Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
“Douwes Dekker yang nulis Max Havelaar itu bukan Douwes Dekker yang Tiga Serangkai?” pertanyaan luguku meluncur ketika mendengar cerita temanku soal Multatuli .
“Bukan. Ini Eduard Douwes Dekker yang meninggal 1887. Kalau yang Tiga Serangkai itu namanya Ernest Douwes Dekker, cicit dari kemenakan Eduard Douwes Dekker. Tiga Serangkai kan baru ada 1912,” panjang lebar ia menjelaskan.
Seketika mulutku terbuka membulat dan hanya mengeluarkan bunyi, “Oooo...”
Beberapa tahun lalu aku pernah menonton Max Havelaar. Film itu rilis tahun 1967, hasil adaptasi dari buku dengan judul yang sama karya Multatuli—nama pena Eduard Douwes Dekker.
Adegan yang paling kuingat adalah teriakan “Jongos” yang begitu nyaring, dan beberapa warga yang jongkok mencabuti rumput halaman rumah bupati namun tak dibayar.
Buku Max Havelaar sendiri belum pernah kubaca sama sekali. Memoriku soal siapa dia, baik sebagai penulis atau ambtenaar (sebutan untuk pegawai negeri sipil zaman dulu) dan seperti apa pengaruhnya terhadap Indonesia, hanya berdasar ingatan pelajaran sejarah masa sekolah.
Maka niatan mengunjungi Museum Multatuli yang telah dibuka sejak 11 Februari tahun lalu jadi kian kuat.
Akses menuju Museum Multatuli di Rangkasbitung dari Jakarta terbilang mudah, cukup menggunakan KRL Commuter Line dari Stasiun Tanah Abang. Kereta menuju Rangkasbitung di Kabupaten Lebak, Banten, melaju sekitar satu jam sekali, dan karenanya jadwal keberangkatan kereta mesti diperhatikan. Sebab, telat tiga menit saja harus dibayar dengan satu jam penantian.
Perjalanan dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung harus ditempuh selama dua jam. Setelahnya, kita bisa pilih apakah hendak menggunakan angkutan umum, transportasi online, atau bahkan jalan kaki sebab jarak dari stasiun ke museum hanya sekitar 1,4 kilometer.
Berada di depan Alun-alun Rangkasbitung, Museum Multatuli tampak asri dengan pohon-pohon besar yang menyejukan serta bangunan yang baru dipugar. Kompleks museum terdiri dari gedung Perpustakaan Saidjah Adinda, Museum Multatuli, serta area taman dengan patung Multatuli, Saidjah, dan Adinda karya Dolorosa Sinaga, pematung ternama lulusan Institut Kesenian Jakarta.
Kalimat tersebut menyambutku sesaat setelah memasuki gedung museum yang menempati rumah bekas wedana Lebak tahun 1923 itu. Bangunan ini juga pernah menjadi kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Rangkasbitung sebelum akhirnya direnovasi pada 2016 untuk dijadikan museum.
Setelah disambut dengan kutipan tajam Multatuli, ruang kedua mengisahkan kedatangan Eropa ke Nusantara. Berlanjut ke ruang tentang periode tanam paksa, khususnya budi daya kopi. Barulah di ruang keempat kita diperkenalkan pada Multatuli dan pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan.
Di ruang kelima, terdapat kisah-kisah perjuangan Banten, sementara ruang keenam fokus pada peristiwa-peristiwa penting di Lebak. Terakhir, di ruang ketujuh, kita melihat tokoh-tokoh yang pernah lahir dan terinsipirasi dari Lebak.
Satu tahun berdiri, Museum Multatuli menjadi daya tarik wisata edukasi baru di Lebak. Kunjungan tak hanya datang dari warga sekitar, tapi juga sekolah-sekolah di Banten, dan turis domestik hingga mancanegara.
“Saat ini Multatuli sebagai ikon kota dan pariwisata. Kami tahun lalu bisa menghadirkan 56 ribu pengunjung selama 11 bulan,” ujar Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli kepada kumparan, Rabu (27/2).
Namun keberadaan Museum Multatuli bukannya tanpa pro dan kontra. Penolakan yang berasal dari warga setempat sempat terjadi beberapa kali. Mereka menggugat pemilihan nama Museum Multatuli.
“Sampai hari ini masih banyak yang mempermasalahkan kenapa namanya Museum Multatuli, padahal Multatuli itu kan seorang penjajah, seorang Belanda,” ucap Ubai—panggilan Ubaidillah Muchtar—menceritakan argumen yang disampaikan beberapa kelompok masyarakat itu.
