Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sakit demam saat tinggal di Desa Tenumbang, Krui, Pesisir Barat, Lampung , pada 1982, mengubah jalan hidup Mustopa NR (60). Saat sakit itulah, kepada keluarganya, Mustopa mengaku bermimpi Nabi Muhammad SAW .
Tak cuma sekali, saat sudah pindah ke Desa Sukajaya, Pesawaran, Lampung pada 1992, Mustopa kembali mengaku mengalami kejadian serupa. Namun kali ini Mustopa mengeklaim bertemu nabi di alam nyata.
Dalam momen tersebut, berdasarkan surat-surat yang dikirim ke Majelis Ulama Indonesia (MUI ) dan berbagai instansi lainnya, Mustopa merasa mendapat mandat.
“Dia (Mustopa) menyatakan dapat perintah atau pengakuan dari nabi bahwa dia adalah nabi kedua atau wakil nabi,” ujar Ahli Bidang Agama Islam Kemenag, Husni, dalam konpers di Polda Metro Jaya, Jumat (5/5).
Mustopa meyakini mimpi tersebut. Lima tahun berselang atau pada 1997, Mustopa mulai terang-terangan kepada warga sekitar.
Berdasarkan keterangan istri Mustopa, LD, kepada polisi, saat itu Mustopa mengumpulkan warga, tokoh agama, maupun ustaz di sekitar rumahnya berjumlah sekitar 20 orang. Di momen itulah, Mustopa meminta pengakuan sebagai wakil nabi.
“Namun pada saat yang bersangkutan menyampaikan [bahwa ia] wakil nabi, tidak ditanggapi dan peserta bubar,” kata Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi.
Keluarga pun sempat mengingatkan Mustopa agar sadar dan tidak perlu mengaku-ngaku sebagai wakil nabi. Tetapi setiap kali diingatkan, Mustopa kerap mengancam akan memutus hubungan sebagai keluarga. Ancaman itu membuat keluarga mengalah.
Sumber kumparan yang mengetahui kasus ini menyatakan, Mustopa sempat diamankan di Polsek Kedondong, Pesawaran, setelah mengumpulkan warga di rumahnya. Tetapi kemudian dilepaskan karena keluarga menyebut Mustopa memiliki gangguan jiwa.
Ditolak keluarga, warga sekitar, hingga sempat diamankan tak membuat obsesi Mustopa memudar. Ia justru semakin menjadi. Sejak 2003, Mustopa beberapa kali mengirim surat meminta pengakuan sebagai wakil nabi ke berbagai jenjang pemerintahan mulai kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga presiden.
Bahkan pada 10 Februari 2016, Mustopa nekat merusak kantor DPRD Lampung karena tak ditanggapi ketika ingin bertemu pimpinan dewan. Melalui pimpinan DPRD Lampung, Mustopa hendak menyampaikan aspirasi kepada Presiden Jokowi agar diakui sebagai wakil nabi.
Tak berhasil menemui pimpinan DPRD membuat Mustopa emosi. Ia langsung melempar kaca ruang tunggu tamu Ketua DPRD Lampung dengan botol Root Beer. Akibatnya, kaca ruang tunggu tersebut pecah dengan nilai kerugian Rp 2 juta.
Mustopa diamankan dan diadili di Pengadilan Tanjungkarang. Ia divonis 3 bulan penjara. Tetapi Mustopa tak terima hingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Dalam pertimbangan kasasinya, Mustopa tidak mempermasalahkan kasus perusakan DPRD Lampung. Namun ia meminta pengadilan untuk memutuskan apakah ia merupakan wakil nabi atau tidak.
“Kalau bukan [wakil nabi] berarti Pemohon [Mustopa] bohong, berikan Pemohon sanksi yang seberat-beratnya, tembak mati bila perlu,” isi pertimbangan kasasi Mustopa dikutip dari salinan putusan MA nomor 913 K/PID/2017.
Terhadap permohonan kasasi tersebut, pada 2 November 2017, MA tetap memvonis Mustopa selama 3 bulan penjara.
Kombes Hengki menyatakan, vonis terhadap Mustopa membuktikan bahwa ia sadar terhadap perbuatannya. Sehingga ia tidak termasuk pengecualian pemidanaan sebagaimana Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit penyakit tidak dipidana.
