Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Moeldoko hanya tertawa ketika ditanya perihal kans KSAD Andika Perkasa untuk menduduki jabatan Wakil Panglima TNI . Mantan Panglima TNI yang kini menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan itu menegaskan bahwa keputusan siapa yang mengisi posisi yang baru dihidupkan kembali itu ada di tangan Presiden.
“Siapa yang mengisi? Seyogianya ya mantan-mantan kepala staf karena di situ dia sudah bintang empat,” ucapnya saat ditemui kumparan di Gedung Bina Graha, Kantor Staf Kepresidenan, pada Jumat (15/11) pagi.
Ia yakin betul Presiden Jokowi dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bisa memutuskan dengan tepat siapa yang akan mengisi pos tersebut. “Presiden juga bisa melihat kinerja masing-masing kepala staf angkatan,” kata Moeldoko.
Menguatnya nama Andika Perkasa sebagai orang yang digadang-gadang akan menjadi Wakil Panglima TNI, bukan cuma karena jabatannya saat ini sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Tapi juga karena ia adalah menantu Jenderal TNI (Purn.) Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Kepala BIN yang dikabarkan dekat dengan Jokowi. Isu yang berkembang bahkan menyebut jabatan wakil panglima hanyalah pintu sebelum Andika bisa menjadi Panglima TNI.
Meski tak menutup kemungkinan, Moeldoko menolak jenjang jabatan tersebut sebagai sesuatu yang pasti. “Tidak menjadi hal yang definitif bahwa dengan menjadi wakil panglima pasti menjadi panglima, tidak serta merta seperti itu.”
Posisi wakil panglima TNI sendiri kembali muncul setelah Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 yang diteken Jokowi pada 18 Oktober resmi terbit. Setelah 19 tahun ditiadakan atas nama perampingan dan efisiensi militer, muncul laginya pos wakil panglima menuai tanda tanya: untuk apa?
Menurutnya posisi wakil panglima amat diperlukan demi efisiensi dan efektivitas kerja TNI. Saat masih menjabat Panglima TNI, kebutuhan adanya Wakil Panglima TNI ini pernah ia lontarkan pada 2015. Namun kala itu Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno menolak dan menilai pos tersebut belum dibutuhkan. Empat tahun kemudian, usulan itu akhirnya ditampung melalui reorganisasi kedua susunan TNI selama tahun 2019.
Ia menegaskan tak ada alasan politis apapun di balik lahirnya kembali posisi wakil panglima. “Ini karena kebutuhan. Nggak ada tujuan lain.”
Berikut petikan lengkap perbincangan kumparan bersama Kepala KSP Moeldoko.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 ada sekitar 289 posisi baru, salah satunya jabatan wakil panglima. Apa latar belakang menghidupkan kembali jabatan tersebut?
Sebenarnya, satu, ada pengalaman empirik bahwa jabatan wakil panglima itu pernah ada misal zaman Pak Fachrul Razi. Ia dulu Wakil Panglima, jadi referensinya sudah ada. Nah, saat saya jadi Panglima, saya juga merasakan bahwa efektivitas organisasi ini perlu dibenahi.
Alasan-alasan operasional di antaranya panglima itu megang operasi, kalau kepala staf itu lebih pembinaan. Jadi pembinaan intelijen, operasi, personel, dan logistik itu urusannya kepala staf. Setelah siap baru diberikan kepada panglima untuk operasi.
Kalau tugasnya operasi, pengerahan kekuatan, penggunaan kekuatan, maka panglima banyak keluar (negeri), banyak melihat pasukannya di luar lah. Di Libanon lah atau di mana. Pasukan PBB kita tersebar, yang di Afrika juga ada.
Berikutnya operasi dalam negeri juga banyak sehingga panglima harus memastikan benar enggak itu perilaku prajurit-prajurit berjalan dengan baik di lapangan. Sehingga ada kekosongan-kekosongan. Pada saat panglima pergi itu, di sini (dalam negeri) enggak boleh kosong nih. Maka panglima mengeluarkan surat perintah kepada kepala staf angkatan, menunjuk salah satu kepala staf angkatan sebagai panglima sementara. Jadi menurut saya enggak efektif kalau begini.
Maksudnya tidak efektif dengan pemberian kewenangan itu seperti apa?
Iya karena kepala staf saat harus begitu enggak ngikutin day by day-nya. Tapi kalau formasi panglima dan wakil panglima satu kotak dalam organisasi. Kalau kasum (Kepala Staf Umum), turun lagi (hierarkinya). Ini kasum, baru pembagian para asisten. Ini sangat berbeda, sangat-sangat berbeda banget.
