Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Palang Merah yang Terbelah: Jusuf Kalla vs Agung Laksono
16 Desember 2024 20:12 WIB
·
waktu baca 13 menitBertamu ke kediaman Jusuf Kalla di kawasan Brawijaya, Jakarta Selatan, awal November 2024, Agung Laksono mengutarakan niatnya maju sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).
Kepada sang tuan rumah, Agung menyampaikan ingin berkiprah di bidang kemanusiaan setelah sekian lama berkecimpung di politik. Kebetulan, Agung juga berlatar belakang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Silaturahmi Agung ke rumah JK bukan tanpa sebab. JK merupakan Ketum PMI 15 tahun terakhir. Eks Wapres itu pertama kali terpilih di Musyawarah Nasional PMI pada 2009.
“Saya kulonuwun. Saya ceritakan bahwa saya akan maju [jadi calon Ketum PMI] karena didorong oleh teman-teman,” kata Agung pada kumparan di kediamannya di Jakarta Timur, Kamis (12/12).
Menurut Agung, niatnya maju sebagai Ketum PMI disambut baik JK. Tak ada penolakan atau larangan, meski dalam pertemuan itu JK juga menyatakan bakal maju untuk keempat kalinya di Munas ke-22 PMI yang digelar 8–10 Desember di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
“Pertemuan itu memperkuat keinginan saya, kesiapan saya, untuk maju menjadi kandidat,” kata Agung.
Nyatanya pada hari H, 8 Desember, Agung merasa dijegal walau baru sebatas calon. Agung dinyatakan tak memenuhi syarat minimal dukungan 20% dari 490 pemilik suara sesuai AD/ART PMI. Padahal saat batas akhir pencalonan pada 30 November, Agung mengeklaim telah mengirim surat dukungan dari 138 peserta.
Walau demikian, Tim Verifikasi Munas PMI menilai surat dukungan kepada Agung hanya berjumlah 51 atau 10%. Kemudian setelah diverifikasi ulang, jumlah dukungan yang memenuhi syarat hanya 32 suara atau 6,5%.
JK pun melenggang sebagai calon tunggal dan terpilih lagi secara aklamasi sebagai Ketua Umum PMI—empat kali berturut-turut sepanjang dua dekade.
“Pak JK yang mendukung 320. Setelah diverifikasi, yang sah 287 suara. Pak JK lolos [syarat minimal] karena lebih dari 20%. Sementara Agung tidak lolos karena hanya 6%. Karena hanya satu calon, yakni Pak Jusuf Kalla, maka berdasarkan ketentuan yang ada, ia disahkan [sebagai Ketum],” ujar Ketua Bidang Hubungan Internasional PMI 2019–2024, Hamid Awaluddin, pada kumparan di Jakarta.
Agung menuding panitia Munas tidak transparan mengenai keanggotaan tim verifikasi, termasuk bagaimana cara kerja dan pertanggungjawabannya. Ia menilai Munas PMI sengaja mengatur agar JK menjadi calon tunggal.
“Semua serba gelap gulita. Hanya diumumkan bahwa dukungan saya hanya 6% sehingga tidak memenuhi syarat. Saya digugurkan sebelum pertandingan. Munas didesain untuk mengarah pada calon tunggal,” kata Agung.
Tuduhan itu dibantah Hamid yang berkata, “Bedakan antara asumsi dengan kenyataan.”
Bagaimanapun, beberapa pengurus PMI pendukung Agung yang menganggap Munas tak berjalan adil, memprotes keras. Mereka pindah ke Hotel Sultan dan menggelar Munas tandingan pada Minggu malam (8/12) jelang dini hari.
Pada forum tandingan itu, Agung ditetapkan sebagai Ketum PMI. Ia mendapuk Ulla Nuchrawaty Usman sebagai Sekjen dan Muhammad Muas selaku Waketum.
“Dukungan sampai 1–2 hari sesudah Munas masih jalan; hampir mendekati 300 kabupaten/kota,” ucap Agung.
Siapa di Balik Manuver Agung Laksono?
Sebelumnya, 1 November, Komite Donor Darah Indonesia (KDDI) berkirim surat ke seluruh pengurus PMI di daerah guna meminta dukungan untuk pencalonan Agung Laksono sebagai Ketua Umum PMI.
KDDI merupakan organisasi pendonor darah yang didirikan pada 7 Oktober 2024. Di situ, Agung Laksono menjadi Ketua Dewan Pengawas.
