Meski Bisa 4 OTT dalam 10 Hari, KPK Dinilai Tidak Sedang Baik-baik Saja

9 Desember 2020 10:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Jelang akhir tahun 2020, KPK tancap gas. Empat kali operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan lembaga antirasuah dalam rentang 10 hari. Dua di antaranya terhadap menteri aktif di Kabinet Indonesia Maju, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara.
ADVERTISEMENT
Namun, adanya rentetan penindakan di akhir tahun ini, dinilai terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa KPK kembali berada di track pemberantasan korupsi yang seharusnya. Sebab, sejumlah pelemahan dirasakan benar-benar terjadi, salah satunya melalui revisi UU KPK.
Hal itu bahkan diungkapkan penyidik senior KPK Novel Baswedan. Ia menilai pelemahan KPK lantaran UU baru nyata terjadi.
"Ketika membicarakan terkait masalah apa pelemahan KPK yang terjadi belakangan ini. Kita bisa lihat UU yang baru ini ada beberapa kewenangan KPK dipangkas di sana. Bahkan saya bisa katakan kewenangan KPK dalam tegakkan hukum sekarang ini adalah terlemah dari semua penegak hukum," kata Novel Baswedan dalam diskusi 'Ngobrak: Evaluasi 1 Tahun Pemberantasan Korupsi, Benarkah Sudah Kiamat?' yang digelar BEM UI.
ADVERTISEMENT
Meski penindakan KPK masih bisa berjalan, Novel menilai hal itu tak serta merta dijadikan kesimpulan bahwa KPK baik-baik saja. Ia tak sepakat dengan pandangan bahwa KPK tidak sedang bermasalah lantaran masih bisa OTT.
"Upaya pelemahan KPK benar-benar ada. Jadi kalau ada yang justru seolah-seolah menetralisir menyampaikan seolah-olah KPK tak ada apa-apa. Saya termasuk orang yang tidak setuju," tegas dia.
Penyidik KPK, Novel Baswedan. Foto: Willy Kurniawan - Reuters
Novel kemudian menjawab mengapa KPK masih bisa menggelar OTT, bahkan terhadap menteri, padahal dalam kondisi lemah. Jawabannya, karena kegigihan para pegawai dalam bekerja.
"Ketika ditanya, kenapa kok bisa nangkap menteri dan lain lain? itu tak lepas dari bagaimana kegigihan dari pegawai KPK, dedikasi, semangat, dan banyak hal lain lagi," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Zainal Arifin Mochtar (Pakar Hukum Tata Negara dari UGM) saat menghadiri Diskusi “Menyoal Proses Pemilihan Pimpinan KPK dan Menakar Masa Depan Pemberantasan Korupsi”, Selasa (30/7). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Hal senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar. Ia menggunakan metode komparasi atau perbandingan dalam menganalisa apakah memang benar KPK sudah kembali ke jalurnya bila dilihat dari sisi penindakan.
Zainal mengatakan, bila dibandingkan dalam hal jumlah, OTT KPK tahun 2020 jauh lebih sedikit dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2020, hanya ada 7 kali OTT yang dilakukan KPK.
"Dari situ saja kita tahu bahwa jumlah kapasitas kemampuan OTT jauh turun drastis. Satu tahun belakangan kalau saya salah mohon diperbaiki, Bang Novel, hanya 7 ya kayaknya, sedangkan tahun terakhir itu belasan, bahkan tahun tahun sebelumnya bisa sampai 30 seingat saya," ujarnya.
"Jadi dengan metode komparasi sederhana saja, kalau ada yang bilang, 'woh KPK berhasil, KPK tak dilumpuhkan', sebenarnya mudah saja bilang membantah itu dengan perlihatkan bagaimana kontruksi jumlah OTT sekarang dan dulu. Tentu tak bisa dijadikan analisis data, karena itu (hanya) salah satu dari sekian faktor pemberantasan korupsi yang saya bayangkan," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Zainal mengingatkan untuk tidak terburu-buru menyimpulkan KPK sudah masuk kembali ke jalur yang seharusnya dengan adanya 4 OTT dalam kurang dari 2 minggu. Kesimpulan macam ini, dinilai oleh Zainal, merupakan suatu hal yang sumir.
"Ini menurut saya itu kesimpulan terlalu sumir, kepagian, kenapa? itu tadi standar yang saya gunakan itu masih jauh KPK bisa lakukan. Karena menurut saya berarti KPK still beating, masih berbunyi, masih berdenyut," kata dia.
Ia menganalogikan bahwa OTT yang dilakukan oleh KPK bukti bahwa "denyut" pegawai KPK ada. Namun menurut dia, "denyut" itu semakin melemah.
"Kalau disuruh lari sprint 100 meter atau kalau disuruh berlari maraton 42 kilometer saya yakin kolaps. Orang yang hampir mati pun insyaAllah masih berdenyut, tapi denyutnya mustahil untuk dipaksakan lari 100 meter dan lari 42 kilometer atau maraton," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Apa yang mau saya bilang, ya rayakan itu (OTT) sebagai sebuah denyutan, jangan rayakan sebagai sebuah kemenangan, terlalu cepat kalau kita merayakannya sebagai sebuah kemenangan. Saya mengatakan KPK masih butuh napas buatan, KPK masih butuh diselamatkan, dia masih kritis, itu yang harus kita bicarakan sekarang bagaimana menyelamatkan KPK ke depan," pungkasnya.