Kalau ada wakil panglima, begitu panglima enggak ada tuh udah pasti peran-peran kepanglimaan itu dipegang dia. Enggak usah perlu lagi membuat surat. Itu sudah otomatis, peran-peran kepanglimaan itu dia pegang. Jadi unsur-unsur komandonya itu melekat.
Berikutnya, apa enggak bisa kasum? Enggak bisa. Kasum itu tidak punya unsur komando, dia hanya mengkoordinasikan para staf yang ada di bawahnya. Dia sama sekali enggak punya unsur komando. Jadi dari sisi efektivitas organisasi dan operasi, lalu dari sisi literatur, referensi, atau empiriknya pernah. Sehingga hal itu udah biasa, bukan hal yang mengada-ada itu (jabatan wakil panglima).
Nah pertanyaannya, efisien enggak sih? Ini banyak orang yang tidak tahu kan. Fasilitas staf dan komando itu sudah dimiliki oleh panglima, dengan adanya kasum yang membawahi dan mengkoordinasi seluruh asisten, itu udah fasilitas staf. Sehingga wakil panglima tuh enggak perlu lagi membentuk staf khusus. Paling hanya duduk, sesprinya dia satu, lalu dua orang yang menyeleksi surat atau mengatur kegiatan wakil panglima. Ya udah paling enggak lebih dari enam orang lah di situ. Paling ruangannya ya dengan sesprinya dia, ya kecil aja gitu, sama sekali enggak menambah… ya mungkin tambah satu lah kendaraan dinas saja hahaha.
Itu satu hal yang menurut saya penting wakil panglima itu dibentuk. Siapa yang mengisi? Seyogianya ya mantan-mantan kepala staf karena di situ sudah bintang empat, dia nanti sebagai wakil panglima dan bisa sebagai panglima kalau panglima enggak ada. Dia langsung mengendalikan kepala staf angkatan.
Usulan jabatan wakil panglima ini pernah Anda usulkan pada 2015. Mengapa saat itu tidak bisa terealisasi?
Sebenarnya bukan hanya jabatan wakil panglima waktu itu yang ditunda perpres-nya. Saat itu ditunda oleh Pak SBY, ditunda beserta usulan-usulan yang lain. Kogabwilhan (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan) juga usulan yang ditunda. Jadi memang sudah lama, terus jamannya Pak Gatot Nurmantyo, (usulan) itu di-take down dan sekarang dinaikkan lagi.
Apa tugas wakil panglima selain menggantikan panglima ketika sedang berhalangan?
Ya sekarang ini ada perubahan struktur. Perubahan struktur itu terjadi di struktur komando. Kalau dulu para Panglima Angkatan Darat, Panglima Armada, Panglima Komando Operasi AU (Koopsau), itu direct kepada Panglima TNI. Maka ke depan para Panglima ini secara zonasi akan dikelola oleh Panglima Kogabwilhan sesuai zonasinya. Sehingga, satu zonasi, timur umpamanya, itu nanti ada unsur divisi kostradnya, ada marinirnya, ada koopsau-nya, ada armadanya, secara zonasi. Itu tugas-tugas Pangkogabwilhan seperti itu. Kenapa harus begitu? karena kita menganut dalam strategi pertahanannya, strategi pertahanan pulau-pulau besar.
Jadi kalau satu pulau itu ada ancaman, ada serangan, maka pulau-pulau itu harus mempertahankan diri secara maksimum. Setelah dia enggak bisa, baru nanti ada bala pertahanan pusat seperti Kopassus, Kostrad. Tapi secara kewilayahan dia harus bisa mempertahankan.
Berarti tugas utamanya tetap menggantikan panglima ketika berhalangan saja, Pak?
Iya. Itu tadi itu dengan adanya beban tiga bidang lagi di bawahnya kan, itu menambah beban-beban panglima. Jadi bisa aja suatu saat nanti kalau terjadi operasi, panglima dengan wakil panglima akan maju ke satu wilayah zonasi satu umpamanya.
Jadi ada kemungkinan bagi wilayah komando untuk pembagian kewenangan, ya, Pak?
Enggak, menurut saya sih enggak ada pembagian kewenangan. Tapi bisa diberi penugasan dari panglima, sangat mungkin. Panglima masih sebagai figur utamanya kan, tapi sangat mungkin terjadi penugasan.
Untuk posisi wakil panglima dalam Perpres No. 66/2019 itu juga diajukan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto?
Saya pikir diajukan atau tidak diajukan tapi karena dulu pernah saya ajukan, maka dia dihidupkan kembali oleh Presiden. Menurut saya sih yang ke dua. Dihidupkan oleh kembali oleh Presiden karena Presiden punya pertimbangan-pertimbangan tertentu melihat environment arsitektur pertahanan atau stability lingkungan yang seperti sekarang ini.
