Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Selain juara sebagai negara dengan kasus COVID-19 terbanyak di Asia Tenggara, Indonesia juga memiliki angka anak positif COVID-19 yang lebih tinggi dibanding negara tetangga. Kondisi tersebut memperburuk indikator kesehatan anak yang sedari dulu memang cukup mengkhawatirkan.
Sudah dua minggu Rena (9) dikarantina di Gedung Sanggilo, Dompu, Nusa Tenggara Barat. Dari total enam pasien yang diisolasi di gedung berisi 12 kamar itu, Rena adalah satu-satunya anak yang dirawat di sana.
Rena dijemput selepas maghrib oleh sejumlah petugas kesehatan setelah tes swab yang ia jalani seminggu sebelumnya menunjukkan hasil positif. Hari itu juga gadis tersebut mesti berpisah dari televisi yang sedang ditontonnya, dari ayah dan kakak-kakak yang tengah menemaninya. Hanya Dhini, sang ibunda, yang boleh turut serta menemani Rena dikarantina.
“Tesnya juga 2-3 kali. Pertama itu rapid tes, hasilnya reaktif. Lalu karantina dua minggu. Terus kembali dites lagi, swab di RS Pratama. Tes pertama di sana itu negatif, lalu diswab kedua kali baru positif, langsung dijemput di rumah,” papar Dhini saat dihubungi kumparan pada Selasa (16/6).
Dhini tak pernah menyangka anaknya akan divonis positif COVID-19 sebab tak ada gejala apapun ditunjukkan oleh Rena. Anak bungsunya itu tetap ceria dan mencoba sebisa mungkin bermain meski harus dikarantina di antara orang-orang dewasa. “Gak tau dapat (tertularnya) dari mana,” ucap Dhini.
Sehari-hari Dhini bekerja sebagai petugas puskesmas, pekerjaannya itu membuat ia dan keluarga diwajibkan mengikuti rapid tes. Namun hanya Rena yang menunjukkan hasil reaktif. “Terus ada kakak sepupunya nih yang ikut tes, hasilnya reaktif, nah kakak sepupunya ini sama anak saya sering main bareng kan, makanya anak saya semuanya dites juga,” ucapnya. Namun dua kali menjalani tes swab, kakak sepupu Rena justru menunjukkan hasil negatif. “Tinggal anak saya aja yang positif.”
Dhini sendiri tengah menunggu hasil tes swab miliknya yang ia jalani minggu lalu. “Sekarang saya pasrah aja nih, soalnya saya sudah bergabung dengan pasien yang sudah positif corona . Jadi saya nih gimana ya.. gatau deh hasil tesnya nanti positif atau engga,” ucapnya kemudian.
Rena termasuk beruntung, ia terdeteksi sebelum menunjukkan gejala apapun, tak ada demam, batuk, ataupun sesak nafas yang dialaminya. “Tiap hari diperiksa sama dokter, jadi tiap hari dikasih vitamin. Kalau ada keluhan, baru dikasih obat. Kalau gak ada keluhan cuma dikasih vitamin aja,” pungkas Dhini.
Tapi tak semua “seberuntung” Rena. Hingga 19 Juni 2020, ada sekitar 116 anak positif COVID-19 di Nusa Tenggara Barat dan tiga di antaranya meninggal dunia. Salah satunya putra Iyansyah bernama Fahri yang baru berusia sembilan bulan. Tanpa pernah tahu dari mana penularan itu terjadi, Fahri harus meregang nyawa pada Rabu (27/5).
Ketua LPA (Lembaga Perlindungan Anak) Joko Jumadi saat dihubungi kumparan mengatakan rentang usia anak positif COVID-19 pun beragam, mulai dari bayi usia 5 hari hingga anak usia 18 tahun. Persebarannya pun tak hanya terkonsentrasi di Mataram saja namun meluas ke berbagai wilayah di Nusa Tenggara Barat.
"Tidak bisa terdeteksi lagi dari mana penularannya, ada beberapa case orang tua yang menularkan pada anaknya. Tetapi di case-case terakhir malahan berbalik. Jadi orang tuanya negatif, anaknya yang positif, bahkan anaknya yang menularkan kepada orang tuanya," ucap Joko.
Bergeser sedikit ke Barat, provinsi Jawa Timur mencatat angka penularan COVID-19 yang cukup fantastis. Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) provinsi Jatim mencatat, per 7 Juni 2020 terdapat 404 anak telah tertular COVID-19. Rinciannya yaitu anak usia 0-5 tahun yang tertular sebanyak 101 anak dan 303 anak usia 6-17 tahun.
“Di antaranya itu ada satu yang meninggal. Umurnya 1,5 tahun. Tapi itu kebetulan juga ada demam berdarahnya,” ujar Ketua Rumpun Tracing Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, dr. Kohar Hari Santoso di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (2/6).
Sementara di Jawa Barat, tercatat sudah 190 terinfeksi COVID-19. Satu orang balita dan dua orang anak usia sekolah di antaranya meninggal dunia, puluhan lainnya masih dalam perawatan.
Di level nasional, berdasarkan data Kementerian Kesehatan per tanggal 21 Juni menunjukkan angka kasus positif anak umur 0-17 tahun adalah 7,9 persen atau sekitar 3.625 jiwa dari total kasus di Indonesia sebanyak 45.891. Jumlah ini jauh lebih tinggi ketimbang proporsi di China (2,6%), Australia (4,59%), dan Amerika (4,1%).
