Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Neno Warisman di Pusaran Persekusi #2019GantiPresiden
3 September 2018 9:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
“Pokoknya banyak orang mengelilingi mobil dan mereka bilang ‘Mundur mundur. Ini keadaan gawat. Mengerti gak gawat?’” cerita Neno Warisman menyoal penolakan massa terhadap dirinya di Pekanbaru, Riau, pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Saat itu sudah enam jam Neno terjebak dalam mobil. Ia tak bisa ke mana-mana. Sekelompok massa menghadangnya ketika mobil yang ia tumpangi hendak keluar dari kompleks Bandara Sultan Syarif Kasim II pada Sabtu sore (25/8), pukul 15.30 WIB.
Teriakan ‘Pulangkan Neno Warisman. Usir dari Pekanbaru ’ menggerung dari ratusan massa yang menutupi akses keluar kawasan Bandara SSK II Pekanbaru. Neno terjebak, mobilnya tak bisa bergerak.
Suasana berbeda itu sebenarnya telah tercium oleh Neno sejak ia melangkahkan kakinya di bandara sekitar pukul 15.15 WIB. Neno dengan segera dihampiri oleh empat pria berseragam TNI, salah satunya berpangkat melati tiga, yang mendesak Neno agar mau mengikuti mereka ke sebuah ruangan. Namun permintaan tersebut tak diindahkan Neno.
ADVERTISEMENT
Pemilik nama asli Titi Widoretno Warisman itu terus berjalan menuju mobil yang sudah menunggunya. Ia bersama aktivis Ganti Presiden lainnya, Syamsul Balda, saat itu telah dijemput oleh Dian Tabrani dan suaminya, Lukman. Dian merupakan putri dari ‘Ongah’ Tabrani Rab, tokoh Gerakan Riau Merdeka.
Kedatangan mantan penyanyi dan aktris era 1980-an tersebut bukan hanya untuk memenuhi undangan deklarasi Gerakan Ganti Presiden yang akan digelar esoknya, Minggu (26/8). Neno memiliki dua agenda lain terlebih dulu, yakni menghadiri pesta ulang tahun anak Dian serta bertemu Ustaz Abdul Somad.
Ketiga rencana tersebut akhirnya batal sebab situasi kian memanas ketika datang kelompok ormas pendukung #2019GantiPresiden. Mereka mengatasnamakan diri sebagai FPI dan Laskar Melayu Bersatu yang hendak membebaskan Neno Warisman.
ADVERTISEMENT
Bentrokan di antara kelompok pro dan kontra yang tak terhindarkan itu segera diamankan petugas. Sebagian kelompok yang merusuh dikejar polisi, massa dibubarkan paksa oleh aparat, sementara wartawan sempat dilarang meliput kericuhan itu. Area itu kemudian disterilkan, garis polisi pun dibentangkan di sekitar mobil Neno Warisman.
Senja mulai tiba ketika Budi Febriadi, tokoh pemuda Laskar Melayu Bersatu, mengetuk pintu mobil Neno dan mengatakan ia akan membantu bernegosiasi dengan aparat. Namun negosiasi tampaknya berlangsung alot.
Berulang kali jendela mobil diketuk oleh petugas, berkali-kali Neno berkata bahwa ia sabar menunggu masalah selesai hingga diizinkan keluar. Lukman, suami Dian Tabrani, pun ikut turun dan bertanya akan situasi yang terjadi, sebab langit sudah gelap tapi nasib mereka belum juga jelas.
ADVERTISEMENT
Setelah mengikuti jalannya diplomasi, Lukman kembali ke dalam mobil. “Saya tidak tahan dengar omongannya. Kalau nggak keluar juga, mau ditimpukin batu, mau dibakar, mau di... pokoknya tindakan-tindakan yang nggak pantaslah,” ujar Neno menirukan ucapan Lukman.
Neno juga mendapat kabar, karena masih ada ada jadwal penerbangan jam 9 malam maka dirinya akan dipulangkan ke Jakarta menggunakan pesawat. “Tapi setelah jam 9, gak tahu dari mana, mobil ini dihujani batu. Ditimpuk batu besar-besar,” tutur Neno.
Hujan batu yang kian menderas membuat kaca mobil retak dan terguncang. Di tengah situasi mencekam, atap dan badan mobil digebrak-gebrak disertai teriakan dan cekaman. Syamsul Balda, suami-istri Tabrani, dan supirnya diseret, dipaksa keluar dari mobil.
ADVERTISEMENT
“Ada teriakan… 'Kalau nggak keluar, saya bakar', dan ancaman-ancaman. Saya tinggal sendiri dalam mobil,” lanjut Neno. Sekitar empat orang polwan kemudian masuk mobil, tapi Neno bersikeras untuk tinggal dan malah menanyakan keberadaan Budi Febriadi.
Di tengah teriakan, ancaman, serta satu dua lemparan batu yang tersisa, keluarga Tabrani datang kembali menghampiri Neno di mobil. Mereka menyarankan Neno untuk pindah kendaraan. “Terus ada laki-laki yang tinggi dan berwajah ramah daripada banyak orang, dia bilang 'Saya jamin ke penginapan'. Ternyata bohong, nggak ke penginapan.”
Neno dan Balda dipulangkan malam itu juga menggunakan pesawat Lion JT297 pukul 22.30 WIB. Pada malam yang sama, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Riau mengeluarkan imbauan agar deklarasi #2019GantiPresiden ditunda hingga masuk masa kampanye.
ADVERTISEMENT
“Sebaiknya kegiatan tersebut diundur sampai masuknya masa kampanye pemilihan presiden 23 September 2018,” kata Ketua Bawaslu Riau, Rusidi Rusdan kepada Antara.
Sementara itu, keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN)–tepatnya BIN Daerah–dalam kisruh pemulangan Neno dinilai sebagai tindakan berlebihan. Menjawab kritikan tersebut, Direktur Publikasi dan Komunikasi BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan bahwa keamanan wilayah memang menjadi tanggung BIN Daerah.
“Dalam kasus yang terjadi di Pekanbaru kemarin, kita berupaya menghindarkan adanya benturan. Selain tidak ada izin, situasi sudah memanas, ada pelemparan batu dan sebagainya. Maka memang harus dilakukan upaya-upaya pengamanan,” ujar Wawan dalam konferensi pers yang digelar di Sate Pancoran, Jakarta, Senin (27/8).
Di hari yang sama, acara diskusi Ganti Presiden yang akan dihadiri oleh Ratna Sarumpaet di Bangka Belitung batal digelar sebab tak beroleh izin kepolisian. Hal serupa dialami oleh Mardani Ali Sera yang hendak menghadiri deklarasi Ganti Presiden di Pontianak pada Minggu (26/8).
ADVERTISEMENT
Neno sendiri bukan kali ini saja ditolak kedatangannya oleh masyarakat. Pada akhir bulan Juli, sejumlah warga Batam melakukan aksi protes di depan Bandara Hang Nadim, Batam. Mereka tak berkenan atas keberadaan Neno dan rencananya untuk deklarasi Ganti Presiden di sana. Acara pun batal digelar dan Neno terpaksa kembali pulang ke Jakarta malam itu juga.
Sementara Ahmad Dhani ditolak di kampung halamannya sendiri, Surabaya. Mantan personel Dewa 19 yang kini menjadi caleg dari Gerindra diadang massa yang tak setuju dengan gerakan Ganti Presiden yang akan dideklarasikan Dhani di hari Ahad itu.
“Penolakan kan sebenarnya cukup dengan kata-kata aja kan, tidak perlu dengan tindakan. Ini kan dengan tindakan represif oleh gerombolan-gerombolan, ada yang pake seragam Banser,” tutur Dhani kepada kumparan, Rabu (29/8).
