kanan yang dapat mengakibatkan pendarahan yang dapat mengakibatkan kematian.
Ada juga trauma tajam berupa luka terbuka di pipi kanan dan punggung tangan kiri, serta luka lecet pada perut dan paha kiri. Adapun hasil apus lubang kemaluan korban perempuan menunjukkan adanya sperma.
Karena itulah pelaku divonis penjara seumur hidup–kecuali Saka yang divonis 8 tahun karena masih usia anak—dengan dakwaan pasal 340 (pembunuhan berencana) jo pasal 55 KUHP jo pasal 81 ayat 1 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak (memaksa anak melakukan persetubuhan).
Tabir Lain Kasus Vina: Pengakuan Mengagetkan Terpidana
Meski pidana pembunuhan dan pemerkosaan Vina sudah berkekuatan hukum tetap, kasus ini kembali menyedot perhatian publik setelah tayangnya film Vina: Sebelum 7 Hari yang mengangkat kisah dari kejadian 27 Agustus 2016 silam.
Menurut sang sutradara, Anggy Umbara, film Vina mengusung kejadian unik lantaran ada pengalaman supranatural dari arwah Vina yang kemudian memberitahukan peristiwa kematiannya. Ia menganggap cerita sang arwah sinkron dengan temuan Kepolisian.
Tetapi, menurut Anggi, film Vina dibangun bukan berdasarkan sudut pandang kepolisian, melainkan perspektif keluarga.
“Kami filmkan berdasarkan apa yang keluarga [Vina] katakan; berdasarkan sudut pandang keluarga,” ujarnya.
Film Vina: Sebelum 7 Hari memicu dorongan publik agar tiga pelaku lain—Pegi, Andi, Dani—yang berstatus buron ditangkap.
Namun, tabir lain justru terungkap setelah satu terpidana yang sudah bebas, Saka Tatal, mengatakan dipaksa mengaku membunuh Eky dan Vina saat ia diperiksa Kepolisian.
Pengacara terpidana lain dalam kasus ini juga mengungkap perbedaan sudut pandang dan deretan kejanggalan selama proses pengungkapan kematian Vina dan Eky, mulai dari penangkapan pelaku hingga jalannya persidangan.
Jogi Nainggolan selaku pengacara 5 terpidana (Eko, Jaya, Eka Sandi, Supriyanto, dan Hadi) bercerita bahwa para terpidana sebetulnya sedang berada di Warung Ibu Nining yang berlokasi sekitar 50 meter masuk ke dalam Gang Bakti 2 di samping SMPN 11 Cirebon.
Mereka sedang nongkrong seraya menenggak minuman keras. Pukul 21.30 WIB, pemilik warung, Bu Nining, merasa terganggu dengan suara gaduh mereka sehingga mengusir kawanan itu dari warungnya.
Diusir dari warung jam 21.30, Eko cs lantas pindah ke rumah kontrakan Pak RT Abdul Pasren yang tak jauh dari sana. Di rumah itu, menurut pengacara, ada anak Pak RT, yakni M. Nadaratul Kahfi. Di situlah Eko cs menghabiskan malam hingga keesokan harinya kembali bekerja sebagai kuli bangunan.
Tetapi, cerita ini berbeda dengan pengakuan Pak RT dan anaknya (Abdul Pasren dan Nadaratul Kahfi). Pasren dan Kahfi di persidangan menyatakan bahwa Kahfi tak ikut kumpul bersama Eko cs, dan membantah kesaksian bahwa Eko cs tidur di rumah kontrakan itu.
Namun, pengakuan Pasren dan Kahfi juga dibantah oleh 4 saksi lain yang mengetahui bahwa Eko cs pindah dari warung Ibu Nining ke kontrakan Pak RT malam itu.
Mengapa kesaksian soal lokasi keberadaan Eko cs menjadi penting?
