Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Negosiasi Negara Maju dan Berkembang di COP24 Polandia Berjalan Alot
10 Desember 2018 17:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Tujuan Konferensi Perubahan Iklim PBB atau Conference of Parties (COP) UNFCCC ke-24 adalah menghasilkan kerangka kerja dari Perjanjian Iklim Paris 2015. Sayangnya, negosiasi antara negara maju dan berkembang dalam menghasilkan panduan bernama 'Katowice Rolebook' itu berjalan alot.
ADVERTISEMENT
"Indonesia berpandangan proses selama seminggu ini, meskipun ada beberapa kemajuan signifikan yang harus dilakukan, namun untuk status negosiasi banyak isu yang belum disepakati," kata Ketua Negosiator COP24 UNFCCC, Nur Masripatin, di Paviliun Indonesia, Katowice, Polandia, Senin (10/12).
"Ternyata kemarin masih belum semuanya (disepakati) karena berjalan alot," imbuhnya.
Nur mengatakan, pembahasan yang masih alot itu terkait transparansi kerangka kerja Perjanjian Paris. Menurutnya, dengan adanya transparansi, setiap negara harus memperlihatkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Sayangnya, beberapa negara maju terkesan kurang menunjukkan peran dalam transparansi ini. Sebab, hal tersebut bisa mempengaruhi kebijakan jangka panjang negara mereka.
“Kerangka transparansi itu masih kurang, khususnya negara-negara maju. Bahkan, mereka bilang dapat mempengaruhi kebijakan mereka. Misalnya saat ganti pemerintahan itu, pasti akan ganti kebijakan. Tentu ini mereka menganggap berpengaruh pada kebijakan jangka panjang mereka,” jelas Nur.
Nur juga menyoroti masalah komitmen negara-negara maju dalam membantu negara berkembang terkait pendanaan dan teknologi pengurangan emisi karbon. Sementara, negara maju terkesan kritis dengan masalah pendanaan karena dalam Perjanjian Paris, hal tersebut bukan sebuah kewajiban.
ADVERTISEMENT
“Mereka (negara maju) menganggap (masalah pendanaan) bukan kewajiban. Karena itu, sangat diperlukan untuk menunjukkan fleksibilitas serta kesediaan untuk berkompromi untuk mencapai hasil Katowice Rulebook sebagaimana diamanatkan oleh Perjanjian Paris," jelasnya.
Namun, Nur menegaskan, Indonesia akan tetap mendorong agar Katowice Rulebook bisa segera diwujudkan. Sebab, Indonesia ingin segera mengimplementasikan pedoman tersebut dalam mengurangi emisi karbon.
“Indonesia ingin mengadopsi Katowice Rules Book yang komprehensif, yang memungkinkan semua pihak dengan beragam keadaan nasional, kapasitas, dan kemampuan untuk menerapkan dalam konteks nasional," pungkas Nur.
Perjanjian Perubahan Iklim diterbitkan pada COP ke-21 pada tahun 2015 di Kota Paris. Perjanjian itu berisi kesepakatan mengawal pengurangan emisi gas karbon dioksida atau gas rumah kaca sejak 2020 hingga menyediakan bantuan bagi negara berkembang untuk mengurangi emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Untuk mendukung pengurangan emisi gas karbon dioksida, dibutuhkan kontribusi dari masing-masing negara yang tergabung dalam UNFCCC. Termasuk menekan peningkatan laju pemanasan global hingga di bawah 1,5-2 derajat celcius selambat-lambatnya pada 2030.
Sementara itu, Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon hingga 29 persen atau 2,8 giga ton pada 2030 mendatang. Target tersebut bisa meningkat hingga 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nubaya Bakar, Indonesia telah berhasil mengurangi emisi karbon dioksida hingga 820 juta ton pada 2016. Kemudian Indonesia melalui kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) menargetkan penurunan emisi hingga 0,8 giga ton, pada 2018.