Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mutiara di Uang Rp 1.000: Cut Meutia dan Kisah Pernikahan Tragis nan Heroik
4 Agustus 2021 7:01 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Aceh, Meutia artinya Mutiara. Namun, perjalanan hidup Meutia sama sekali tak semulus arti namanya itu. Kisah pernikahan Meutia, misalnya, dipenuhi dengan kisah pengorbanan dan pertumpahan darah demi melawan penjajah di tanah Aceh.
Permulaan dari Kisah Tragis nan Heroik
Cut Meutia lahir sekitar tahun 1870. Ia merupakan anak dari seorang ulèëbalang (Kepala pemerintahan dalam kesultanan Aceh yang memimpin sebuah daerah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang).
Ayahnya yang merupakan seorang ulèëbalang itu menjodohkan Meutia dengan Teuku Syamsarif. Pria tersebut merupakan anak angkat Cut Nyak Asiah yang juga merupakan seorang ulèëbalang yang kaya raya.
Berdasarkan buku Srikandi Atjeh oleh M. Zainuddin (1966), sejak awal Meutia tidak menyenangi perjodohan yang dilakukan keluarganya tersebut. Bahkan, Meutia seringkali menghindari suaminya tiap kali pulang.
Meutia punya seribu alasan mengapa ia bersikap demikian. Salah satunya, ia tak suka dengan suaminya yang penuh kemewahan dan dekat dengan Belanda. Meutia amat membenci Belanda yang saat itu mulai menguasai Aceh Utara.
ADVERTISEMENT
Menurut buku Marechaussee in Atjeh karya M.H. Du Croo (1943), puncak kekesalan Meutia terjadi saat suaminya menjadi pejabat tinggi dan mendapat gelar Teuku Chik Bintara dari Belanda. Meutia semakin jengkel lantaran suaminya ditugaskan memegang wilayah tempat kelahiran Meutia, yakni Keureutoe.
Perbedaan pandangan ideologis itulah yang menyebabkan pernikahan Meutia dan suaminya kandas. Meutia memilih konsisten untuk melawan Belanda sampai harus merelakan pernikahannya sendiri.
Perjalanan Pernikahannya yang Selanjutnya
Meutia kemudian menikah lagi, kali ini dengan Teuku Chik Muhammad atau dikenal pula sebagai Teuku Chik Tunong. Seperti halnya Meutia, suaminya ini merupakan seorang pejuang Aceh yang tak gentar dengan Belanda.
Meutia dan Chik Tunong amat kompak. Mereka berdua banyak merepotkan belanda melalui berbagai aksi gerilya. Mulai dari mengganggu pasukan patroli Belanda, hingga aksi perampokan senjata.
Salah satu peristiwa yang krusial adalah peristiwa Meunasah Meurandeh Paja. Dalam peristiwa itu, 16 dari 17 serdadu Belanda yang dipimpin Sersan Vellaers dibantai habis, begitu pula sang sersan. Serdadu Belanda itu diserang saat beristirahat usai berpatroli di tempat yang dinilai suci oleh orang-orang Aceh. Otak dari pembantaian tersebut tak lain adalah suami Meutia, Chik Tunong.
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu kemudian menyulut reaksi dari Belanda di Aceh Utara. Mereka pun menangkap Chik Tunong untuk dieksekusi mati pada 5 Maret 1905 di Pantai Lhokseumawe. Untuk kedua kalinya, pernikahan Meutia pun kandas karena kali ini ditinggal pergi suaminya lebih dahulu.
Meski demikian, Chik Tunong sempat meninggalkan wasiat kepada sahabatnya, Pang Nanggroe, untuk menikahi Meutia. Pang Nanggroe adalah panglima atau kepala laskar dari pasukan Chik Tunong.
Sementara itu, Chik Tunong juga sempat meminta Meutia untuk menikahi Pang Nanggroe. Chik Tunong bahkan berpesan agar istrinya itu melanjutkan perjuangan melawan Belanda bersama Pang Nanggroe.
Maka terjadilah, tepat 100 hari setelah eksekusi mantan suaminya itu Meutia menikah dengan Pang Nanggroe.
Pada pernikahannya yang ketiga ini, perjuangan Meutia bersama Pang Nanggroe suaminya itu, tak kalah merepotkannya bagi Belanda. Sayangnya, perjuangan dengan suaminya yang ketiga ini jauh lebih sulit dan penuh dengan kesukaran.
ADVERTISEMENT
Mereka harus tinggal jauh di belantara rimba agar tidak mudah ditangkap. Begitu pula agar tak terlibat di dalam konfrontasi langsung yang jelas sangat sulit untuk dimenangkan.
Pasalnya, persenjataan yang dimiliki Belanda saat itu semakin modern. Belanda punya meriam dan senapan karabin. Sementara pejuang Aceh hanya menggunakan pedang sebagai senjata utama untuk bertempur.
Situasi yang serba sulit itu pun menorehkan luka lagi untuk Meutia. Pada 26 September 1910, Pang Nanggroe tewas akibat aksi penyergapan yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Kematian Pang Nanggroe itulah yang sekali lagi buat pernikahan Meutia berakhir.
Meski begitu, Meutia tetap tegar dan terus melanjutkan perjuangannya melawan Belanda secara bergerilya. Namun sebulan usai kepergian suaminya itu, Meutia pun gugur setelah ditembak dengan 3 peluru yang salah satunya satunya berhasil menembus kepala Meutia.
ADVERTISEMENT
Meutia gugur dengan tangan yang masih menghunuskan pedang. Sebagaimana hal itu diceritakan oleh H.C. Zentgraaff, seorang tentara Belanda yang melihat dan merekam gugurnya Meutia itu di dalam buku Atjeh Geschreven door en oud Atjehmen (1938). Buku itu sudah diterbitkan ulang pada 1985 setelah dialih-bahasakan oleh Aboe Bakar dengan judul Aceh. Tulisnya:
***
Konten ini merupakan bagian dari Karnaval Kemerdekaan 2021 yang digelar kumparan. Keseruan puncak acara Karnaval Kemerdekaan dapat disaksikan melalui live streaming pada 17 Agustus 2021 pukul 12.00 WIB di platform dan channel YouTube kumparan.