Pengacara terpidana, Jogi Nainggolan, menjelaskan bahwa kesaksian yang menyebut Eko cs ada di kontrakan Pak RT menunjukkan kliennya itu tidak ada di Flyover Talun saat Eky dan Vina tewas.
Jogi meyakini bahwa kejadian sebenarnya yang menimpa Eky dan Vina adalah sesuai dengan temuan awal Polsek Talun, yakni kecelakaan.
Jogi memandang, kliennya menjadi tersangka lantaran ayah Eky, Iptu Rudiana, mencari tahu penyebab peristiwa itu sendiri dan, bertemu dengan Aep dan Dede yang dianggap mengaitkan peristiwa kumpul-kumpul Eko cs di depan warung Bu Nining dengan kejadian tewasnya Eky-Vina.
“Aep dan Dede memberikan informasi yang sesat kepada orang tua Eky. Itulah yang dijadikan sebagai opini atau persepsi [bahwa kumpul-kumpul Eko cs di Warung Bu Nining] ada hubungannya dengan kejadian [kecelakaan], sehingga ditangkapilah mereka,” ujar Jogi.
Padahal, lanjut Jogi, mestinya Kepolisian berpegang pada fakta temuan awal di lapangan, yakni adanya bekas goresan step motor bagian kanan dengan aspal, adanya bekas benturan ke jalan, dan karet stang motor yang terkikis.
Terlepas dari tingkat kerusakan yang minim pada sepeda motor Eky, Jogi berpendapat polisi mestinya menelusuri informasi awal tersebut secara tuntas, terutama menelusuri dan mengecek CCTV—yang tidak dilakukan polisi dengan alasan CCTV tersebut tidak bisa dibuka karena tak ada operatornya.
“Di situ ada CCTV yang bisa diminta sebagai bukti untuk memperjelas kecelakaan lalu lintas. Kenapa itu tidak dilakukan?” ujar Jogi yang menegaskan hingga kini belum pernah ada tayangan CCTV di sekitar TKP yang merekam kejadian tersebut.
Jogi juga menyoroti adanya pencabutan keterangan BAP oleh 5 kliennya saat kasus kematian Vina-Eky ditarik ke Polda Jabar pada September 2016. Penyebabnya, saat dilakukan BAP di Polres Cirebon, para terpidana berada dalam tekanan.
Jogi menyiratkan tekanan yang dialami para terpidana itu berkaitan dengan kondisi mereka yang terlihat babak belur dalam foto-foto yang dirilis Kepolisian pada awal mencuatnya kasus ini.
Jogi menekankan, kliennya tidak mengenal Eky dan Vina. Mereka juga menampik terlibat dengan geng motor karena bekerja sebagai kuli bangunan. Mereka pun mengaku tidak mengenal Rivaldi maupun tiga buron lain.
Rivaldi Minta Ditembak Mati daripada Dipaksa Bunuh Vina
Pengacara Rivaldi, Widyaningsih dan Sindi Sembiring, menegaskan penangkapan kliennya tidak terkait dengan kasus kematian Eky-Vina pada 27 Agustus, melainkan kasus penganiayaan pada 29 Agustus. Tanggal 30, sehari sebelum penangkapan para tersangka kasus Vina, Rivaldi ditangkap oleh Polsek Cirebon Utara Barat.
Dari Polsek Cirebon Utara Barat, Rivaldi dipindah ke Polres Cirebon dan disatukan dengan 7 tersangka kasus Vina. Ketika itu ia sempat dikira sebagai Andika yang dianggap menjadi salah satu pembunuh Vina. Padahal ketujuh orang tersangka lain tidak mengenal Rivaldi. Begitu pula sebaliknya, Rivaldi tidak mengenal mereka.
“Tapi [Rivaldi] tetap dimasukkan [ke daftar tersangka]. Dicantumin di BAP [sebagai] Andika; enggak ada yang namanya Rivaldi. Dalam dakwaan disebut Rivaldi alias Andika, tetapi dalam tuntutannya [nama] Andika sudah hilang,” jelas Widianingsih.
