Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pangkal Krisis Sri Lanka: Enggan Investasi Pertahanan Berujung Bom Paskah
4 April 2022 16:26 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Untuk menyelamatkan keadaan, Pemerintah telah mengumumkan darurat nasional pekan lalu. Selang beberapa hari menteri-menteri mundur. Negeri tetangga India masuk dalam krisis moneter terburuk dalam sejarahnya.
Asal-muasal penyebab krisis ekonomi ini dapat dikaitkan dengan perang antara Rusia dan Ukraina. Sebab, konflik ini telah membuat harga bahan bakar dan komoditas pokok lainnya meroket tinggi. Meski begitu, menggunakan konflik di Ukraina sebagai satu-satunya penjelasan krisis di Sri Lanka adalah sebuah penyederhanaan yang tidak menjelaskan kondisi-kondisi yang telah ada sebelumnya.
Penyebab langsung paling awal dari krisis ini dapat ditelusuri hingga 2019, sebelum pandemi, ketika negara itu menghadapi serangan bom tanpa ampun dari kelompok-kelompok teroris.
Rangkaian bom hari Paskah tersebut menyebabkan awal kemunduran ekonomi yang akhirnya tak sempat diperbaiki sebelum wabah Covid-19 membawa petaka tambahan.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah penjelasan lebih rinci terkait peristiwa tragis ini dan dampaknya terhadap ekonomi Sri Lanka
Ekonomi Sri Lanka sebelum Bom Hari Paskah
Sebelum kejadian yang merenggut sedikitnya 250 jiwa itu, Sri Lanka merupakan negara dengan ekonomi menengah ke bawah yang sedang mencoba untuk menjadi menengah ke atas. Menurut situs resmi kedutaan Sri Lanka, industri-industri utamanya adalah pariwisata, ekspor teh, tekstil, beras, dan produk pertanian lainnya. Di antara industri ini, pariwisata adalah yang paling penting.
Ekonomi di Sri Lanka memang belum sekokoh yang diharapkan. Pasalnya, perang persaudaraan antara masyarakat Tamil dan Sinhala yang berlangsung dari 1983 sampai 2009 telah merugikan negara selama bertahun-tahun.
Sebagai negara yang sedang berkembang, seharusnya Sri Lanka mengalokasikan uangnya untuk pendidikan, kesehatan, dan kebersihan. Namun, karena perang persaudaraan ini, mereka terpaksa mengeluarkan banyak uang untuk pertahanan, yang sebenarnya tidak berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
ADVERTISEMENT
Oleh karena ini, sejak berhentinya perang di tahun 2009, Sri Lanka mulai berinvestasi lebih banyak di sektor lain, dan lebih sedikit di pertahanan.
Bom Hari Paskah
Karena tidak menginvestasi di bidang pertahanan petakan datang pada 2019. Beberapa kelompok teroris berkoordinasi untuk melakukan serangkaian bom bunuh diri yang menghancurkan tiga gereja dan tiga hotel mewah di Kolombo, 21 April 2019.
Pada hari yang sama, ledakan-ledakan kecil juga terjadi pada kompleks perumahan di Dermatoga dan wisma di Dehiwala. Serangan ini menelan setidaknya 250 jiwa, meskipun beberapa media mengutip lebih dari 350 orang yang meninggal dunia. Satu negeri berkabung bagi korban-korban gugur yang dimakamkan massal.
Telah diketahui, pelaku-pelaku bom bunuh diri ini adalah anggota dari Jamaah Tauhid Nasional, Jammiyathul Millathu Ibrahim, serta Negara Islam Irak dan Levant atau yang lebih populer disebut ISIS. Motif mereka adalah balas dendam untuk insiden penembakan massal di sebuah masjid di Selandia Baru.
Pengeluaran Pertahanan
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah Sri Lanka untuk mengurangi pengeluaran untuk pertahanan terpaksa terhenti akibat tragedi bom paskah.
