Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
PDIP Bicara di HUT ke-77 TNI: Sosok Panglima Baru hingga Potensi Perang
10 Oktober 2022 6:55 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
PDIP melaksanakan talkshow dalam rangka memperingati HUT ke-77 pada 5 Oktober lalu. Talkshow itu bertajuk 'TNI adalah Kita, Sejarah, Kepeloporan dan Desain Masa Depan TNI,' dan dilaksanakan di DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (9/10).
ADVERTISEMENT
Acara itu dihadiri oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP Utut Adianto, Pengamat Militer Connie Bakrie, eks Kepala BNPB Letjen (Purn) Ganip Warsito dan eks KSAU Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna.
Berbagai isu dibahas dalam talkshow itu. Mulai dari sosok calon Panglima TNI pengganti Jenderal Andika Perkasa yang akan segera memasuki usia pensiun hingga masalah anggaran Kemhan dan perang.
Berikut kumparan rangkum:
Sosok Pengganti Panglima TNI
Hasto Kristiyanto mengatakan, pergantian Panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden. Dia menjelaskan, kepentingan PDIP dalam menjalankan politik pertahanan, melihat tantangan geopolitik semakin nyata.
"Penunjukan Panglima TNI merupakan hak prerogatif dari presiden. Tentu saja kepentingan PDIP di dalam menjalankan politik pertahanan tersebut karena tantangan geopolitik nyata," kata Hasto.
ADVERTISEMENT
Hasto pun menyinggung beberapa konflik yang tengah terjadi di dunia saat ini, mulai konflik Rusia Ukraina hingga potensi konflik di semenanjung Korea di Timor Tengah yang belum selesai.
"Siapa yang menyangka ada perang Rusia Ukraina. Siapa yang menyangka saat itu ada aksi bilateral Amerika Serikat terhadap Irak, apalagi ada ketegangan di Laut Tiongkok Selatan di Selat Taiwan dan potensi konflik di semenanjung Korea di Timor Tengah yang belum selesai," lanjutnya.
Hasto menuturkan, ke depannya Panglima TNI yang baru bukan hanya sekadar visioner dan paham jati diri TNI, tetapi juga harus mempunyai visi membangun pertahanan negara dengan cara pandang geopolitik.
PDIP Komitmen Tidak Tarik TNI dalam Politik Praktis
Hasto Kristiyanto menekankan angkatan perang Indonesia harus terus diperkuat, sehingga sistem pertahanan Indonesia kokoh, dan tidak mudah 'dikerdilkan' oleh negara-negara lain.
ADVERTISEMENT
Ia juga menekankan pentingnya agar tidak menarik TNI ke politik. Ia menyinggung Ketum Megawati Soekarnoputri saat menjabat sebagai Presiden RI ke-5 tak pernah menarik TNI ke politik, bahkan di bawah tekanan Orde Baru.
"Ketika ada peristiwa seperti ada jarak PDIP dan TNI, itu tidak. Kita memang komitmen tidak tarik TNI dalam politik praktis. Ketika berhadapan dengan pemerintahan Orde Baru, Bu Mega banyak sekali mendapatkan tekanan dari alat-alat negara. Kejaksaan, kepolisian, TNI, itu semua dipakai untuk menekan Bu Mega, tetapi hebatnya Bu Mega tidak melakukan berbagai bentuk yang justru memperkuat disintegrasi," kata Hasto.
"Saat itu, justru Ibu Megawati mengambil langkah-langkah rekonsiliasi. Bahkan saat itu ketika Pak Harto dihujat, Bu Mega mengatakan setop hujat Pak Harto. Saat itu Bu Mega merangkul dengan politik rekonsiliasi. Purnawirawan TNI banyak yang ditempatkan pada jabatan-jabatan strategis itu," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Alih-alih TNI berpolitik, Hasto justru mendorong postur sistem pertahanan harus betul-betul sesuai kondisi geografis Indonesia. Menurutnya, pemikiran geopolitik Bung Karno selalu diingatkan oleh Megawati.
Potensi RI Perang Rentan, Peluru Kita Cuma Bisa Buat 3 Hari
Utut Adianto mengatakan, anggaran untuk pertahanan harus terus dinaikkan demi meningkatkan kualitas TNI.
Menurutnya, pemerintah saat ini masih belum terlalu berpihak kepada TNI terutama dari segi anggaran.
"Berpolitik adalah soal keberpihakan. Jadi keberpihakan kepada anggaran tentara ini masih belum menampakkan seperti apa yang diceritakan tadi zaman Bu Megawati Soekarnoputri," kata Utut.