Faktanya, Rivaldi dan Andika memiliki alamat berbeda. Rivaldi tinggal di Desa Pamengkang, sedang Andika di Desa Banjarwangunan. Namun Rivaldi dan Andika seolah-olah dianggap satu orang karena dalam dakwaan persidangan disebut “Rivaldi alias Andika”.
Rivaldi didakwa sebagai salah satu penusuk Eky-Vina. Padahal menurut Widyaningsih, kliennya hanya mengakui bahwa ia melakukan penganiayaan pada kasus lain. Rivaldi pun menolak menandatangani BAP kasus Vina.
Teka-teki Luka Tusuk dan Barang Bukti
Jogi juga menyoroti dakwaan luka tusuk pada tubuh Eky. Padahal hasil autopsi kedokteran forensik sebagaimana dimuat dalam Putusan PN Cirebon Nomor 3/Pid.B/2017/PN CBN dan Nomor 4/Pid.B/2017/PN CBN tak menyebutkan adanya luka tusuk. Di situ disebutkan bahwa penyebab kematian korban adalah trauma tumpul pada tengkorak.
Namun dalam dakwaan, Eky disebut terluka akibat sabetan dan tusukan samurai panjang dan pendek. Pun demikian, jaksa penuntut umum dalam persidangan hanya mengajukan barang bukti senjata tajam berupa mandau yang merupakan senjata Rivaldi pada kasus penganiayaan yang berbeda, bukan kasus Vina.
Jogi Nainggolan selaku pengacara pun mempertanyakan kejanggalan tersebut: Mengapa barang bukti dari dua perkara yang berbeda (kasus kematian Vina-Eky dan kasus penganiayaan oleh Rivaldi) disatukan di persidangan kasus Vina?
Keanehan selanjutnya ialah teka-teki soal sperma yang ditemukan di kemaluan Vina berdasarkan hasil autopsi. Sperma itu membuat para tersangka didakwa memerkosa Vina.
Padahal, ujar Jogi, para kliennya tidak pernah diperiksa secara medis (tes DNA) untuk memastikan kecocokan sperma tersebut.
“Kami tidak pernah menolak [dites DNA], tapi nggak pernah diperiksa. Sekarang menjadi bias: itu sperma siapa?” kata Jogi.
Padahal pemeriksaan mestinya dilakukan karena dakwaan kepada para tersangka menjadi lebih berat.
“Klien kami dituduh melakukan kekerasan terhadap anak, yang kemudian berkembang menjadi pemerkosaan,” ucap Jogi.
Mencuatnya Dugaan Buron Fiktif
Pengacara lima terpidana kasus Vina dan pengacara Rivaldi sama-sama menyangsikan penangkapan 11 tersangka di awal perkara, termasuk penetapan 3 orang lainnya di daftar pencarian orang (DPO), yakni Andi (23), Dani (20), dan Pegi (22). Terlebih, pengumuman DPO itu tidak disertai foto si buron.
Pengacara Rivaldi, Sindi Sembiring, menyatakan bahwa awal penetapan DPO tercipta setelah Rudiana memeriksa para terduga pelaku pada 31 Agustus 2016.
“[Setelahnya] waktu itu semua di-BAP, tapi mereka semua tidak kenal [dengan 3 DPO],” ujar Sindi.
Jogi menyebut bahwa di persidangan dahulu, ayah Eky, Iptu Rudiana, sempat menyinggung soal anaknya yang tengah berseteru dengan geng motor lain lantaran masalah asmara. Perseteruan itu terjadi sebulan sebelum kematian Eky-Vina.
Terkait hal tersebut, Sindi menduga bahwa Rudiana berpikir Eky dan Vina tewas karena perseteruan antargeng motor itu.