Demi merebut hati pengurus PMI daerah, KDDI dalam suratnya mencantumkan jabatan-jabatan Agung yang merepresentasikan kedekatan dengan pemerintah, seperti Menko Kesra periode 2009–2014, Dewan Pertimbangan Presiden era Jokowi, serta Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran.
Anggota Dewan Pengawas KDDI sekaligus Waketum PMI kubu Agung, Muhammad Muas, menyatakan faktor kedekatan dengan pemerintah sangat krusial bagi kepemimpinan PMI.
“Kedekatan dengan pemerintah wajib hukumnya karena tiap Konvensi Jenewa tiga tahun sekali menghadirkan perwakilan pemerintah dan perwakilan palang merah di setiap negara. Nanti dipertanyakan di sana bagaimana kerja samanya selama ini,” ucap Muas.
Di sisi lain, Sekjen PMI 2019–2024 Sudirman Said menyatakan, pandangan bahwa JK tidak baik hubungannya dengan pemerintah sangat spekulatif. Toh selama ini JK tidak punya masalah bertemu dengan siapa pun.
“Pak JK tidak pernah punya masalah bertemu dengan Pak Prabowo, para menteri, atau otoritas yang berkaitan dengan palang merah. Siapa pun yang memimpin Palang Merah tidak mungkin tidak dekat dengan pemerintah. Secara struktur, Presiden otomatis pelindung palang merah pusat; gubernur otomatis pelindung palang merah provinsi, dan seterusnya,” jelas Sudirman.
Tak cuma menjual kedekatan dengan pemerintah, kubu Agung juga disebut membawa-bawa nama Ketua Harian DPP Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, saat melobi para pengurus daerah. Hamid Awaluddin mengetahui hal itu dari laporan pengurus daerah. Muncul pula kabar manuver Agung diduga dibekingi Jokowi.
“Cerita itu (dibekingi Jokowi) beredar, tapi saya tidak memiliki kemampuan membuktikannya. Kita tidak tahu kebenarannya,” ucap Hamid.
Ketua PMI Gorontalo Ishak Liputo termasuk salah satu pengurus daerah yang dihubungi langsung oleh Agung dan diminta mengkoordinir dukungan dari tiap kabupaten/kota di bawahnya. Namun Ishak menolak.
“Saya bilang tidak bisa. Mereka (kabupaten/kota) otonom melakukan pleno, baru memilih mana yang terbaik untuk mereka. Tidak boleh saya paksakan ‘Hei, kau tulis AL,’” ucap Ishak.
Di sisi lain, Agung membantah majunya ia di PMI disokong Prabowo atau Jokowi.
“Tapi kalau saya berhubungan baik dengan pemerintah karena sebelumnya saya duduk di pemerintahan, wajar-wajar saja,” kata Agung.
KDDI tak cuma sekali menyurati pengurus daerah. Tercatat pada 26 November, KDDI kembali mengirim surat undangan kepada pengurus untuk datang berkumpul di Hotel Sultan, Jakarta, pada 29–30 November. Tujuannya masih sama: untuk mendukung Agung Laksono sebagai Ketum PMI.
Para pengurus juga diminta membawa stempel PMI masing-masing daerah. Bahkan ditegaskan di surat itu bahwa “KDDI akan menanggung biaya pergi-pulang ke Jakarta serta uang saku.”
Agung pun kemudian menyurati langsung para Ketua PMI Provinsi dan Kabupaten/Kota pada 2 Desember. Isinya meminta mereka berkumpul di Hotel Menara Peninsula, Jakbar, sehari sebelum Munas pada 7 Desember untuk konsolidasi dukungan.
Pengurus PMI daerah yang mendukung JK seperti PMI Gorontalo dan Sultra menganggap tindakan Agung dkk yang menyurati pengurus daerah telah melanggar AD/ART. Mereka menegaskan tak memenuhi undangan KDDI.
“Kalau mengirim surat meminta dukungan, ambisi itu namanya,” ucap Ishak.
Namun bagi pengurus PMI pendukung Agung, seperti PMI Sulawesi Utara dan Jakarta Utara, tindakan KDDI meminta dukungan sah-sah saja. Sekretaris PMI Sulut Mercy Rampengan menyebutnya sebagai langkah “gentle.”
Hamid berpendapat, Agung membentuk KDDI hanya untuk kendaraan menuju kursi Ketum PMI. Adapun Sudirman Said menganggap tindakan KDDI yang menyurati para pengurus PMI sebagai pelecehan dan penghinaan organisasi. Menurut Sudirman, tindakan Agung dkk membuat JK berang.
