Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mimpi Kabinet Zaken Prabowo: Dilema Ahli dan Politisi
23 September 2024 19:03 WIB
·
waktu baca 9 menit“Karena bapak pilih orang-orang hebat mungkin sebagian dari mereka di kabinet saya nanti,” kata Ketua Umum Gerindra, Prabowo, saat penutupan Rapat Pimpinan Nasional Gerindra di Indonesia Arena, Jakarta, Sabtu (31/8).
Tiga bulan jelang dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober, Prabowo semakin intens menggodok kabinetnya. Jumlahnya bahkan mencapai sekitar 44 kementerian/lembaga. Ini dimungkinkan usai Pasal 15 UU Kementerian Negara yang membatasi maksimal 34 kementerian direvisi menjadi “sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden”.
Jika terealisasi, jumlah kementerian era Prabowo merupakan yang terbanyak sejak era reformasi. Jumlah 44 kementerian sama seperti Kabinet Pembangunan V (1988-1993) di rezim eks mertua Prabowo, Soeharto.
“Ada yang bilang 44 [kementerian], 42, 40, kami juga masih melakukan simulasi. Mungkin nomenklatur maupun orang (calon menteri -red) baru akan final H-7 atau H-5 [sebelum pelantikan]" ucap Ketua Harian DPP Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, Kamis (12/9).
Walau jumlah pasti kabinet baru diketahui jelang pelantikan, namun para calon menteri sudah dipanggil untuk diajak berdiskusi dengan Prabowo.
Sumber-sumber kumparan di elite parpol Koalisi Indonesia Maju (KIM) menyebut, sesuai dengan pidato Prabowo, beberapa kandidat menteri memang hasil ‘lungsuran’ era Jokowi. Mereka di antaranya adalah para ketua umum partai KIM yakni Ketum Golkar Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM); Ketum PAN Zulkifli Hasan (Menteri Perdagangan); dan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (Menteri ATR).
Selain nama ketum-ketum partai, menurut sumber kumparan, beberapa menteri Jokowi yang diyakini akan lanjut di kabinet Prabowo di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Investasi Rosan Roeslani, dan Menkumham Supratman Andi Agtas. Beberapa dari mereka bakal menempati pos yang sama, namun ada pula yang berbeda.
“Di antara partai koalisi sudah mulai mengajukan nama dan mengajukan beberapa portofolio di kementerian. Lalu di antara tokoh-tokoh juga sudah mulai disebut dan sudah mulai dilakukan penjaringan dan penyaringan, pemilahan dan pemilihan," ujar Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Senin (9/9).
Yang pasti, Dasco maupun Muzani menyebut Prabowo ingin membentuk kabinet zaken. Istilah zaken merupakan bahasa Belanda yang berarti urusan atau bisnis. Dalam konteks pemerintahan, kabinet zaken dibentuk untuk mengatasi sejumlah urusan dengan keahlian para menterinya.
Sehingga kabinet zaken identik dengan kabinet yang mayoritas diisi profesional atau ahli, tanpa mempertimbangkan afiliasi politik. Harapannya, kabinet bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok atau partai.
“Keberadaan orang-orang profesional [di kabinet] juga lebih banyak kelihatannya daripada yang dari parpol,” kata Dasco memperkirakan.
Sebagai sekutu Prabowo, Jokowi mendukung pembentukan kabinet zaken. Ia berharap kabinet di era kepemimpinan Prabowo dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, bisa langsung efektif bekerja usai dilantik.
“Kabinet yang nanti setelah dilantik segera bergerak, bekerja," kata Jokowi.
Histori Kabinet Zaken
Kabinet zaken kerap digaungkan presiden terpilih ketika hendak memilih para calon pembantunya. Namun nyatanya sejak Indonesia merdeka, hanya beberapa kabinet yang pantas disebut kabinet zaken. Bahkan contoh kabinet-kabinet zaken mayoritas terjadi di era Orde Lama ketika Indonesia masih menerapkan sistem parlementer (1950-1959).
Dalam jurnal yang ditulis Novendri Nggilu dan Fence M. Wantu dari Universitas Negeri Gorontalo, terdapat empat kabinet yang pantas disebut zaken. Empat kabinet itu yakni: kabinet Natsir (September 1950-April 1951); kabinet Wilopo (April 1952-Juli 1953); kabinet Djuanda (April 1957-Juli 1959); dan kabinet Reformasi Pembangunan (Mei 1998-Oktober 1999).