Alur pikir tersebut, menurut sumber kumparan di lingkaran kasus ini, membuka kemungkinan bahwa 3 DPO—yang nama-namanya muncul dari interogasi oleh Rudiana sendiri—adalah fiktif.
Informasi itu sebagian terbukti setelah Polda Jabar merilis penangkapan satu DPO atas nama Pegi Setiawan alias Robi, Minggu (26/5), dan mencoret dua DPO lain. Alasannya, menurut polisi, berdasarkan pemeriksaan terhadap para pelaku, diketahui bahwa nama dua DPO lain (Dani dan Andi) ternyata hanya asal sebut.
Polisi pun menyimpulkan bahwa Pegi Setiawan adalah tersangka terakhir dalam kasus Vina. “Jadi semua tersangka jumlahnya 9, bukan 11,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Surawan.
Pegi Bantah Terlibat: Ini Fitnah, Saya Rela Mati
Pengacara keluarga Vina, Putri Maya, menyebut kliennya tak bisa memastikan apakah Pegi yang kini ditangkap adalah Pegi yang selama ini disebut mengganggu Vina, sebab mereka tidak pernah melihat orangnya, hanya mendengar ceritanya.
Putri berharap, Pegi yang ditangkap ini ialah pelaku asli, bukan korban salah tangkap. Pihaknya juga bakal meminta penjelasan ke Polda Jabar soal alasan polisi meniadakan 2 DPO lain, sebab meski polisi bilang 2 buron sisanya hanya asal sebut nama, namun peran keduanya tertulis rinci dalam dakwaan.
Sementara itu, Pegi dan keluarganya membantah terlibat dalam kasus Vina. Ibu Pegi menyebut anaknya tengah berada di Bandung ketika Eky dan Vina tewas di Cirebon. Pengacara Pegi, Sugianti Iriani, menyebut ciri-ciri Pegi juga berbeda dengan yang tercantum di DPO Kepolisian.
Misalnya, usia Pegi versi DPO seharusnya 30 tahun pada 2024 ini, dengan ciri-ciri rambut keriting dan berasal dari Desa Banjarwangunan. Sementara Pegi Setiawan yang ditangkap saat ini berusia 27 tahun dengan rambut lurus dan berasal dari Desa Kepongpongan.
Usai kematian Vina-Eky pada Agustus 2016, rumah Pegi sebetulnya sudah pernah digeledah polisi. Namun ketika itu pun Pegi disebut berada di Bandung sejak Juli. Kala itu, menurut Marsinah sang tetangga, motor di rumah Pegi diambil polisi dan belum diambil keluarganya hingga kini.
“[Ibu Pegi] sampai syok, sakit-sakitan didatangi polisi, sampai seminggu,” kata Marsinah.
Berbeda dengan rumor yang tersebar di medsos soal Pegi sebagai pelaku utama pembunuhan Vina yang disebut anak pejabat atau petinggi kepolisian (sebagaimana disebut oleh arwah Vina), Pegi Setiawan yang ditangkap di Bandung merupakan kuli bangunan dan berasal dari keluarga tak mampu.
“Keluarga Pegi tidak mampu, makanya kami sempat memberikan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dua kali, bantuan PKH (Program Keluarga Harapan), dan kalau ada bantuan yang lain karena kondisinya [memprihatinkan] seperti itu,” ujar Kepala Desa Kepongpongan Wawan Setyawan.
Anehnya lagi, peran Pegi pada temuan polisi teranyar ini ialah sebagai pelaku utama yang mengajak gerombolan untuk mengejar Eky dan Vina. Ia juga disebut sebagai orang pertama yang memerkosa Vina.
Temuan tersebut jelas berbeda dengan dakwaan terdahulu yang menyebut Pegi “hanya” mencium dan memegang payudara korban.
Mengecam Polisi yang Keliru Menangani Sedari Awal
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai kasus Vina Cirebon memicu keriuhan dan perdebatan publik karena terdapat 4 celah dalam penanganan kasusnya.