Walau sudah pernah divonis penjara atas obsesinya sebagai wakil nabi tersebut, Mustopa tidak jera. Ia beberapa kali mendatangi MUI di Jakarta, setelah sebelumnya kerap menyatroni MUI Lampung.
“Jadi [MUI] di Jakarta hanya ujungnya saja. MUI Lampung lebih sering didatangi [Mustopa] menyampaikan aspirasi untuk dapat pengakuan sebagai nabi,” kata Kombes Hengki.
Saat bertandang ke MUI Pusat, Mustopa ingin menemui sang ketua. Tetapi Mustopa tak menyebut siapa Ketua MUI yang dimaksud. Sebab dalam kepengurusan di MUI, terdapat 1 ketua umum, 3 wakil ketua umum, dan 14 ketua. Belum termasuk ketua komisi di MUI yang berjumlah 11 orang.
Namun dalam beberapa kali kedatangannya ke MUI, Mustopa tak pernah mendapat respons. Ia pun menulis surat-surat yang ditujukan ke MUI dan Polda Metro Jaya.
Seperti pada 2 Januari 2022 di mana Mustopa mengirim surat ke MUI yang isinya menyatakan bahwa ia adalah wakil nabi; ingin bertemu Ketua MUI; seraya mengajak mempersatukan umat.
Sedangkan dalam suratnya ke Polda Metro Jaya yang ditembuskan ke MUI pada 25 Juli 2022, Mustopa bersumpah akan menembak penguasa, terutama orang-orang MUI, apabila Kapolda Metro Jaya tak mempertemukannya dengan Ketua MUI.
Pada 5 September 2022, Mustopa kembali mengirim surat ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan serupa: ingin dipertemukan dengan Ketua MUI. Masih dalam surat yang sama, apabila mendapat senjata, ia bersumpah akan melaksanakan ultimatum sesuai surat 25 Juli 2022 dengan mendatangi kantor MUI dan menembaki orang-orang di sana.
Kombes Hengki menyebut Mustopa tidak memiliki kemampuan komputer. Sehingga ia meminta bantuan pegawai rental komputer dekat rumahnya untuk mengetik surat-surat tersebut.
“Yang bersangkutan tulis tangan didiktekan dan diketik di rental yang jaraknya 100 meter dari rumahnya. [Biaya] setiap surat Rp 5 ribu,” kata Hengki.
Walau sudah beberapa kali ke MUI bahkan mengirim sejumlah surat, keinginan Mustopa tak kunjung terwujud. Sampai akhirnya ia nekat menyerang kantor MUI pada Selasa (2/3) siang. Aksi teror bersenjata Mustopa itu melukai 3 pegawai MUI.
Ia kemudian diamankan dan diserahkan ke polisi. Setelahnya, Mustopa tewas bersama obsesinya sebagai wakil nabi.
“Korban (pelaku) mati karena serangan jantung yang diperberat dengan penyakit infeksi paru,” kata tim dokter RS Polri, Arfiani Ika Kusumawati.
Merasa Setara dengan Petinggi MUI
Dalam pendalaman kasus, Polda Metro Jaya menggandeng Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) untuk membedah alam pikir Mustopa. Metode yang dilakukan dengan mewawancarai anggota keluarga Mustopa, warga di sekitar tempat tinggal Mustopa, serta menganalisa surat-surat yang pernah dibuat Mustopa.
“Terdapat indikasi yang bersangkutan memiliki keyakinan yang menetap dan sulit dipatahkan sebagai orang yang memiliki keistimewaan dan keahlian khusus dengan misi khusus untuk menyatukan umat,” kata Psikolog Forensik Apsifor, Nathanael E.J Sumampouw.
Nathanael menyatakan, keyakinan Mustopa sebagai wakil nabi terus dipikirkan dan dihidupi sehingga membuatnya begitu terobsesi.
Uniknya, meski meyakini dirinya sebagai wakil nabi, Mustopa tetap melaksanakan salat Jumat seperti biasa. Walau demikian, Mustopa enggan bertukar pikiran dengan masyarakat yang dianggapnya kalangan biasa.