Urut menjelaskan, anggaran pertahanan Rp 134 triliun pada 2023 masih jauh dari cukup. Ia berpendapat jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki anggaran besar untuk pertahanan, maka seharusnya anggaran pertahanan RI bisa mencapai 2-3 kali lipat dari saat ini.
ADVERTISEMENT
"Tapi apa APBN kita mampu? Apa ada perang? Konvensional tidak ada, tapi saat ada perang Rusia-Ukraina, terbuka mata kita. Bahwa kita potensi sangat rentan, alutsista jauh dari memadai. Di zaman Bung Karno kita kekuatan terbesar di belahan bumi selatan. Ini harus diubah mindset," ujar dia.
"Sekarang kalau perang bahaya, peluru kita cuma bisa buat 3 hari. Ini sebenernya miris buat negara sebesar Indonesia. APBN kita tahun depan Rp 3.061 T. Defisit Rp 598 T. Nah idealnya TNI kita paling enggak 2%. Sekitar Rp 360 T," tambahnya.
Sementara Connie Bakrie setuju anggaran pertahanan perlu ditambah. Ia menyinggung saat zaman Megawati begitu terlihat keberpihakan pemerintah pada anggaran pertahanan.
"Harusnya, kalau boleh, sekarang kan ada wacana presiden 3 kali, pas zaman Bu Mega harusnya Bu Mega presiden 3 kali. Serius. Nggak banyak yang tahu ketika kepemimpinan Bu Mega, anggaran pertahanan kita setengah triliun. Ketika Ibu jadi presiden jadi Rp 21,5 T. Bayangkan. Apa yang dibeli? Sukhoi, dan lain-lain, melengkapi angkatan senjata," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Connie menilai TNI perlu mengubah postur pertahanan ke outward looking defence. Salah satunya dengan mengubah nama. Ia juga berharap aturan tentang tinggi badan TNI diubah kembali oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Syarat tinggi minimal taruna TNI belum lama ini diturunkan Andika menjadi 160 cm dari 163 cm. Perubahan syarat itu juga berlaku bagi taruni yang sebelumnya 157 cm menjadi 155 cm.
Eks KSAU: Tak Boleh Ada yang Menonjol Secara Sektoral di TNI
Agus Supriatna menekankan soal pentingnya sinergi antara satu matra di TNI dengan matra lainnya. Dengan sinergi, tak adanya lagi yang menonjol dari tiga matra TNI.
”TNI harus tetap mempertahankan melihat kepeloporan mulai dari dulu mulai zaman Bung Karno sampai Ibu Mega itu harus mempertahankan konsolidasi, soliditas, sinergi ketiga matra TNI. Tidak boleh ada yang menonjol secara sektoral, harus sinergitas ketiga matra TNI itu,” ujar Agus.
ADVERTISEMENT
gus juga turut menyoroti soal masih adanya pihak yang menyeret TNI kepada praktik politik praktis. Meski pengetahuan politik juga perlu dimiliki TNI, tapi bukan berarti TNI dapat ditarik ke praktik politik praktis.
”Jangan misalkan selalu membawa ke dalam politik praktis. Memang TNI harus tahu politik, tetapi jangan dibawa dalam politik praktis,” sambungnya.
”Dalam pemilihan Panglima TNI contoh Panglima TNI itu ditunjuk oleh Presiden tapi sesuai undang-undang TNI harus ada persetujuan DPR, makanya DPR mengadakan fit and proper test tapi itu hanya terus minta persetujuan DPR. Jadi, bukan politik mengendalikan TNI, tapi ini tetap penunjukan dari seorang presiden atas persetujuan DPR,” ungkap Agus.
Tak hanya soal sinergi hingga politik praktis, Agus juga menyoroti soal strategi pertahanan yang diusung TNI ke depan. Menurutnya harus ada penyesuaian kebijakan strategi pertahanan saat ini yang harus bisa menyesuaikan dengan tantangan geopolitik regional maupun global.
ADVERTISEMENT
”Kebijakan strategi pertahanan harus fokus pada tantangan dan ancaman perang saat ini yaitu asimetris war, cyber war, dan proxy War untuk tantangan ke depan,” kata Agus.
Karenanya, menurut Agus, perlu untuk selalu mengevaluasi secara mendasar kurikulum pendidikan TNI di berbagai lini dan tingkatan. Termasuk nantinya bagaimana mengatur postur pertahanan untuk tiap matranya.