Akibat serangan itu, pemerintah Sri Lanka tak punya pilihan selain mengeluarkan uang banyak untuk pertahanan. Padahal, mereka seharusnya berencana untuk mengembangkan ekonomi mereka dalam sektor pariwisata, ekspor, pendidikan, dan hal-hal pokok lainnya. Dari sudut pandang ekonomi, mengeluarkan uang untuk pertahanan bukan merupakan sesuatu yang menguntungkan.
Dari pengeluaran pertahanan sebesar USD 1543 juta di tahun 2018, Sri Lanka mengeluarkan USD 1700 di tahun bom hari Paskah. Tambahan senilai USD 157 juta ini dikutip dari Trading Economics.
Bukan hanya perkembangan sektor-sektor lainnya yang terpaksa dihentikan karena hilangnya budget, pemerintah pun terancam harus meminjam uang dari negara asing.
ADVERTISEMENT
Pariwisata
Efek negatif yang paling nyata dapat terlihat ialah industri pariwisata. Rumitnya, pariwisata merupakan kontributor terbesar untuk ekonomi Sri Lanka. Sejak selesainya perang persaudaraan, industri ini telah bertumbuh dengan pesat. Sesuai data yang dikutip Management Study Guide, 500.000 turis datang ke Sri Lanka pada 2009, tepat saat konflik Tamil-Sinhala berakhir. Di tahun 2018, angka ini melesat ke 2 juta turis.
Negeri kepulauan tropis ini memiliki reputasi sebagai destinasi pariwisata yang aman, tenang, dan indah. Majalah pariwisata global Lonely Planet pun menetapkan Sri Lanka sebagai destinasi turis nomor satu pada tahun 2019 (ironisnya, tahun di mana bom hari Paskah terjadi).
Akibat bom hari Paskah, industri yang menguntungkan ini jatuh dan hancur dalam semalam. Menurut Gubernur Bank Sentral Indrajit Coomaraswamy, dikutip oleh The Diplomat, ekonomi Sri Lanka hanya akan bertumbuh sebesar 3 persen di tahun tersebut. Data tersebut masih jauh dibawah rata-rata 6 persen per tahun sebelum serangan bom, dan juga merupakan pertumbuhan paling rendah dalam 20 tahun.
ADVERTISEMENT
"Sri Lanka sedang mengalami krisis ekonomi yang parah saat ini, dan ini terwujud dari tingkat individu ke nasional," ujar Gubernur Bank Sentral W.A. Wijewardena (31/7/2019). "Ledakan ini menyebabkan kemunduran kepada ekonomi yang sudah sakit."
ADVERTISEMENT
Utang Negara
Sri Lanka telah terbelit utang sejak lama. Mayoritas dari utang tersebut dipinjam dari negara lain, seperti China, India, dan Amerika Serikat. Akibat pendapatan dari industri pariwisata yang jatuh, Sri Lanka tidak dapat untuk membayar utang-utang yang banyak tersebut. Sebelum bom hari Paskah, utang asing Sri Lanka sudah mencapai 80 persen dari PDB. Setelah tragedi teroris tersebut, persentase utang naik ke 94 persen di 2019.
Tahun 2021, utang negara secara resmi melebihi pendapatan nasional, yakni 119 persen. Mereka diharapkan untuk membayar sedikitnya USD 7 miliar sebelum penghujung tahun ini.
ADVERTISEMENT
Hilang Investor
Sebagai negara yang berkembang, Sri Lanka sangat bergantung kepada investasi asing. Namun, ancaman terorisme yang menghantui negara kepulauan itu membuat investor harus berpikir berulang kali sebelum menyuntik dana. Sialnya lagi, di saat itu, nilai dolar Amerika sedang maju dengan pesat.
Kebanyakan investor yang takut untuk memasukkan uang mereka di negara yang sedang bergejolak seperti Sri Lanka akhirnya memilih untuk memulangkan uang mereka ke Amerika Serikat.