Pertama, soal validitas pengakuan para saksi. Menurut Reza, proses penegakan hukum yang terlalu mengandalkan pengakuan atau keterangan dari pemeriksaan saksi patut dikritisi, sebab dalam kacamata psikologi forensik, perusakan fakta justru muncul dari pengakuan—yang berasal dari ingatan manusia yang mudah terpecah, terdistorsi, atau memudar dan menghilang seiring waktu.
Kedua, soal dakwaan pemerkosaan terhadap Vina. Menurut Reza, dakwaan tersebut lemah karena sperma di kemaluan korban tidak dapat dibuktikan berasal dari mana dan pada aktivitas apa: pemaksaan atau bukan?
Oleh sebab itu, menurut Reza, tindak pidana pemerkosaan terhadap Vina belum bisa dibuktikan lantaran tidak dilakukan tes DNA untuk menentukan pemilik sperma tersebut.
Ketiga, soal benar tidaknya terjadi pembunuhan, sebab temuan autopsi berbeda dengan dakwaan di persidangan sebagaimana disebutkan Jogi di atas: Hasil autopsi tak menyebut adanya luka tusuk, namun dakwaan menyebutkan soal luka sabet dan tusuk.
Keempat, berhentinya perburuan DPO setelah penangkapan Pegi. Langkah itu, ujar Reza, mengartikan bahwa Polda Jabar tengah mengoreksi putusan hakim yang sudah inkrah; padahal dalam putusan disebutkan nama lengkap DPO beserta peran mereka.
Artinya lagi, tegas Reza, Kepolisian sebetulnya mengakui bahwa kekeliruan sudah mereka lakukan sejak awal penegakan hukum kasus Vina.
“Maka sekalian saja lakukan eksaminasi (pemeriksaan) terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang telah dilakukan Polda Jabar dan Polresta Cirebon,” kata Reza.
Reza juga menyoroti kompetensi dan keabsahan Rudiana selaku ayah Eky saat menangani kasus ini.
Sejauh mana Rudiana yang sehari-hari berada di Satuan Narkoba kompeten menangani kasus pembunuhan? Dan apakah ada pengabsahan baginya untuk menangani kasus yang bukan bidang kerjanya?
“Secara internal, harus dilakukan investigasi untuk melihat apakah sudah terjadi kesalahan prosedur, kesalahan dari aspek profesionalitas dan proporsionalitas dalam penanganan kasus ini, oleh personel penegak hukum,” ujar Reza.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto sependapat dengan Reza. Terlebih, munculnya pengakuan eks terpidana Saka Tatal bahwa ia disiksa dan diintimidasi ketika diinterogasi, menurut Bambang patut diduga sebagai indikasi bahwa polisi tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan secara ilmiah (scientific crime investigation).
Kesalahan prosedur juga diduga terjadi ketika Iptu Rudiana terlibat dalam penyelidikan kasus Vina. Hal tersebut berpotensi menciptakan konflik kepentingan, bahkan membuat penanganan kasus terindikasi berlandaskan faktor emosional sehingga dipaksakan sesuai dengan persepsi penyelidik.
Oleh karena itu, Bambang mengusulkan agar Inspektorat Pengawasan Umum Polri turun tangan untuk melakukan audit investigasi terkait benar atau tidaknya administrasi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh para personel yang menangani kasus Vina 8 tahun lalu.
Bambang pun memandang Divisi Profesi dan Pengamanan Polri perlu turun tangan memeriksa. Jika terbukti ada kesalahan prosedur, personel terkait mesti dihukum dengan pemberian sanksi etik dan disiplin.
“Problemnya, Kepolisian biasanya tidak mau mengakui kesalahan. Ini harus diubah. Polisi manusia biasa yang bisa salah, makanya institusi harus meluruskan,” tutup Bambang.