ADVERTISEMENT
Keterlibatan sekitar 30 orang Banser, menurut Ketua GP Ansor Surabaya HM Faridz Afif, adalah pilihan masing-masing individu dan bukan perintah organisasi. “GP Ansor Kota Surabaya akan memberikan sanksi tegas pada kader banser yang kemarin ikut,” ujar Faridz ketika dihubungi via telepon, Jumat (31/8).
Bersamaan dengan acara car free day, massa dari berbagai ormas mengepung Hotel Majapahit tempat Dhani menginap. Menurut Dhani, selama dua jam lebih mereka berorasi. “Car free day katanya nggak boleh buat politik. Tapi mereka teriak-teriak, ngata-ngatain saya. 'Hancurkan Ahmad Dhani'.”
Setelah massa mulai membubarkan diri, Dhani pun beranjak pindah ke Hotel Elmi. “Mereka lalu mau nyerang saya di Elmi itu. Mau nyerang secara fisik. Polisinya diam saja. Malah saya disuruh pergi dari hotel, disuruh pulang,” ucap Dhani.
ADVERTISEMENT
Personel Dewa 19 ini curiga aparat membiarkan aksi penolakan terhadap dirinya dan deklarasi Ganti Presiden. Sebab di hari yang sama, kata Dhani, juga ada acara deklarasi dukungan untuk petahana.
Berbagai dugaan muncul atas aksi-aksi penolakan terhadap deklarasi #219GantiPresiden. Dua kelompok yang senantiasa dituding menjadi dalang aksi penolakan itu adalah Projo dan GP Ansor.
Menanggapi tudingan itu, Ketua Projo Budi Arie berkata, “Aspirasi kami bukan mengadang, tapi kami sampaikan aspirasi bahwa masyarakat tidak menghendaki acara itu.”
Bagi kelompok relawan pendukung Jokowi sejak 2014 itu, gerakan #2019GantiPresiden menguarkan aroma permusuhan. “Nuansa gerakan Ganti Presiden ini kan aromanya lebih banyak kebencian, dendam, yang kontraproduktif untuk kemajuan demokrasi.”
Sementara Ketua GP Ansor, Yaqut Cholis Qoumas, mewaspadai gerakan ini ditunggangi kepentingan kelompok-kelompok fundamentalis yang ingin mengganti bentuk NKRI. Ia menilai gerakan Ganti Presiden sebagai gerakan banci yang menolak Jokowi tapi juga tidak jelas mendukung Prabowo.
ADVERTISEMENT
“Kalau gerakan ini sebatas gerakan politik memperbesar ceruk anti-Jokowi kemudian pada saatnya dialihkan ke Prabowo, nggak apa-apa. Silakan, itu soal pilihan. Kalau mereka mendesain gerakan ini untuk mengganti bentuk negara yang sudah disepakati bersama, maka kita akan lawan,” ujar pria yang akrab disapa Gus Yaqut ini.
Bagi Budi Arie, terjadinya berbagai penolakan di daerah adalah satu hal yang wajar sebagai reaksi atas aksi yang mereka lakukan karena menghasut dan memprovokasi masyarakat.
Pria lulusan FISIP Universitas Indonesia itu bahkan menilai bahwa gerakan Ganti Presiden sedang melakukan playing victim. “Itu kan sengaja mereka ciptakan juga, seolah-olah menjadi korban,” imbuh Budi Arie.
Empat bulan lalu, tudingan itu dikeluarkan oleh kelompok #2019GantiPresiden kepada Susi Ferawati yang mengenakan kaos putih bertuliskan Dia Sibuk Kerja. Kaos yang mengindikasikan bahwa ia ada di barisan pendukung Jokowi.
ADVERTISEMENT
Minggu terakhir di bulan April itu Susi yang diintimidasi oleh sekelompok pria berkaos hitam dengan tulisan #2019GantiPresiden. Kalimat ‘Woi dibayar lu, cebong lu’ hingga umpatan ‘bego lu’ dialamatkan kepadanya.
Kepada putranya yang tampak ketakutan dikerubuni massa, Susi berkata “Kita tidak takut, nak. Kita benar. Kita tidak akan pernah takut.” Bagi Susi, apa yang dialaminya berbeda dengan apa yang dialami Neno.
“Jangan disamainlah. Dia itu kan sengaja,” ujar Susi menanggapi apa yang dialami oleh Neno Warisman. “Kalau saya ini kan spontan, mereka langsung ngerumunin saya, anak saya sampai nangis, dan saya tidak melakukan apa-apa.”
Sementara Neno Warisman memang dikenal vokal sebagai bagian dari oposisi, setidaknya sejak Aksi Bela Islam 212 terlahir. “Kalau kacamata saya, dia (Neno) tidak dipersekusi. Mereka malah dilindungi sama aparat,” imbuh Susi.
Gerakan yang dideklarasikan oleh Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera pada 6 Mei 2018 di Lapangan Monas, Jakarta itu kini bergulir bak bola salju yang kian membesar. Selain Mardani, gerakan ini dipimpin oleh Neno Warisman dan Abu Jibril Fuad.
ADVERTISEMENT
#2019GantiPresiden hingga kini diklaim Neno sebagai gerakan sosial dan belum berafiliasi dengan salah satu partai ataupun pasangan calon. Sebagai gerakan sosial, acara-acara deklarasi kelompok ini pun dinilai tidak melanggar aturan.
“Tagar itu sampai sekarang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar dalam diskusi di Polda Metro Jaya, Selasa (28/8).
Sebab deklarasi Ganti Presiden tidak menawarkan visi dan misi, program, ataupun citra diri salah satu pasangan calon–sesuai definisi tertulis dalam UU Pemilu. Hanya saja di lapangan aksi-aksi gerakan ini diisi oleh kader-kader PKS, Gerindra, ataupun PAN yang merupakan partai oposisi pengusung Prabowo-Sandi.
Bagi peneliti dan pengamat politik LIPI, Wasisto Raharjo Jati, gerakan #2019GantiPresiden itu masih ambigu. “Antara ingin mengganti presiden di 2019 tapi tidak ada yang diusung. Ini kan sangat naif,” ujar Wasisto.
ADVERTISEMENT
Di negara maju, gerakan non-partisan biasanya membawa isu yang yang lebih jelas entah soal lingkungan, kemiskinan, gender, ataupun hukum dan HAM. Namun tidak mengarah ke politik.
Sebagai gerakan sosial, bagi Wasisto, #2019GantiPresiden tidak bersifat konstruktif. “Gerakan ini menurut saya masuk dalam gerakan sosial represif, karena mereka berusaha menimbulkan sentimen kebencian dalam masyarakat,” ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai ada hal lain yang perlu diwaspadai dari gerakan #2019GantiPresiden, yakni ketika gerakan ini digunakan oleh kelompok tertentu.
“Satu, untuk menebar kebencian. Kedua, yang lebih berbahaya adalah kalau ini ditunggangi oleh kelompok tertentu yang memiliki prinsip untuk mengganti sistem pemerintahhan,” ujarnya ketika dihubungi kumparan, Jumat (31/8).
ADVERTISEMENT
Di sela berbagai kontroversi, satu hal yang pasti: pemberangusan terhadap kebebasan berpendapat tetaplah luka bagi kehidupan demokrasi. Dilakukan oleh dan kepada pihak manapun, intimidasi dan kekerasan hanya menyemai benih permusuhan.
Bukankah berpelukan sebagai satu keluarga bernama Indonesia lebih indah ketimbang mengumbar dendam dan kebencian, apalagi sekadar demi acara lima tahunan?
------------------------
Simak selengkapnya Di Balik #2019GantiPresiden di Liputan Khusus kumparan.