Yang kedua, dari sisi efektivitas pengendalian. Kalau nanti panglima meninggalkan tempat, udah enggak takut, bukan takut, tapi panglima enggak ada beban karena udah langsung ada wakil panglima yang sudah tahu situasinya karena day by day berdampingan dengan panglima.
Tepatnya kapan Bapak ngobrol dengan Pak Jokowi terkait posisi Wakil Panglima ini?
Saya pernah diskusi tentang ini. Ya saya sampaikan bagaimana kita membangun sebuah struktur organisasi TNI ke depan, kemudian dinamika perkembangan lingkungan yang seperti sekarang ini bagaimana kita menyikapinya. Kita tidak cukup dengan membangun alutsista tapi strukturnya juga harus dipikirkan karena Indonesia wilayah yang begitu besar. Kita bukan pertahanan yang bersifat kontinental tapi pertahanan yang campur aduk antara maritim dengan kontinental, kita tidak seperti Australia yang relatif kontinental, tidak seperti Malaysia yang relatif juga kontinental walaupun terpisah dua.
Tapi kita betul-betul memikirkannya itu enggak mudah. Bagaimana menggabungkan garis pantai yang panjangnya 81.000 kilometer. Berikutnya, kita berada di tengah-tengah persilangan dua wilayah, kita juga memiliki Alur Laut Kepulauan Indonesia (Alki) 1, 2, 3. Ini juga bisa menjadi kekuatan, bisa juga menjadi ancaman.
Berikutnya, paradigma baru perang sekarang ada perubahan, kalau dulu perang itu memiliki front yang jelas, sekarang enggak. Perang bisa terjadi di mana saja. Kalau dulu perang aktornya adalah kombatan, sekarang enggak. Paradigma-paradigma baru tentang perang itu terjadi sekarang, dulu perang itu diinisiasi oleh state, sekarang enggak. ISIS bukan state, perang bisa diinisiasi oleh non-state actor. Nah ini paradigma baru, berubah.
Kira kapan tepatnya ngobrolin hal itu dengan Pak Jokowi?
Sudah cukup lama ya. Kita kalau lagi di pesawat gitu diskusi. Kalau ada hal-hal yang perlu saya sampaikan, itu kesempatan yang bagus buat diskusi dengan beliau, sehingga ada waktu yang longgar ya untuk memberikan gambaran itu.
Bukan cuma soal wakil panglima, waktu itu juga disampaikan soal Kogabwilhan dan kogabsus, komando gabungan khusus. Kita juga butuh balance of power, bagaimana kita bangun agar kita tidak ketinggalan dengan kawasan lain, tapi juga ada mutual trust yang harus dimunculkan. Sehingga nanti tidak ada negara tetangga kita yang mempertanyakan soal pembangunan kekuatan itu.
Respons Pak Jokowi saat itu seperti apa?
Ya saya pikir ini (keluarnya Perpres 66/2019) sebuah respons ya.
Pada bulan Juni kan sudah ada Perpres No. 42/2019 tentang Susunan Organisasi TNI. Saat itu belum ada soal jabatan wakil panglima. Berarti dalam setahun, dua kali reorganisasi?
Enggak. Pertama, waktu itu kita juga diskusi saya sampaikan kepada beliau, "Pak, ada sesuatu yang perlu dipikirkan untuk temen-temen Perwira Angkatan Darat khususnya (yang nonjob)." Tapi ternyata (pati nonjob) juga ada di Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Kalau di TNI AD itu kan terkenal dengan lantai 8, itu adalah tempatnya aparat perwira yang menunggu tugas.
Kita sampaikan itu kepada Presiden termasuk beberapa solusi yang perlu dipecahkan. Pada waktu itu kan terus muncul suara, "TNI kembali Dwifungsi". Enggak, bukan itu arahnya. Kalau kita bicara dwifungsi, maka gampang cara mengenalinya, karena dwifungsi yang lalu itu dikoreksi melalui reformasi internal.
Kalau dia akan menjalankan dwifungsi maka reformasi internal akan muncul lagi. Indikatornya kan, satu, ada perubahan struktur. Struktur yang seperti apa? Dalam struktur TNI dulu itu ada kotak yang berisi politik. Selain ada Kasum, ada Kaster (Kepala Staf Teritorial), ada Kassospol (Kepala Staf Sosial Politik). Setelah reformasi internal enggak ada lagi yang bau-bau politik, berubah semua. Pertanyaannya sekarang, ada enggak di struktur yang sekarang ini yang berbau politik? enggak ada.