Kabinet Natsir disebut zaken karena menteri-menteri yang menjabat merupakan orang professional dan ahli, seperti Menkeu Sjafruddin Prawiranegara dan Menteri Perdagangan dan Industri, Soemitro Djojohadikusumo - ayah Prabowo. Era Kabinet Natsir merupakan awal mula terbentuknya Biro Perancang Nasional (BPN) yang kini dikenal sebagai Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Kemudian kabinet Wilopo juga diisi para ahli atau profesional seperti Menhub Djuanda Kartawidjaja dan Mendikbud Bahder Djohan. Catatan historis di kabinet Wilopo yakni untuk pertama kalinya Indonesia memiliki UU Pemilu. UU tersebut sebagai dasar hukum Pemilu pertama pada 1955 yang memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante.
Selanjutnya kabinet Djuanda yang diisi para ahli seperti Mendag Soenarjo, Mensos Johannes Leimena, Mendikbud Prijono, dan Menteri Negara A.M Hanafi. Capaian fenomenal kabinet ini yakni terciptanya Deklarasi Djuanda yang membuat wilayah Indonesia naik 2,5 kali lipat dari 2 juta km2 menjadi 5,19 juta km2 - di luar Irian Jaya yang saat itu belum diakui secara Internasional.
Adapun kabinet Reformasi Pembangunan era Habibie dinilai sebagai kabinet zaken karena 75% atau 27 dari 36 menterinya berasal dari kalangan profesional atau independen.
Dilema Ahli atau Politisi
Kini, mimpi membuat kabinet zaken kembali digaungkan jelang era Prabowo. Namun pembentukannya disangsikan karena begitu gemuknya partai di koalisi Prabowo. Tercatat ada 7 partai parlemen dan 7 partai non-parlemen di barisan KIM Plus.
Pembagian ‘kue’ kekuasaan di kabinet Prabowo pun tak terelakkan. Apalagi beberapa partai pernah secara terang-terangan meminta langsung jatah menteri kepada Prabowo.
Pada pertengahan Maret lalu misalnya, Airlangga Hartarto yang masih menjabat Ketum Golkar meminta jatah minimal 5 kursi menteri untuk kader partainya. Airlangga beralasan, Golkar berkontribusi terhadap 25% kemenangan Prabowo-Gibran.
"Saya sampaikan ke Pak Prabowo soal kontribusi Golkar karena kita menang di 15 provinsi. Itu berarti kita kontribusi 25% dari kemenangan 58%. Jadi kalau 25%, kalau bagi-bagi, ya, banyak-banyak sedikit bolehlah. Kita sebut lima (porsi menteri) itu minimal,” ucap Airlangga.
Kemudian pada awal Mei di acara Rakornas Pilkada, Ketua DPP PAN Saleh Daulay yang membaca doa di depan Prabowo berharap jatah kursi menteri untuk partainya bisa lebih dari yang diperkirakan. Ketika itu, muncul kabar bahwa jatah menteri bagi PAN berjumlah 4 orang.
Bahkan permintaan jatah menteri untuk PAN di kabinet Prabowo juga langsung datang dari Jokowi. Saat Kongres PAN pada akhir Agustus, Jokowi meminta kursi menteri bagi PAN ditambah di era Prabowo.
“Rasa-rasanya sih mestinya PAN ini mesti ditambahkan [kursi menteri]. Mestinya ada tambahan, ini tiga kali konsisten [dukung Prabowo di Pilpres]. Tambahannya itu terserah Pak Prabowo karena beliau yang memiliki hak prerogatif presiden, tetapi paling tidak saya mengingatkan,” kata Jokowi.
Sumber-sumber kumparan di elite koalisi Prabowo menyatakan power sharing merupakan keniscayaan usai saling bahu-membahu memenangi Pilpres 2024. Atas dasar itu, Prabowo membentuk banyak kementerian untuk mengakomodasi besarnya kapal koalisi. Selain itu, menambah jumlah kementerian juga sesuai kebutuhan untuk menunaikan berbagai program prioritas dan janji-janji kampanye.
Pembagian kursi menteri bagi tiap parpol disebut dilakukan secara proporsional. Walau demikian, desas-desus mengemuka bahwa jatah menteri dari kalangan parpol bisa mencapai 60-70% dari total kabinet.
Analis politik UIN Jakarta, Adi Prayitno, berpandangan prediksi banyaknya kementerian di era Prabowo sulit dipungkiri sebagai akomodasi kursi bagi koalisi.
Adapun pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi, menilai kabinet zaken di era Prabowo sulit terwujud jika para menteri mayoritas merupakan perwakilan parpol. Kabinet zaken seharusnya benar-benar diisi kalangan profesional yang tidak terafiliasi dengan kelompok politik tertentu.
“Kabinet zaken akan susah terwujud. Dan saya lebih melihatnya ini mungkin bagi-bagi kursi,” ucap Yogi pada kumparan.
