Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
MUI Bandung soal Pria Digugat agar Dipecat sebagai Ayah: Nasab Tak Bisa Putus
30 Oktober 2024 16:29 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI ) Kota Bandung, Miftah Farid, buka suara soal gugatan pencabutan kuasa RH sebagai ayah atas anaknya ke Pengadilan Agama Kota Bandung. RH digugat untuk dipecat sebagai ayah oleh jaksa selaku pengacara negara karena memperkosa anaknya.
ADVERTISEMENT
Miftah mengatakan, hal itu dapat dipandang sebagai sanksi agar yang bersangkutan bertaubat serta mendapat efek jera.
“Itu semacam sanksi kepadanya agar dia bertaubat. Ikhtiar untuk menyadarkan dia dengan sanksi agar jera,” kata Miftah saat dihubungi Rabu (30/10).
Gugatan pencabutan kuasa RH sebagai ayah dilayangkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bandung pada Senin (28/10) ke Pengadilan Agama. Sidangnya telah terjadwal pada 12 November nanti.
Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejari Bandung, Tumpal H. Sitompul, menjelaskan, pencabutan kuasa orang tua terhadap RH ini, jika kelak dikabulkan majelis hakim, akan membatasi sejumlah fungsi RH sebagai ayah. Seperti dalam urusan mendidik, mengurus, mengasuh.
Namun demikian, gugatan tersebut bukan menghapus hubungan darah. Selain itu, majelis hakim juga diminta agar RH tetap diwajibkan untuk menafkahi putrinya.
ADVERTISEMENT
Dua petitum tersebut sesuai Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Tepatnya ada dalam Pasal 32.
Berikut bunyinya:
1. Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan:
2. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
3. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan
4. batas waktu pencabutan.
Terkait itu, Miftah berbicara dalam kaca mata agama Islam. Status biologis orang tua dan anak memang tidak bisa terputus sekalipun mereka beda agama. Sehingga, UU tersebut sudah sejalan.
“Kalau dalam ajaran Islam, sekali orang tua ya orang tua. Tidak bisa diputus selamanya, walaupun beda agama,” katanya.
Mengenai perkara kewajiban orang tua memberi nafkah, Kasi Datun Kejari Bandung, Tumpal mengatakan itu berlaku hingga sang anak dewasa.
ADVERTISEMENT
“Sampai dewasa ya, kalau misalkan Undang-Undang Hukum Perdata itu kan 21, kalau Undang-Undang Perkawinan 18,” sebut dia saat dikonfirmasi terpisah kemarin.
Miftah juga mengatakan hal yang serupa soal batasan waktu orang tua memberi nafkah. Yakni ketika sang anak dewasa atau mencapai aqil baligh.
“Kalau nafkah itu sampai dewasa atau aqil baligh, begitu,” tuturnya.
Lebih lanjut, Miftah bilang memang ada hal yang bisa membuat orang tua terbatasi, dengan catatan posisi dia dengan sang anak beda agama. Yakni, si orang tua tak bisa jadi wali anaknya, urusan waris mereka terputus, dan wasiat orang tua ke anak jadi tidak berlaku.
“Nasab tidak bisa putus. Paling-paling beda agama itu, bisa putus aturan waris, itu tidak bisa jadi wali nikah, kemudian wasiat tidak berlaku,” bebernya.
ADVERTISEMENT
Berikut inti petitum jaksa dalam gugatan tersebut: