Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Seorang pejalan kaki membuat Ruli Johan (38) menghentikan langkah. Ia tak mengenal pria tambun di hadapannya. Mereka cuma kebetulan berserobok di Stasiun Mangga Besar. Ruli baru saja membeli makanan, Jumat (24/5) malam itu, selepas menunaikan salah tarawih di Masjid Lautze, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Baju koko masih melekat pada tubuhnya. Pria tadi yang memandang penuh selidik kemudian bertanya, “Koh, antum Islam ya?”. Pertanyaan yang membuat Ruli terhenyak. “Iya,” jawabnya setengah bingung. Obrolan selanjutnya, yang menurut Ruli janggal, kemudian mengalir begitu saja.
“China apa Islam?” timpal si pria.
“Ya Islam.”
“Oh udah masuk Islam?”
“Iya, tapi ya China.”
“Tapi kok masih China?
Ruli belum habis pikir, ada orang yang tak bisa membedakan Tionghoa sebagai etnis dan Islam sebagai agama. Dan mereka terheran-heran ketika Tionghoa dan Islam jadi identitas melekat pada seseorang di waktu yang bersamaan.
Tak cuma sekali Ruli dihadapkan pada situasi canggung semacam itu. Pertanyaan serupa juga pernah ia dapat saat tarawih di sebuah masjid, masih di bulan Ramadan lalu. Padahal Ruli bukan mualaf kemarin sore.
ADVERTISEMENT
Ia bersyahadat sejak 2002 silam. Ia kini menjadi pendakwah bagi komunitas Tionghoa di Masjid Lautze.
“Jadi orang yang persepsinya aneh kalau orang Tionghoa beragama Islam masih ada,” katanya, Sabtu (25/5).
Ada pula pengalaman Jesslyn Hadinata, seorang siswi SMP di Bogor yang terlahir sebagai Muslim. Seorang pengemudi taksi online pernah bertanya berkali-kali untuk menegaskan, ketika ia meminta diantar ke sebuah masjid. Belum lagi perhatian orang yang membuatnya tak nyaman.
“Kalau masuk ke masjid itu suka dilihatin orang-orang.” Ia berujar.
Bagi Ruli dan Jesslyn—dan banyak Muslim Tionghoa lain—stereotipe etnis sulit dienyahkan meski mereka menganut agama mayoritas. “Ketionghoaan” yang cenderung dipersepsikan negatif menjadi kesan pertama yang ditangkap orang ketimbang atribut lain.
“Orang-orang Tionghoa identiknya eksklusif, tertutup, antisosial, terus cuma materi oriented, cari duit, cari duit,” kata Ruli.
ADVERTISEMENT
Latar di balik prasangka negatif terhadap Tionghoa membentang panjang. Sejarawan Universitas Airlangga, Shinta Rahayu, mengatakan komunitas Tionghoa di Nusantara semula bisa berbaur dengan penduduk lokal nusantara secara alamiah.
Situasi itu kemudian dibalikan oleh VOC yang menguasai Hindia Belanda dengan mengeluarkan aturan Wikjenstelsel, pembagian wilayah berdasarkan etnis, pada 1860-an. Komunitas Tionghoa mendapat permukiman khusus. “Orang Cina kalau mau keluar dari perkampungannya mereka harus membawa surat jalan,” kata Shinta.
VOC juga menempatkan komunitas Tionghoa di kelas sosial kedua, dalam stratifikasi sosial. Sementara pribumi berada di kelas ketiga. Di sisi lain, ketekunan komunitas Tionghoa menjadikan mereka sebagai penguasa ekonomi.
“Penguasaan ini terlihat di pesisir di daerah pelabuhan ada Semarang, Cirebon, Surabaya, Palembang, Medan sampai Solo dan Jogja,” ungkap Sosiolog Universitas Indonesia, Ganda Upaya.
ADVERTISEMENT
Kecemburuan ekonomi, menurut dia, kemudian mengkristal jadi sentimen ras. Residunya masih terasa sampai sekarang. Muslim Tionghoa seperti Ruli dan Jesslyn, yang bahkan sama sekali tak bisa berbicara bahasa Tiongkok, masih harus menghadapinya. “Anak saya kalau ngaji masih suka diledekin. Karena kan masih sipit-sipit putih-putih,” keluh Ruli.
Menurut Ketua Yayasan Haji Karim Oei—pengelola Masjid Laotze, Ali Karim Oei, tak mudah menjadi Muslim beretnis Tionghoa di Indonesia. Banyak kesalahpahaman terhadap Tionghoa. Begitu pula sebaliknya, masih ada persepsi keliru di sebagian komunitas Tionghoa terhadap Islam.
Ada kesan Umat Islam malas dan terbelakang. Banyak mualaf Tionghoa, kata Ali, menghadapi tantangan dari keluarganya ketika ingin menjadi muslim karena perspektif keliru semacam itu. Tak jarang hubungan seorang Tionghoa dengan keluarga menjadi renggang setelah menjadi mualaf.
“Orang Chinese, orang Tionghoa, sudah (etnis) minoritas masuk agama minoritas (di kalangan Tionghoa). Itu masalah,” katanya.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Ruli, “Chinese muslim itu diserang dari dua arah. Dari orang-orang chinese juga imejnya negatif.” Ia mengalaminya sendiri. Ia semula berniat menjadi mualaf pada 1998. Belum sempat keinginan itu terwujud, kerusuhan imbas krisis ekonomi terlanjur pecah di Jakarta. Eskalasinya meningkat menjadi sentimen rasialis terhadap warga Tionghoa.
Kekacauan saat itu dianggap cerminan perilaku kelompok mayoritas. Puncaknya ketika seorang anggota keluarga memintanya mempertimbangkan ulang keputusan menjadi mualaf.
"Coba lihat yang jarah-jarah itu orang apa, agamanya apa? Yang bakar-bakaran? Yang rusuh. Orang Islam kan. Kenapa masuk Islam?" Ruli menirukan pertanyaan yang diterimanya waktu itu.
Posisi Ruli menjadi serba salah. Ia akhirnya baru menjadi mualaf pada 2002 setelah keriuhan reformasi mereda.
Ali Karim Oei berpendapat, dilema yang dihadapi muslim Tionghoa terletak pada kesenjangan informasi antara dua komunitas. Celah yang tak terisi itu kemudian menjadi ruang bersemainya prasangka.
Muslim Tionghoa pun harus bisa menjadi penengah di antara dua prasangka itu. Masjid Lautze yang dikelola yayasan pimpinan Ali belakangan mulai menggeser perannya sesuai tantangan zaman. Kalau dulu masjid ini berfungsi sebagai pusat informasi bagi kalangan Tionghoa untuk mengenal Islam, kini pengelola juga mendorong agar umat Islam juga mulai berusaha mengenal Tionghoa.
ADVERTISEMENT
"Masjid Karim Oei ini kita coba menjadi jembatan untuk menghilangkan pemikiran-pemikiran atau imej-imej negatif dari kedua belah pihak," kata Ruli Johan yang aktif di yayasan.
Yayasan Karim Oei membuka ruang komunikasi dengan kedua kelompok. Memang belum ada program spesifik. Tetapi setidaknya Masjid Lautze sudah berusaha memulai.
Simak story selengkapnya dalam Konten Spesial dengan topik Muslim Tionghoa Melawan Sentimen.