Multatuli bukan nama yang asing bagi masyarakat Lebak, Rangkasbitung khususnya. Di sana, nama pena Douwes Dekker yang berasal dari bahasa Latin—Multa (banyak) dan Tuli (derita)—itu ada di mana-mana. Ada Jalan Multatuli, Radio Multatuli, Aula Multatuli, hingga Apotek Multatuli.
“SD aku tuh namanya SD Multatuli karena terletak di Jalan Multatuli. Tapi aku nggak pernah tau apa-apa dulu,” tutur Bonnie Triyana, sejarawan asal Rangkasbitung sekaligus salah satu konseptor Museum Multatuli.
“Semuanya tahu nama dia (Multatuli), tapi nggak tahu dia siapa, bahkan terdapat kesalahpahaman,” imbuh Bonnie.
Nama Multatuli dinilai terlalu banyak digunakan hingga menutupi ketenaran pahlawan lokal. Terlebih, Multatuli bukan tokoh lokal, melainkan bagian dari penjajah.
“Warta lokal di sini sampai sempat menulis liputan, setop menggunakan nama Multatuli di Rangkasbitung,” kata Ubai.
Bagi Bonnie, kesalahpahaman tersebut terjadi karena permasalahan dalam memahami sejarah. “Pelajaran sejarah kita tentang kolonialisme itu membuat kita jadi xenophobia (tidak suka dan berprasangka buruk pada warga asing).”
Hal lainnya adalah mereka tidak membaca novel Max Havelaar dan tidak pernah masuk ke dalam museum. “Mereka tidak melihat bahwa yang kita dorong adalah nilai-nilainya, bagaimana Multatuli itu memberikan inspirasi. Ketika mereka yang kontra itu ditanya, ‘Sudah pernah ke museum?’ Mereka jawab, ‘Belum.’ (Padahal) kan museum tidak melulu Multatuli. Ada Bantennya, Lebaknya, ada Rangkasbitungnya.”
Musabab keberadaan Museum Multatuli itu bukanlah merayakan sosoknya, melainkan nilai-nilai antikolonialisme yang ia sampaikan dalam Max Havelaar.
Novel tersebut menjadi salah satu karya yang mendobrak pada zamannya. Bahasanya yang lugas membuat tulisan Multatuli terasa jujur. Jika asisten residen lain memberi laporan ‘semua baik-baik saja’, maka tokoh Max Havelaar yang ditulis Multatuli justru melaporkan berbagai kecurangan yang terjadi.
“Dia (Havelaar) lalu ngomong ke istrinya, ‘Aku lebih baik keluar dari korps. Daripada terus-terusan melihat ketidakadilan berlangsung’. Dan Tine mengatakan, ‘Syukurlah kamu akan menjadi diri kamu sendiri’,” tutur Ubai menceritakan salah satu bagian dalam novel Max Havelaar.
Kritikan Multatuli terhadap kolonialisme itulah yang membuka mata banyak orang. Lalu ibarat bola salju, ia menggelinding semakin besar menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan.
Bab XVII Max Havelaar yang mengisahkan kisah cinta Saidjah dan Adinda yang pilu dan hancur karena ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh bupati dan kolonial, menjadi kali pertama rakyat tertindas menjadi tokoh utama dalam cerita cinta, bukan pangeran atau putra putri kaum ningrat.
“Jadi si Saidjah Adinda tokohnya. Representasi rakyat kecil yang ditindas oleh satu sistem di mana di dalamnya ada feodalisme lokal dan kolonialisme—dominasi Barat dan kulit putih yang bekerja sama dengan penguasa lokal,” ucap Bonnie.
Menurut Ubai yang juga pegiat Taman Baca Multatuli, kita tidak bisa menafikan bahwa Multatuli memiliki andil dalam sejarah Indonesia. “Bahkan Pramoedya Ananta Toer mengatakan, orang Indonesia itu seharusnya punya utang budi terhadap Multatuli karena dia yang menyadarkan bahwa kita itu dijajah.”
Isu ini menjadi salah satu target yang disasar oleh Museum Multatuli. “Membuat orang jauh lebih terbuka lagi melihat sejarah dirinya, sejarah negaranya, dan sejarah orang-orang yang ada di dunia ini. Jadi museum itu tujuannya untuk membuka wacana itu,” ucap Bonnie.
Maka, Museum Multatuli tak sekadar menjadi ruang publik yang sepi. Di sana, program kelas bahasa dan kelas sastra untuk remaja digelar. Tak hanya itu, setelah keberhasilan Festival Seni Multatuli tahun lalu, Museum Multatuli kini bersiap menggelar festival kedua September 2019.
Aku sudah tentu ingin berkunjung lagi ke sana saat festival itu terlangsung. Mau ikut?