Selain proporsi kasus anak yang jauh lebih tinggi ketimbang negara lain, angka kematian anak di Indonesia juga cukup mengkhawatirkan. Negara lain seperti China, Singapura, Korea Selatan, dan Italia bisa menekan angka kematian anak karena COVID-19 hingga nol persen. Di Indonesia, angka kematian pada usia 0-5 tahun mencapai 2,23 persen dan 0,48 persen pada usia 6-17 tahun. Total kasus anak meninggal karena COVID-19 yang tercatat hingga hari ini adalah 31 kematian dengan rincian 20 kasus usia 0-5 tahun dan 11 kasus usia 6-17 tahun.
Angka tersebut masih dipertanyakan sebab hingga sekarang data dari Kemenkes belum memasukkan jumlah PDP dan ODP yang meninggal. “Pertama, kita tidak tahu persis berapa jumlah tes yang dikerjakan pada anak karena tidak ada datanya yang didetailkan oleh Kementerian Kesehatan,” ujar ahli respirologi anak Satgas COVID-19 IDAI, dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K), kepada kumparan pada Jumat (19/6). Hal tersebut disebabkan oleh contact tracing atau penelusuran kontak penularan yang belum cukup merata dan memadai di Indonesia. Selain itu juga data ODP dan PDP yang belum dibuka ke publik.
“Sehingga yang banyak ditangkap data, anak yang datang ke rumah sakit dengan kondisi sakit. Sehingga kelihatannya memang jadi lebih tinggi (tingkat kematian pada anak),” papar Nastiti selanjutnya.
Persoalan lain yang dihadapi adalah parameter kesehatan anak Indonesia yang tak bisa dibilang baik-baik saja. “Angka kematian bayi dan balita kita masih cukup tinggi. Sebelum era COVID-19 pun masih cukup tinggi. Yang kedua, cakupan imunisasi kita rendah. Sebelum era COVID-19 juga itu cakupan imunisasi kita rendah,” ucapnya.
Hingga 2017 angka kematian bayi di Indonesia masih berada di angka 24 per seribu kelahiran. Sementara cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia pada 2018 hanya lah 59,2 persen saja artinya hanya 2,5 juta anak usia 12-23 bulan yang lengkap imunisasinya. Pada awal Desember 2019, Kepala Seksi Imunisasi Dasar Kementerian Kesehatan Syamsu Alam menjelaskan bahwa ada sekitar 19,9 juta anak yang rentan tertular penyakit karena tidak mendapat imunisasi lengkap sebelumnya.
"Anak yang tidak diimunisasi lengkap tidak memiliki kekebalan sempurna terhadap penyakit-penyakit berbahaya sehingga mudah tertular penyakit, menderita sakit berat. Selain itu, mereka juga menjadi sumber penularan penyakit bagi orang lain," ujarnya saat menyampaikan materi Program Imunisasi Nasional pada Pelatihan Peliputan Hak Anak dan Kekerasan di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (8/12/2019).
Di era pandemi ini, layanan imunisasi bahkan sempat tertutup demi mengikuti protokol kesehatan. Namun kini layanan tersebut mulai dibuka perlahan dengan aturan yang cukup ketat.
“Kemudian dr Aman, Ketua IDAI, juga sering membahas masalah stunting kan. Stunting kita juga 30 persen, itu tinggi. Jadi parameter kesehatan sebelum era COVID-19 kita juga tidak terlalu baik,” ucap Nastiti selanjutnya. Indikator kesehatan anak yang tidak terlalu baik itu diperparah dengan penyakit-penyakit infeksi yang terbilang masih tinggi. “Belum lagi ada penyakit-penyakit infeksi yang lain ya seperti tuberculosis, itu juga kita masih menjadi juara tiga.”
Nastiti pun menjelaskan bahwa di luar persoalan COVID-19 yang menyerang kekebalan tubuh dan paru-paru, pneumonia juga masih menjadi penyebab banyak kematian balita di Indonesia. “Sekarang ditambah COVID-19 yang juga menimbulkan peradangan pada paru-paru, itulah yang menyumbang angka fatality rate pada anak semakin tinggi.”
Nasib anak di era pandemi ini semakin mengkhawatirkan karena belum adanya data komorbid atau penyakit lain yang biasanya menyertai anak. IDAI mengumpulkan laporan dari sejumlah dokter spesialis anak yang menangani pasien COVID-19, ditemukan kormobid yang ada pada anak diantaranya adalah leukemia, penyakit jantung bawaan, gagal ginjal, hingga gizi buruk.
"Jadi double infection itu juga ada dan memperberat kondisinya. Misal ada pasien yang positif TBC, namun positif COVID-19 juga. Ada pula yang positif DBD namun akhirnya positif COVID-19."
Menurut Nastiti, serupa dengan perempuan hamil, anak merupakan kelompok rentan yang disebut sebagai specific population. Maka dari itu cara terbaik melindungi anak di masa pandemi ini adalah mencegah penularan terhadap anak. Sebab hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang terbukti ampuh dan aman, bukan saja bagi anak tapi juga usia dewasa.
"Kelompok ini lebih vulnerable, jadi nggak bisa sembarangan untuk uji coba obat atau uji klinis obat sebelum pada dewasa terbukti aman."
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.