Sementara itu pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menilai akomodasi kader partai di kabinet merupakan konsekuensi dalam berkoalisi. Sehingga suatu hal yang lumrah jika terjadi power sharing berupa jatah menteri.
Jumlah kursi menteri yang diberikan pun diyakini bakal lebih banyak bagi parpol yang sejak awal bergabung KIM, daripada kloter terakhir di barisan Plus (NasDem, PKS, PKB, PPP, dan Perindo).
“Yang datang belakangan mestinya [kursi menterinya] lebih sedikit,”
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menyatakan, kabinet zaken yang ingin dibentuk Prabowo bukanlah dikotomi bahwa ahli atau profesional harus berasal dari kalangan non-parpol, sedangkan kalangan parpol dianggap tidak ahli. Menurutnya, seorang ahli atau profesional juga bisa berasal dari kalangan parpol.
“Profesional tidak berarti nonpartai. Ada orang profesional, orang ahli, tapi dia bagian dari partai," kata Muzani.
Muzani pun menilai penambahan pos menteri justru membuat kinerja kabinet akan fokus terhadap program.
Lantas, seperti apa kriteria menteri yang dibutuhkan?
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai sosok calon menteri Prabowo haruslah cakap, mampu membaca situasi, berintegritas, dan paham birokrasi. Ia mendorong kabinet Prabowo lebih banyak diisi calon yang berlatarbelakang profesional ketimbang politisi.
“Jangan dicari figur-figur yang 'oh ini dulu bantu saya'. Jangan yang full politisi. Politisi di DPR saja. Kemudian kalau dia anggota partai, ketua partai, harus punya pengalaman birokrasi dan berintegritas. Artinya sudah kenyang, tidak cari duit proyek di situ. Tapi kalau masih cari uang selesai, pasti korupsi bengkak di situ,” jelas Agus.
Agus menilai kriteria tersebut harus dimiliki para calon menteri agar kementerian-kementerian baru yang dibuat Prabowo bisa cepat bekerja.
Sebab berdasarkan pengalamannya sebagai penasihat senior menteri LHK, butuh waktu 3 tahun bagi kementerian baru hasil penggabungan atau pecahan untuk bekerja optimal. Belum lagi manajemen pemerintahan bakal semakin rumit dengan banyaknya kementerian.
“Pengalaman saya di KLHK perlu 3 tahun sampai kementerian ini bisa berjalan dengan baik. Karena di awal menggabungkan saja sudah pusing, apalagi kalau nanti dipisah lagi. Selain administrasi, semua tata kelola, kewajiban, tugas dsb berubah. Belum lagi kalau menterinya tidak cerdas, tambah disaster. Karena tata kelola, birokrasi itu barang yang tidak mudah dipelajari,” ucap Agus.
Sementara itu Yogi berpandangan membentuk kementerian baru bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kompleksitas koordinasi. Akibatnya, efektivitas pemerintahan bisa berkurang. Kekhawatiran itu dapat terjadi jika pembentukan kementerian hanya bertujuan bagi-bagi jabatan.
Menurut Yogi, banyaknya kementerian yang dibuat seharusnya diikuti dengan pengurangan lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan lembaga nonstruktural (LNS) yang punya tugas serupa.
“LNS yang dibentuk UU ada 71, PP ada 6, Perpres 21. Yang harus dirapikan yang Perpres-Perpres ini, kewenangannya bisa diambil alih kementerian,” kata Yogi.
Selain itu, lanjut Yogi, perlu dijabarkan apa perbedaan tugas kementerian baru dengan pemerintah daerah sehingga tidak tumpang tindih. Sebab di era desentralisasi, kewenangan eksekusi banyak di level Pemda. Tak cuma itu, Yogi menambahkan, membentuk kementerian baru bisa berdampak pada bengkaknya anggaran. Sehingga harus dihitung secara cermat.
Sementara itu sumber-sumber kumparan di koalisi Prabowo menyatakan, masalah anggaran bagi kementerian baru memang krusial. Sehingga hal ini diatasi dengan membentuk Badan Penerimaan Negara. Badan ini merupakan gabungan antara Ditjen Pajak, Bea Cukai, dan sebagian fungsi Ditjen Anggaran.
“Saya beranggapan Prabowo dalam menyusun kabinetnya bukan berdasarkan kepada profesionalitas, masih ada unsur politik bagi-bagi jatah. Ini menurut saya sah-sah saja, tapi tidak perlu mendeklarasikan ini kabinet zaken. Kalau kabinet zaken itu 100 persen harus profesional. Jadi untuk menyebutkan ini sebagai zaken kabinet, saya pikir masih gimmick,” tutup Yogi.