Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Peretasan mengancam aktivis, bukan hanya Ravio Patra. Entah siapa pelakunya, aksi itu berupaya menyeret mereka ke sel penjara.
Pesan singkat masuk ke telepon seluler Azhar Jusardi Putra menjelang tengah malam, Rabu (22/4). Isi pesan itu memintanya untuk menuliskan kode verifikasi One Time Password (OTP) aktivasi WhatsApp . Azhar mengisinya tetapi selalu gagal, bahkan pengisian melalui fitur two step authentication tetap nihil.
Azhar tahu akun aplikasi perbincangan miliknya tengah diretas. Ia lantas menelepon pihak WhatsApp untuk meminta kode OTP. Akun perbincangan itu kembali ia kuasai tapi tak lama. Ia kemudian kembali tak dapat mengakses akun itu.
"Sekitar 2-3 kali masuk, habis itu nggak bisa masuk lagi. Habis itu akun saya langsung berubah menjadi akun bisnis," cerita Azhar kepada kumparan, Selasa (28/4).
Kejadian itu bukan pertama kali ia alami. Tiga bulan terakhir, gejala peretasan menghampiri telepon selulernya. Untungnya ia cepat merespons, mengabarkan gejala peretasan kepada rekan-rekannya melalui telepon maupun media sosial.
Azhar adalah seorang aktivis yang yang tergabung dalam gerakan Gejayan Memanggil dan Aliansi Rakyat Bergerak (ARB)—sebuah gerakan masyarakat sipil yang sedang mengkritisi upaya pemerintah mengesahkan RUU Cipta Kerja, Omnibus Law. Gerakan itu juga mengkritik pemerintah yang dianggap lamban menangani pandemi corona COVID-19.
Ia curiga upaya peretasan itu bermaksud mengganggu gerakan yang kini ia geluti. Peretasan pernah ia alami usai pulang dari Jakarta ke Yogyakarta.
"Ini sudah terjadi sejak demonstrasi Omnibus Law, dan saat itu sedang pembahasan bagaimana evaluasi aksi, bagaimana kelanjutan demonstrasi ke depan soal Omnibus," ujarnya.
Upaya peretasan juga dialami rekan satu gerakannya, Syahdan Husein. Caranya sama persis. Ia tiba-tiba harus melakukan aktivasi di akun WhatsApp miliknya. Parahnya, selama dikuasai peretas, WhatsApp Syahdan menyebarkan pesan tak senonoh ke beberapa kontak di telepon genggamnya.
Akibat kejadian itu, seharian Syahdan terus mendapatkan telepon dari rekan yang mendapatkan pesan tersebut. Ia bahkan harus membuat rilis kronologi dugaan peretasan agar teman-temannya mengerti bahwa pesan itu di luar kendalinya.
"Saya trauma diretas dan nomor saya digunakan untuk ini-itu (hal tidak benar). Jejak digital kelak berbahaya untuk ke depan," ujar Syahdan melalui pesan singkat, Rabu (29/4).
Model peretasan semacam itulah yang membuat pegiat informasi publik, Ravio Patra , berurusan dengan polisi. Akun WhatsApp dalam telepon genggam miliknya tak bisa diakses pada Selasa (22/4). Lalu di tengah masalah itu, akun itu mengirimkan berita ajakan menjarah massal pada Kamis (30/4).
Selanjutnya pada rentang pukul 13.19 hingga 14.05 WIB, ia mendapat panggilan dari dua nomor berkode Indonesia dan dua nomor telepon berkode luar negeri, yakni Malaysia dan Amerika Serikat. Identifikasi lanjut menunjukkan bahwa nomor telepon asal Indonesia itu milik AKBP HS dan Kolonel ATD.
Ravio sempat berkomunikasi dengan Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, mengenai masalah ini. Namun ia diringkus polisi ketika hendak pergi ke safe house bersama kerabatnya yang bekerja di Kedutaan Besar Belanda.
Ravio kemudian sempat disangkakan Pasal 14 dan atau 15 UU No. 1 Tahun 1946, Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan, serta Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 45 UU ITE.
"Yang bersangkutan memang diduga menyiarkan berita onar atau menghasut membuat kekerasan atau menyebar kebencian," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus dalam jumpa pers yang disiarkan melalui akun Instagram, Kamis (23/4).
Selama ini Ravio tercatat sebagai salah satu aktivis yang lantang mengkritik langkah pemerintah dan DPR melanjutkan pembahasan Omnibus Law. Ia juga mengkritik penanganan corona oleh pemerintah dan Stafsus Milenial Presiden yang diduga terlibat konflik kepentingan dengan pekerjaannya di luar Istana.
Pihak WhatsApp sendiri tak mau berkomentar terkait pengguna tertentu. Perusahaan itu hanya menjelaskan, melalui surat pernyataan, agar pengguna aplikasinya memanfaatkan fitur keamanan.
Pada akhirnya, Jumat (24/4), Ravio dibebaskan polisi. Ia masih berstatus sebagai saksi ketika keluar dari Polda Metro Jaya.
Namun urusan itu tak berhenti. Upaya untuk mendapatkan titik terang soal siapa aktor di balik peretasan akun WhatsApp-nya berujung pada laporan tim kuasa hukum Ravio ke Polda Metro Jaya.
Salah satu kuasa hukum Ravio yang tergabung dalam Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus, Era Purnama Sari, menyebut Ravio melaporkan dua kasus sekaligus. Pertama, soal peretasan yang ia alami; kedua, soal penyebaran berita provokatif.
Ia pun berharap kepolisian cepat dan tanggap dalam menyelesaikan kasus ini.
"Concern kami, si peretas ini harus diusut—siapa yang melakukan, karena ini kasus pertama yang menggunakan pola seperti ini. Biasanya kan peretasan karena faktor ekonomi, nah ini kasus peretasan berujung pada kriminalisasi," jelas Era kepada kumparan.
