Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
MK Tolak Gugatan Ibu dengan Anak Cerebral Palsy yang Minta Ganja Medis Legal
21 Maret 2024 11:13 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak dalil permohonan yang diajukan seorang ibu rumah tangga bernama Pipit Sri Hartanti dan karyawan swasta Supardji terkait gugatan UU Narkotika. Keduanya meminta ganja legal digunakan untuk medis.
ADVERTISEMENT
Keduanya menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya (UU 8/1976).
Sidang Pengucapan Putusan Permohonan yang diajukan orang tua dari Shita Aske Paramitha yang mengidap Cerebral Palsy sejak kecil ini dilaksanakan pada Rabu (20/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyebutkan Narkotika Golongan I, termasuk ganja, hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam terapi.
Sebab, hal tersebut berpotensi tinggi yang mengakibatkan ketergantungan. Sebagaimana ditegaskan Putusan MK Nomor 106/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan belum ada bukti pengkajian dan penelitian secara komprehensif atas penggunaan ganja atau zat kanabis untuk pelayanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, MK menegaskan penting agar pemerintah segera melakukan pengkajian secara khusus mengenai penggunaan ganja untuk kepentingan medis di Indonesia agar isu demikian ini dapat segera selesai dan terjawab secara rasional dan ilmiah.
Mengingat semakin hari semakin banyak aspirasi masyarakat berkenaan dengan kebutuhan penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan dan alasan kemanusiaan.
Guntur menyebut, Mahkamah tetap pada pendirian sebelumnya bahwa pengkajian mengenai penggunaan ganja untuk kepentingan medis di Indonesia perlu segera dilakukan sehingga dapat menjadi rujukan pembentuk undang-undang.
“Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon tentang Pasal 1 angka 2 UU Narkotika tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Pasal 1 angka 2 UU 8/1976 dan Penjelasannya telah ternyata tidak melanggar hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” papar Guntur.
ADVERTISEMENT
Dalam permohonannya, para pemohon mendalilkan Pasal 1 ayat (2) beserta Penjelasannya UU 8/1976 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Para Pemohon menyampaikan pihaknya telah melakukan upaya untuk kesembuhan anaknya.
Dari berbagai pengobatan yang dilakukan, dalam banyak penelitian uji coba minyak dari formulasi cannabis atau ganja dengan kandungan cannabidiol dan THC efektif digunakan kepada anak yang menderita gangguan motorik kompleks.
Penggunaan kandungan ganja medis tersebut dapat mengurangi dampak dari dystonia dan kejang-kejang serta memperbaiki fungsi kemampuan motorik dan kualitas hidup.
Akan tetapi, Indonesia menggolongkan ganja dan turunannya sebagai Golongan I atau zat berbahaya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan penggolongan zat narkotika merupakan hak setiap negara sepanjang dilakukan dengan niat baik untuk pengembangan layanan kesehatan dan kemampuan mengontrol zat dengan memastikan izin edar sesuai dengan peruntukkannya.
ADVERTISEMENT
Negara memiliki otoritas penuh atas perubahan golongan ataupun penetapan golongan tersebut dengan melihat kembali tujuan Konvensi dan UU dalam negaranya, termasuk Indonesia.
Penggolongan zat ini, dinilai oleh pemohon, tidak dilakukan sebagai penundukan atas politik dan geopolitik pada saat Konvensi Tunggal 1961 terbentuk, melainkan harus dilihat ketersediaan dan akses layanan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini.
Hal ini, lanjut pemohon, demi memastikan terpenuhinya kebutuhan obat-obatan yang masuk ke dalam Golongan I serta kemandirian negara atas kualitas layanan kesehatan yang lebih baik.
Para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan muatan materi dari Pasal 1 ayat (2) beserta Penjelasannya serta materi muatan Paragraf 7 dan Paragraf 8 uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya sepanjang kalimat ‘Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961’ dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengingat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika hingga protokol sesi ke-63—termasuk di dalamnya dokumen Commission on Narcotic Drugs Sixty-third sesion Vienna, 2-6 March 2020, yang menggunakan dokumen E/CN.7/2020/CRP.19’.
ADVERTISEMENT
Namun, permohonan itu telah ditolak oleh majelis hakim. "Mengadili: menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.