Ia merasa memiliki pemikiran eksklusif soal agama dan hanya ingin berdiskusi dengan seseorang yang dianggapnya setara secara keilmuan seperti petinggi MUI.
“Dia hanya ingin bertukar pikiran mengenai agama dengan orang-orang yang dianggap memiliki level yang setara dengan dirinya, dalam hal ini adalah Ketua MUI, para pemuka agama, ulama, dan para pemangku kekuasaan,” ucap Psikolog Forensik Apsifor lainnya, Zora Arifin.
Namun upaya Mustopa untuk berdialog dengan MUI—termasuk dengan mengirim surat-surat—tak pernah terlaksana. Wasekjen MUI Ikhsan Abdullah mengatakan Mustopa tak pernah meninggalkan nomor telepon dan alamat dalam suratnya.
“Jadi kami susah mau mengundangnya,” ucap Ikhsan.
Di samping itu, surat Mustopa tidak jelas ditujukan kepada siapa, tujuannya apa, dan kapan ingin bertemu. Mustopa justru memberi ancaman dalam suratnya.
“Karena nadanya mengancam maka waktu itu dikomunikasikan dengan aparat setempat, RT-RW,” ucap Ikhsan.
Keinginan bertemu dan berdialog dengan ketua MUI yang tak digubris membuat Mustopa geram. Obsesinya agar diakui sebagai wakil nabi berubah menjadi frustrasi.
“Ia secara gigih terus menerus mengupayakan untuk bertemu pihak MUI dalam rangka mendapat pengakuan. Dalam upaya tersebut, dia menemukan kegagalan. Secara psikologis hal ini menimbulkan rasa frustrasi yang menyebabkan dirinya bertindak agresif dengan melakukan penembakan sebagai wujud kebutuhan eksistensi diri dalam rangka untuk diakui, didengar, dan diikuti keinginannya,” jelas Nathanael.
Ahli bidang agama Islam Kemenag, Husni, menilai dari surat-surat yang dikirim tersebut, Mustopa meyakini MUI adalah pewaris nabi. Namun Mustopa menganggap MUI tidak punya kemampuan menyatukan umat manusia di seluruh dunia. Sehingga hanya Mustopa yang merasa mendapat mandat untuk mempersatukan umat.
“Dia terkesan ingin memanfaatkan MUI sebagai lembaga yang menurut dia diakui kredibilitasnya oleh masyarakat untuk menjelaskan bahwa dia dapat mandat dari nabi sebagai wakil nabi,” kata Husni.
Tak Tergabung Kelompok Teror
Meski memiliki keyakinan sebagai wakil nabi, Mustopa tidak menyebarkan ajarannya. Ia murni hanya meminta pengakuan yang tak kunjung didapatkannya.
Tetangga di sekitar kediamannya menyatakan Mustopa memang sering mengaku sebagai wakil nabi. Namun warga tidak peduli dengan pengakuan tersebut dan menganggap Mustopa mengalami gangguan jiwa.
Di samping itu, dari pemeriksaan psikologi forensik, Mustopa juga tidak berguru pada ulama atau ustaz tertentu.
“Sehingga keyakinannya [sebagai wakil nabi] cenderung tidak mengalami proses kritik atau verifikasi,” kata Psikolog Forensik Zora Arifin.
Kemenag pun meyakini hal serupa dari pemeriksaan saksi-saksi di Lampung, serta surat-surat yang ditulis Mustopa.
“Dia tidak mursyid dan juga tidak punya murid. Jadi benar-benar dia bergerak sendiri, ingin dapat pengakuan sendiri sebagai wakil nabi. Dia sepertinya mengalami depresi berat dengan keyakinannya sebagai wakil nabi tidak ditanggapi oleh siapa pun,” kata Husni.
Di sisi lain, dengan berbagai kejanggalan dalam kasus penembakan itu, MUI telah membentuk tim investigasi yang dipimpin Prof. Noor Achmad. Tim investigasi akan menelusuri siapa Mustopa sebenarnya, termasuk apakah benar Mustopa bergerak seorang diri atau digerakkan aktor tertentu.
“Tim akan bekerja selama 3 bulan, paling cepat 1,5 bulan, hasilnya akan kami sampaikan ke publik, kepada umat Islam,” ucap Wasekjen MUI Ikhsan Abdullah.