Kedua, reformasi doktrin. Doktrin kita dasarnya adalah UUD 1945 dan Pancasila. Di situ dijalankan sistem pertahanan kita, sistem pertahanan rakyat semesta. Terus diturunkan lagi melalui UU No. 3/2002 tentang Pertahanan, namanya Sishanta atau Sistem Pertahanan Semesta. Di situ ada perubahan. Kalau UU-nya enggak berubah, enggak mungkin TNI akan berubah.
Ketiga, adalah culture. Reformasi di bidang culture, budaya. Selama ini para Panglima teriak-teriak tentang netralitas dan enggak boleh berpolitik praktis. Kecuali kalau Panglima mencoba main-main, prajuritnya berpolitik praktisi nah yaitu...hati-hati ini.
Tiga hal ini yang jadi indikator. Saya kira tiga-tiganya enggak ada sehingga enggak perlu kita mencurigai TNI mau balik lagi mengemban dwifungsi itu.
Tapi itu (reorganisasi) upaya pemerintah dalam mencari solusi, membantu para Panglima, kepala staf angkatan. Ada pos-pos baru yang bisa ditempati oleh tentara karena waktu itu hanya sembilan pos. Tapi sebenernya sepanjang kehadiran prajurit TNI yang menjelang pensiun iut memperkuat kementerian, tidak ada upaya politik praktis, saya rasa sih fine-fine aja lah.
Mengapa idealnya jabatan wakil panglima itu diemban oleh kepala staf angkatan?
Ya tadi itu, karena megang komando dan akan mengendalikan kepala staf angkatan. Jadi jabatan senior di TNI dari setiap angkatan.
Ada kriteria khusus lainnya untuk bisa menjabat wakil panglima?
Sebenarnya pada posisi kepala staf angkatan itu posisi yang memang disiapkan untuk menjadi panglima. Dalam UU kan persyaratan menjadi panglima harus pernah menjabat kepala staf angkatan. Nah menurut saya dasar itu sudah cukup mewakili kriteria sebagai wakil panglima.
Dalam konteks pembinaan yang tersistem dengan baik, bisa saja orang yang menjadi panglima itu menduduki wakil panglima terlebih dulu. Tapi tidak menjadi hal yang definitif bahwa dengan menjadi wakil panglima pasti menjadi panglima. Itu tidak bisa jadi seperti itu. Tidak serta merta seperti itu.
Soal matra angkatan juga jadi pertimbangam? Karena sekarang Panglimanya berasal dari Angkatan Udara, maka Wakil Panglima dari matra lain?
Bisa angkatan laut dan angkatan darat.
Proses pemilihannya akan seperti apa?
Panglima (Marsekal Hadi Tjahjanto) punya pertimbangan dan Presiden juga bisa melihat kinerja masing-masing kepala staf angkatan karena kan Panglima juga selalu lapor sama Presiden. Jadi pasti Presiden pun sudah tahu gambarannya. Saya pikir otoritasnya di Presiden, nanti ditindaklanjuti oleh Panglima.
Berarti calonnya kepala staf angkatan sekarang atau mantan kepala staf terdahulu?
Enggak, Harus yang sekarang. Karena kalau yang dulu kan sudah enggak ada lagi, sudah pensiun. Kalau gue mau dan boleh, gue juga mau lagi hahahaha.
Jadi pilihannya antara angkatan laut atau angkatan darat?
Hehehehe iya sepertinya begitu karena kalau satu warna kan kurang. Saya dulu panglima dari Angkatan Darat, kemampuan saya di bidang pertempuran udara ya sedikit. Tapi kalau wakil saya dari udara jadi lengkap, atau wakil saya dari laut bisa saling melengkapi.
KASAL kan pensiun tahun depan, kalau dia dipilih apa enggak masalah?
Ya bisa aja sih hahahaha. Wong jabatan itu enggak mengenal waktu, saya waktu jadi Wakasad (Wakil Kepala Staf Angkatan Darat) cuma 3,5 bulan. Bisa juga, bisa bekerja juga melakukan sesuatu. Untuk apa masih lama tapi enggak bisa berbuat apa-apa kan ya sama aja hahahaha.
Perpres No. 66/2019 itu kan diteken tanggal 18 Oktober, jelang pengumuman kabinet. Apakah ini pembicaraannya satu paket atau terpisah?
Enggak, itu terpisah, cukup lama kita diskusikan.
Ada isu bahwa munculkan jabatan wakil panglima karena ada konflik politik di internal TNI, apakah benar?
Oh enggak. Politik apa yang dimaksud? Enggak ada. Ini karena kebutuhan. Enggak ada tujuan lain.
Nama KASAD Andika Perkasa menguat sebagai calon Wakil Panglima …
Yang menguat dua-duanya (KASAD atau KASAL) hehehe