Prosedur penangkapan Ravio juga dipersoalkan. Era menganggap polisi asal main tangkap tanpa melayangkan pemanggilan pemeriksaan terlebih dahulu. Selain itu, penyitaan laptop juga menjadi catatan kejanggalan karena tidak ada hubungannya dengan kasus penyebaran informasi provokatif.
"Jangan-jangan ada maksud lain di balik kasus ini karena di dalam laptop kan banyak data pribadi dan dokumen pekerjaan, yang itu bahkan secara ilegal selama proses pemeriksaan sudah diakses oleh kepolisian, dan itu sebenarnya tidak boleh," lanjut Era.
Kejanggalan lainnya adalah tim kuasa hukum sempat dipersulit mendapatkan akses dan mengetahui keberadaan Ravio. Menurut Era, baru pada jam lima sore pada hari Kamis tim kuasa hukum diberi tahu polisi di mana keberadaan Ravio.
Ahli digital forensik Ruby Zukri Alamsyah menilai kasus peretasan yang dialami Ravio dan aktivis itu langka. Kebanyakan tindak peretasan berujung pada motif ekonomi seperti pemerasan atau meminta transfer sejumlah uang tunai.
Penuntasan peretasan ini dapat diselesaikan dengan cepat dengan metode scientific investigation digital forensik. Penyidik kepolisian harus melakukan analisis ketiga barang bukti digital, yaitu ponsel Ravio, komunikasi dengan pihak WhatsApp, dan membuka data di operator provider.
"Dengan tiga data itu, semua pihak yang melakukan dengan ilmiah pasti akan mendapatkan kronologis dan kepastian bagaimana kasus ini terjadi, dan oleh/dengan siapa dilakukannya," terang Ruby kepada kumparan melalui sambungan telepon.
Analisis digital forensik tersebut, menurut Ruby, bisa diselesaikan dalam waktu paling lama dua minggu. "Sangat bisa dan sudah sering (metode ini digunakan). Jadi untuk memastikan siapa hacker-nya dan motifnya apa, harus dilakukan investigasi dengan metode ilmiah," ucap dia.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menduga kasus peretasan yang dialami Ravio dan aktivis lainnya merupakan bagian dari upaya pembungkaman kritik. Ia dan rekan-rekannya merasa upaya semacam itu sudah dilakukan sejak Februari 2020.
Ada empat pola yang dilakukan, yakni intimidasi, peretasan, kriminalisasi, dan pengawasan. Menurutnya, penangkapan aktivis dan kriminalisasi terhadap mereka selalu terjadi ketika ada momentum kritik yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah.
"Ada sebuah pola, kalau sekarang kan soal Omnibus Law dan penanganan COVID-19. Kalau sebelumnya saat RUU KUHP dan revisi UU KPK,” ucap dia.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah menduga peretasan sudah direncanakan. Pasalnya, dari waktu dan target korban peretasan seakan sudah ditentukan dan di waktu hampir bersamaan.
"Objek peretasan ini kelihatan banget yang selama ini vokal di media sosial. Saya menduga ini sebagai operasi by design,” kata dia.
Kecurigaan ini muncul karena kasus peretasan tersebut hampir bebarengan dengan terbitnya Surat Telegram Kapolri No. ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 yang berisi instruksi penindakan bagi penyebar informasi bohong terkait kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi corona di Indonesia.
Padahal, ujar Merah, di tengah pandemi COVID-19 ini, seharusnya negara termasuk aparat kepolisian, fokus pada upaya kedaruratan kesehatan masyarakat, serta bahu-membahu menolong masyarakat yang kelaparan dan putus asa karena tidak memiliki pekerjaan.
"Jadi bukannya melakukan teror dengan menakuti-nakuti masyarakat," kata dia.
Merah sendiri pernah merasakan gejala peretasan akun Facebook-nya. Namun hal itu bisa diatasi dengan mengganti password akun medsos tersebut melalui email. Setelah itu, ia melaporkan ke pihak Facebook bahwa ada aktivitas untuk masuk ke akunnya.
Percobaan peretasan juga dialami oleh beberapa aktivis lainnya. Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) mencatat, pada Rabu (22/4) sampai Kamis (23/4), sebanyak enam akun baik aplikasi pesan singkat maupun sosial media para aktivis, secara bersamaan diretas.
Hal sama juga terjadi pada aksi Reformasi Dikorupsi September 2019 lalu, ketika puluhan akademisi yang tidak setuju dengan revisi UU KPK dan RUU KUHP juga turut diretas ponselnya. Salah satu akun WhatsApp yang diretas adalah milik Dosen Fakultas Ekonomi UGM Rimawan Pradiptyo dan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Profesor Hariadi Kartodihardjo.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Suyudi Ario Seto menyebut polisi saat ini masih mendalami pengakuan Ravio. Polisi juga telah meminta keterangan saksi ahli digital forensik untuk mendalami dugaan peretasan tersebut. Ia menjelaskan, pihaknya membutuhkan waktu yang lebih panjang dari kasus lain pada umumnya.
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Raden Prabowo Argo Yuwono menyebutkan seorang polisi, AKBP HS, duduk menjadi saksi atas kasus ini. Ia mendapatkan pesan provokatif dari nomor telepon milik Ravio. Belakangan nama HS teridentifikasi sebagai Kapolres Tapanuli Utara AKBP Horas Silaen.
Namun ketika dihubungi, Horas membantah membuat laporan atas Ravio. Ia hanya meneruskan pesan ke Polda Metro Jaya setelah berhasil mengidentifikasi pengirim pesan provokatif itu berdomisili di Jakarta.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 21:56 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini