Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Agustus 1982 si Pitung bersama beberapa temannya diciduk polisi setelah menerima uang keamanan sebesar 50 ringgit dari kepala desa Kebayoran. Namun, pada 1893 dia dan kawannya, Dji-ih, berhasil melarikan diri secara misterius dari penjara Desa Meester Cornelis (Jatinegara),” tulis Margreet van Till buku Batavia Kala Malam
ADVERTISEMENT
Siapa tak tahu Si Pitung, tokoh Betawi yang melegenda dalam lintasan zaman. Dia bisa jadi pelindung para pribumi yang saat itu hidup dalam penjajahan Belanda.
Akan tetapi, bagi Belanda Pitung adalah penjahat. Namanya kondang dalam pemberitaan di koran-koran zaman kolonial berkat aksi kejahatan yang dilakukannya. Pitung digambarkan sebagai sesosok bandit yang membuat Batavia (nama Jakarta dulu) tidak aman.
Banditisme alias kejahatan di Jakarta sudah terjadi jauh sebelum era si Pitung. Menurut sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, akar kejahatan di Jakarta bermula dari dibentuknya Kota Batavia pada abad ke-17 oleh Belanda. Saat itu penduduk Batavia masih relatif sedikit.
“Jadi mereka mendatangkan orang-orang dari luar Jawa untuk menjadi penduduk kota. Nah kebanyakan mereka yang datang itu dari beberapa suku di seluruh Indonesia. Ada orang Bugis, orang Makassar, orang Ambon, ada orang Melayu, ada orang Buton,” jelas Bondan saat berbincang dengan kumparan di kediamannya, Rabu (30/1).
Kala itu para penduduk tak hanya sekadar hidup sebagai warga biasa. Oleh Belanda mereka dijadikan milisi yang acapkali dikirim perang ke berbagai wilayah di Asia. Dari upaya Belanda itu, wajar bila kemudian para penduduk memiliki kemampuan tempur yang tinggi.
ADVERTISEMENT
“Dan ini menurut saya penduduk asli pertama ini memiliki budaya kekerasan yang cukup tinggi,” ucap Bondan.
Di sisi lain, krisis ekonomi yang melanda Batavia kala itu juga turut meningkatkan angka kriminalitas. Sebagai wilayah dengan banyak pabrik gula beroperasi, kala krisis melanda, tak sedikit warga kehilangan mata pencaharian mereka.
Alhasil, saat menganggur mereka memutuskan untuk melakukan tindak kejahatan.
“Jadi abad 17 dan 18 itu sudah terjadi beberapa bentuk kejahatan seperti perampokan, pencurian ternak, atau perampasan orang-orang yang lewat jalan diincar,” sebut Bondan.
Para pelaku kejahatan tersebut pada umumnya berkelompok. Di Jakarta, paling lazim kelompok-kelompok tersebut berdasarkan asal daerah atau suku masing-masing. Sebagai contoh, Madura, Batak, Ambon, dan lain sebagainya. Hal itu terjadi karena Jakarta adalah kota besar yang memiliki cakupan wilayah luas. Ketika orang masuk ke kota ini, tentu yang mereka cari adalah orang-orang yang berasal dari daerah sama.
ADVERTISEMENT
Akan beruntung bila orang yang dituju sudah hidup mapan dengan pekerjaan. Namun, ketika yang mereka datangi hidup tanpa kerja pasti, maka hal itu justru akan meningkatkan angka kriminalitas.
“Tapi kalau menjalankan sesuatu yang sifatnya ilegal, atau preman atau melakukan hal yang melanggar hukum ya itu akan ikut-ikutan kelompok itu. Itu yang menjelaskan munculnya kelompok-kelompok preman di Jakarta,” ungkap Bondan.
Kelompok-kelompok preman di Jakarta pada dasarnya terkotak-kotak dalam wilayah tertentu. Dalam memetakan kantong-kantong preman di Jakarta tentu tak bisa dilepaskan dari senarai panjang sejarah Indonesia. Pada awal abad ke-19, para tuan tanah di Ommelanden (pinggiran Jakarta) menyewakan tempat-tempat tertentu kepada orang Tionghoa.
Merujuk pada tulisan sejarawan Belanda, Margreet, pada tempat-tempat itu kemudian dijadikan pasar atau warung oleh mereka.
ADVERTISEMENT
“Sekitar pasar ini muncul tempat-tempat hunian baru yang menggunakan nama pasar, seperti Pasar Minggu, Pasar Tanah Abang, dan Pasar Senen,” Margreet menguraikan.
Di dalam pusat-pusat ekonomi tersebut, turut tumbuh kelompok preman yang mengais rezeki dari aktivitas yang ada. Sebagai contoh apa yang terjadi di Pasar Senen.
Bila kembali ke periode 1950, di wilayah ini muncul satu tokoh populer asli Betawi bernama Muhammad Syafi’ie atau yang akrab disapa Bang Pi’ie. Dia adalah kepala kelompok preman terbesar di Senen dengan nama Geng Kobra. Geng tersebut saat itu berkembang menguasai wilayah Senen.
Bang Pi’ie tercatat pernah melakukan hampir seluruh jenis tindak kejahatan. Sebut saja masalah memungut ongkos pedagang, memungut setoran hasil usaha copet atau parkir, serta menerima upeti dari semua kegiatan ilegal.
ADVERTISEMENT
“Jadi waktu itu ada orang yang kehilangan dompet misalnya, dan dia kenal dengan Bang Pi’ie di daerah Senen. Dia bilang ke Bang Pi’ie, kemarin saya kehilangan dompet. Di mana? Di sekitar terminal. Jam berapa? Sekian. Itu bisa ditemukan lagi dompetnya. Karena itu semua di bawah kendali dia,” cerita Bondan soal kuasa Pi’ie di Senen.
Meski akrab dengan tindak kriminal, Pi’ie turut berjuang semasa revolusi membela republik. Dia kerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berkat perjuangannya itu, dia kemudian kemudian diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi menteri bagian keamanan.
Senen sejatinya memang menjadi wilayah yang menjadi saksi tren premanisme ibu kota yang terus berkembang. Kriminolog UI, Arthur Josias Simon Runturambi, menyebut jika pada era penjajahan premanisme identik dengan penguasaan lahan, lain halnya dengan yang terjadi setelah kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
“Nah setelah merdeka mereka banyak dipakai untuk misalnya penguasaan wilayah, ada perusahaan-perusahaan asing atau perusahaan yang dinasionalisasi. Nah baru kemudian berkembang yang namanya wilayah-wilayah perkotaan, wilayah-wilayah perdagangan,” papar Simon kepada kumparan, Selasa (29/1).
Penguasa Senen kini
Bicara soal Senen kini, tak lepas dari ‘penguasa’ lahan kondang bernama Rudlof (bukan nama sebenarnya). Dia memang bukan bagian dari Geng Kobra milik Bang Pi’ie. Namun, dia adalah ‘penguasa’ kawasan Terminal Senen, Jakarta Pusat, yang begitu disegani dan ditakuti saat ini. Dia tak segan menghajar mereka yang dirasa mengganggu diri dan kelompoknya.
Sejak 1982 Rudolf sudah hidup dari hiruk pikuk terminal Senen. Berawal dari sang ayah yang sudah lebih dulu menguasai Pasar Inpres yang berada persis di samping terminal Senen, Rudolf lalu diberikan kepercayaan untuk meneruskan kuasa sang ayah.
ADVERTISEMENT
Di pasar Inpres, Rudolf bersama kelompoknya memiliki kekuasaan mengatur dan mengamankan lapak para pedagang kaki lima yang diwajibkan menyetor uang keamanan kepadanya.
Memasuki tahun 1985, beberapa kelompok preman mencoba menguasai lahan milik Rudlof hingga dia kemudian terlibat perang besar. Akibatnya, lahan pasar lantas diambil alih oleh pemerintah.
Tak punya lahan, Rudlof kemudian terlibat dalam sindikat jambret dan penodong di kawasan terminal. Sebab aksinya itu, dia ditangkap polisi.
“Terjadilah itu macam menodong, menjambret dan masuklah (penjara) tahun 1986,” ujar Rudolf kepada kumparan, Selasa (29/1) di Terminal Senen, Jakarta Pusat.
Keluar dari penjara, Rudolf tak jera hidup di jalanan. Dia mencoba peruntungan di Terminal Senen dengan berprofesi sebagai timer mikrolet. Namun, ketatnya persaingan membuat usahanya itu seret pendapatan.
Hidup terhimpit ekonomi, Rudolf memutuskan kembali untuk punya kuasa. Di lahan sekitar 80 meter yang awalnya ruas jalan terminal, kini dia gunakan untuk lahan parkir sepeda motor bersama 12 anak buahnya. Untuk sekali parkir Rudolf mengenakan biaya Rp 2.000. Cukup duduk manis dengan sebotol kopi hitam di depan mejanya, uang Rp 100.000 pasti akan masuk ke dompet setiap sorenya.
ADVERTISEMENT
Menghentikan premanisme, mungkinkah?
Terkait geliat premanisme di Senen, pihak kepolisian setempat sudah bersinergi dengan berbagai pihak untuk menekan angkanya. Tetapi, Kapolsek Metro Senen, Kompol Muhammad Syafi'i, menyebut Senen menjadi daerah yang sentral sehingga premanisme sulit dihabisi.
“Ini memang termasuk daerah yang berpotensi adanya aksi premanisme mengingat di Senen ini selain sentra ekonomi, pusat perbelanjaan, di sini ada mal, di sini ada pasar juga pusat transportasi khususnya kereta api, stasiun besar Senen ini merupakan pusat transportasi dari Jakarta sampai ke Jawa Tengah maupun Jawa Timur,” urai Syafi’i kepada kumparan, Selasa (29/1).
Dengan demikian, premanisme di ibu kota terus berdenyut. Sebagai kriminolog, Simon menilai kurang ketatnya pengawasan lembaga keamanan dan penegak hukum menjadi musabab aktivitas ilegal ini terus berlangsung.
ADVERTISEMENT
“Jadi selama ada yang bertindak melebihi hukum yang berlaku sikat saja. Tegakkan aturan. Jangan karena dia berafiliasi atau punya backing-an kemudian ditutup-tutupi kemudian,” Simon berujar.
Simon menyebut, dari tingkat kejahatan sebenarnya terjadi penurunan secara kuantitas. Tetapi sebetulnya secara kualitas tingkat kejahatan itu meningkat. Adapun yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kejahatan yang terkait sosial dan politik, misalnya penguasaan wilayah, pembagian wilayah, dan lain sebagainya.
Memang, mencabut akar premanisme di Jakarta tidak akan bisa dilakukan sepenuhnya. Sejarawan Bondan berujar, ketimpangan ekonomi adalah faktor yang membuat tindak premanisme tetap eksis. Solusinya, pemerintah sudah sepatutnya membuka kesempatan seluas-luasnya.
“Kalau semua terserap ke semua sektor ekonomi dan mereka tidak ada waktu lagi, premanisme akan hilang,” kata Bondan.
ADVERTISEMENT
----------------------------------------------------------
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Penguasa Lahan Senen.