“Kami tidak pernah melihat Pak JK sedemikian marah, baik di pleno maupun Munas. Beliau (JK) mengatakan, ‘Belasan tahun saya memimpin Palang Merah, baru pertama kali Palang Merah mengalami penghinaan, pelecehan dari pihak luar’. Karena yang bersangkutan (kubu Agung Laksono) menggunakan bendera organisasi lain untuk mengundang pengurus Palang Merah,” jelas Sudirman.
Agung pun tak menampik menjadikan KDDI sebagai kendaraannya menjadi Ketum PMI. Menurutnya, “Kalaupun (KDDI) jadi jembatan sah-sah saja. KDDI adalah inti dari massanya PMI yakni pendonor. Tanpa ada pendonor, ya bangunan PMI enggak ada,” jelas Agung.
Menggoyang Hegemoni JK
Kemunculan Agung tentu mengusik hegemoni JK yang sudah memimpin PMI sejak 2009. Apalagi menurut Hamid, berbagai manuver kubu Agung dimotori oleh Muhammad Muas.
Muas merupakan Ketua Bidang Organisasi PMI 2019-2024. Namun menurut Sudirman, Muas telah dicopot dari jabatan Ketua Bidang Organisasi pada 2022 karena tindakan yang bermasalah. Seperti kerap meminta sangu maupun oleh-oleh kepada pengurus daerah. Hingga akhirnya beberapa hari sebelum Munas, Muas diberhentikan sebagai anggota PMI atas tindakan mendiskreditkan PMI.
“Setiap Munas yang bersangkutan berusaha membuka atau menarik-menarik orang luar. Begitu kira-kira tidak cukup kuat, kembali lagi [ke PMI], jadi sangat politicking,” kata Sudirman.
Muas menyatakan dukungannya terhadap Agung salah satunya tak lepas dari sikap JK yang berpihak di Pilpres 2024. Dalam Pilpres kala itu, JK terang-terangan mendukung Anies-Muhaimin. Muas menyebut keberpihakan itu banyak dipersoalkan pengurus PMI di daerah.
Padahal netralitas merupakan salah satu dari tujuh prinsip di Palang Merah. Enam prinsip lainnya adalah kemanusiaan, kesukarelaan, kesamaan, kemandirian, kesatuan, dan kesemestaan.
“Betul itu [hak politik] adalah hak warga negara, tetapi di dalam praktik Ketua Umum Palang Merah di semua negara tidak diperbolehkan berpihak. Dan dia [JK] kebetulan tidak cuti,” kata Muas.
Di samping itu, Muas menganggap selama JK memimpin, pendonor darah tidak mendapat banyak manfaat. Sehingga ia khawatir jumlah pendonor akan semakin turun.
“Hanya pada saat datang pendonor dikasih mie instan, dikasih minum teh. Tapi apakah dia [pendonor] misalnya diberikan pengobatan cuma-cuma di klinik PMI? tidak ada, bullshit semuanya,” ucapnya.
Menanggapi keluhan Muas, Sudirman menyatakan ketentuan cuti hanya berlaku bagi pengurus PMI yang menjadi calon atau masuk di struktur tim sukses.
“Dukungan pada calon tertentu itu sebagai pribadi, bukan sebagai Palang Merah. Jadi tidak ada hal yang dilanggar [JK]” kata Sudirman.
Kritik lain yang muncul dari para pengurus ialah masa jabatan JK yang sudah terlalu lama. Sekretaris PMI Sulut, Mercy Rampengan, menyebut JK sudah keluar dari semangat aslinya ketika maju pertama kali pada Munas 2009.
Saat itu JK didukung karena kesamaan pandangan bahwa pimpinan PMI maksimal menjabat 2 periode atau 10 tahun. Sekaligus menghentikan keinginan Mar’ie Muhammad yang ingin mengubah AD/ART supaya bisa maju di periode ketiga. Terlebih, kata Mercy, posisi JK saat itu sama seperti Agung Laksono yakni ‘orang luar PMI’
Namun nyatanya, AD/ART PMI soal masa jabatan ketum justru diubah jelang akhir periode kedua JK pada 2018: dari maksimal 2 periode (Pasal 28) menjadi tak terbatas (Pasal 30). Bahkan perubahan AD/ART tersebut, kata Mercy, dilakukan di forum rapat pleno yang diperluas, bukan Munas. Mercy pun menilai kini PMI seakan menjadi organisasi yang eksklusif.
“Mengapa PMI menjadi eksklusif? Pak JK waktu menjadi Ketua Umum dipilih bukan orang PMI, orang luar. PMI ini hidup dari orang-orang yang mendonorkan darah, dari pihak mana saja. Kita terima donasi juga dari banyak pihak. Tapi kemudian untuk urusan ketua umum hanya eksklusif orang dalam, tidak bisa dari luar. Ini terus terang kami daerah kecewa,” kata Mercy.
Sehingga pada Munas lalu, para pengurus daerah, khususnya yang kontra JK, berupaya mengusulkan perubahan AD/ART PMI soal masa jabatan. Tetapi usulan itu ditolak.
Sudirman menyatakan, keluhan masa jabatan yang cukup lama sudah disadari JK. Menurutnya, JK sedianya bersiap untuk mendorong sosok yang bisa meneruskan kepemimpinannya. Namun ketika melihat ada gelagat PMI hendak diobok-obok, apalagi dimotori eks pengurus, JK terpanggil lagi menjadi ketum.
“Beliau [JK] muncul mekanisme pertahanannya,” kata Sudirman.
Selain itu, bagi Sudirman, sulit mencari sosok pemimpin seperti JK yang punya modal sosial besar baik dari segi sumber daya maupun jaringan. Walau begitu, Sudirman menyebut di periode keempatnya di PMI, JK pasti menyiapkan regenerasi di struktur pengurus.
“Akan banyak wajah-wajah baru, orang-orang muda,” ucapnya.
Ketua PMI Sulawesi Tenggara, Abdurrahman Saleh, berpendapat kinerja JK selama memimpin PMI sangat baik, khususnya soal infrastruktur kesehatan dan kecepatan tanggap darurat, seperti bencana likuifaksi di Palu pada 2018.
Sedangkan Hamid menyebut kualitas kinerja JK bisa diukur saat pandemi COVID-19. PMI yang memulai kampanye pakai masker sejak Januari 2020 hingga menggerakkan kendaraan operasional sebagai mobil penyemprot disinfektan.
“Mobil penyemprot pertama di Indonesia yang bergerak siapa? PMI. Kita bekerja sama dengan TNI-Polri. Bahkan Pak JK biayai semua itu mesin penyemprotnya. Di mana gerangan Agung Laksono selama COVID-19? tiga tahun lho,” ucap Hamid.
Mengenai perubahan AD/ART yang ditolak saat Munas, Hamid menyatakan sesuai aturan Pasal 107, usulan perubahan harus masuk 3 bulan sebelum Munas. Panitia Munas telah menyurati pengurus daerah apakah ada usulan perubahan AD/ART pada 28 Agustus. Namun hanya ada usulan dari 1 provinsi: Sulawesi Utara. Jumlah itu tak sesuai syarat usulan perubahan yang minimal harus datang dari 2 provinsi atau 3 kabupaten/kota.
Adapun mengenai perubahan AD/ART soal masa jabatan ketum pada 2018, kata Hamid, revisi tersebut menyesuaikan UU 1/2018 tentang Kepalangmerahan. Walaupun setelah kumparan telaah lebih lanjut, UU 1/2018 tidak membahas spesifik mengenai masa jabatan ketum.
Pasal 28 UU Kepalangmerahan hanya menyatakan bahwa struktur organisasi, kepengurusan, unit pelaksana teknis, wewenang, tanggung jawab PMI, serta tata cara penggunaan lambang PMI ditetapkan dalam AD/ART yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Ini jadi momen PMI untuk introspeksi, bagaimana mereka meningkatkan transparansi, kaderisasi, regenerasi. Karena tidak ada asap kalau tidak ada api. Mungkin orang selama ini melihatnya ketuanya itu-itu saja. Tapi mungkin karena Pak Jusuf Kalla gak pernah atau jarang menyampaikan ada proses kaderisasi, regenerasi yang sudah dilakukan,” kata pengamat kesehatan dari Griffith University Australia, Dicky Budiman.
kumparan telah berupaya meminta kesediaan waktu JK untuk diwawancara, namun melalui stafnya, JK tidak berkenan karena masih menunggu pengesahan kepengurusan di Kementerian Hukum.
Adakah Kepentingan Bisnis Plasma Darah?
Gejolak di PMI juga berkelindan dengan motif ekonomi, salah satunya bisnis plasma darah yang pabriknya tengah dibangun di Cikarang, Bekasi, Jabar. Pabrik fraksionasi plasma pertama di Indonesia dan terbesar se-Asia Tenggara -yang salah satu investornya berasal dari Korea Selatan yakni SK Group- itu direncanakan bakal beroperasi pada akhir 2026.
Sudirman Said menyatakan pembangunan pabrik tersebut telah diinisiasi JK lebih dari 10 tahun lalu. Inisiasi tersebut muncul lantaran selama ini plasma darah (fraksionasi plasma) yang disalurkan PMI terbuang percuma.
Dengan adanya pabrik tersebut, plasma darah yang sebelumnya tidak termanfaatkan, bisa digunakan sebagai bahan baku obat seperti Albumin. Sebab kebutuhan plasma darah untuk industri farmasi mencapai belasan juta liter per tahunnya dan selama ini seluruh bahan bakunya masih bergantung impor yang nilainya mencapai Rp 1,15 triliun per tahun.
“Ini hal yang mubazir terjadi selama puluhan tahun. PMI mengumpulkan darah hampir 5 juta liter setahun, yang mengandung plasma kurang lebih 20%, tapi terpaksa dibuang begitu saja karena tidak ada pengolahannya. Kita sudah berusaha 15 tahun untuk membikin pengolahan itu, tapi setelah berusaha sekian lama baru bisa dilakukan sekarang,” kata JK saat groundbreaking pabrik di Cikarang pada 5 Desember 2023.
Ketika nanti pabrik beroperasi, PMI bakal menyuplai bahan baku plasma darah. Sudirman menyebut, bagi unit donor darah (UDD) yang mengirimkan plasma kepada pabrik akan diberikan kompensasi untuk membiayai kegiatan di masing-masing palang merah. Sedangkan bagi UDD yang tidak cukup kuat suplainya, tetap mendapat subsidi dari PMI Pusat dalam bentuk bantuan alat hingga pelatihan tenaga teknis.
“Orang luar saya mendengar melihat ini sebagai kesempatan untuk berbisnis, mengira dengan mengontrol palang merah mereka bisa menggunakan kesempatan ini untuk berbisnis secara pribadi. Kalau itu dilakukan, artinya korupsi. Jadi apakah move ini ada kaitannya dengan itu? Wallahualam, saya tidak tahu,” kata Sudirman.
Hamid pun mendengar kabar serupa. “Saya dengar itu [terkait bisnis plasma] berembus kencang, karena memang menggiurkan dari segi bisnis,” ucapnya.
Namun tudingan kepentingan bisnis plasma di balik kisruh PMI ditampik Agung Laksono. Ia menegaskan murni ingin memimpin PMI atas dasar kemanusiaan.
“[Saya] di-framing seolah ingin mengambil sesuatu bisnis di dalamnya, tidak ada itu, saya tolak mentah-mentah. Saya sudah ada bisnis lain di luar PMI,” tegas Agung.
Justru menurut Muas, kesepakatan fee atau kompensasi antara swasta selaku pemilik pabrik dan PMI bersifat tertutup dan hanya diketahui pihak JK.
“Fee-nya tertutup dan sampai sekarang kita nggak tahu berapanya. Itu antara swasta dengan pihak PMI unit bidang donor darah, tapi Ketua Umumnya tetap Pak JK,” kata Muas.
Sudirman mengakui PMI mendapat keuntungan ekonomi dari pengolahan plasma tersebut. “Tapi ini semua tidak ada urusan sama pribadi Pak JK maupun pengurus siapa pun, itu betul-betul untuk organisasi,” ujar Sudirman.
Toh sejauh ini, masing-masing kubu telah mengajukan struktur kepengurusan ke Kementerian Hukum untuk disahkan. Munculnya dualisme membuat Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bakal menggelar mediasi.
Agung terbuka dengan rencana mediasi tersebut. Ia juga siap merangkul para pengurus PMI yang dipecat kubu JK dan menyiapkan pembelaan hukum.
“Kami tidak menolak mediasi yang akan dilakukan sepanjang konsepnya bisa kita terima,” ucap Agung.
Sedangkan Sudirman menegaskan mediasi bukanlah langkah tepat karena tindakan Agung dkk ilegal.
“Kami sudah lapor [kepengurusan] ke pemerintah, jadi kita tunggu sikap pemerintah untuk merespons. Harusnya dengan segala macam proses yang dijelaskan, dukungan bukti-bukti dokumen dsb, kita tidak punya masalah dan saya kira pemerintah juga tugasnya banyak sekali, masa ngurus pencuri yang mau lompat pagar, itu urusan kecil,” kata Sudirman.
Adapun Dicky Budiman menilai konflik PMI yang berkepanjangan bisa mengganggu layanan pada publik seperti misi rawan bencana maupun pengumpulan hingga distribusi darah.
Ia meminta pemerintah segera mengambil keputusan dengan mengesahkan kepengurusan PMI yang sesuai AD/ART.
“Jangan sampai [PMI] jadi seperti partai politik,” tutup Dicky.