Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Permenag 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim menjadi perbincangan karena mengatur soal tugas dan tujuan majelis taklim agar terhindar dari radikalisme. Ketum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menganggap Permenag itu perlu dikaji kembali.
ADVERTISEMENT
"Saya rasa perlu ditinjau ulang bahasanya," kata Haedar di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (16/12).
Haedar mengaku telah berdiskusi dengan Menag Fachrul Razi terkait polemik ini. Haedar menyarankan agar majelis taklim tak seharusnya diberi kebijakan tentang pencegahan radikalisme.
"Kami sudah ketemu Pak Menag juga dan saya pikir bisa ada saling pemahaman bahwa majelis taklim dan institusi-institusi Islam itu tidak perlu menjadi sasaran kebijakan dalam konteks menghadapi radikalisme," ungkap Haedar.
Menurut Haedar, hal ini perlu dilakukan agar radikalisme tidak selalu dihubung-hubungkan dengan Islam. Ia pun yakin Fachrul Razi akan mengkaji ulang usulannya.
"Karena kesannya radikalisme itu menjadi radikalisme Islam. Saya yakin Pak Menag akan seksama memperhatikan seperti itu," sebut dia.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi majelis taklim untuk mendaftar. Salah satunya pengajar atau pematerinya tidak radikal.
ADVERTISEMENT
"Persyaratan ustaz, pengajarannya juga gampang saja, ada dua persyaratan. Satu, dia menguasai membaca Al-Quran, bisa menguasai Al-Quran dengan baik dan hadis," kata Fachrul di Kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Senin (9/12).
"Kedua, menguasai ilmu agama Islam dengan baik, dua itu aja, enggak ada ngomong radikal, enggak ada. Selama dia memenuhi silakan menjadi ustaz di situ," lanjut dia.
Permenag tentang Majelis Taklim secara garis besar mengatur soal pendaftaran, penyelenggaraan yang mencakup pengurus, ustaz, jemaah, tempat, hingga materi ajar.