Pemprov DKI: Tanah di Jakarta Hampir Sama Seperti Palu

29 Oktober 2018 19:39 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 6:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tembok pemisah laut dan permukiman penduduk di Muara Baru, Jakarta Utara. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tembok pemisah laut dan permukiman penduduk di Muara Baru, Jakarta Utara. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Permukaan tanah Jakarta terus turun. Itu bukan perkara baru. Air laut merambat naik. Itu juga sudah banyak orang tahu. Mungkin, Jakarta dan penduduknya telah terbiasa hidup di ambang bahaya. Mereka―sadar atau tidak―tinggal di atas daratan yang perlahan terbenam ke laut.
Firdaus Ali, Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Sumber Daya Air sekaligus pakar bioteknologi lingkungan Universitas Indonesia, mengatakan, “Air laut akan naik pelan-pelan, 5–6 sentimeter per tahun. Tahun 2050, ada dua kemungkinan letak tepi laut Jakarta. Skenario optimistis di Harmoni, skenario pesimistis di Semanggi.
Ia tak mengarang atau menakut-nakuti warga Jakarta. Ia berucap berdasarkan riset bertahun-tahun yang dilakukan oleh tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung. Tim ITB yang digawangi Heri Andreas itu menyimpulkan Jakarta berpotensi tenggelam.
“Jika penurunan tanah terus terjadi, akhirnya daratan nanti jadi di bawah permukaan laut. Kalau tanah lebih rendah dari permukaan laut, otomatis air laut akan menerobos masuk ke darat kalau tidak dibendung. Tahun 2050, 95 persen Jakarta Utara ada di bawah permukaan laut,” kata Heri.
Kali Besar di Kota Tua, Jakarta Barat. (Foto: Darin Atiandina)
zoom-in-whitePerbesar
Kali Besar di Kota Tua, Jakarta Barat. (Foto: Darin Atiandina)
Tingkat penurunan tanah di Jakarta bervariasi. Di Jakarta Utara turun 15 sentimeter per tahun, Jakarta Timur 10 cm, Jakarta Pusat 2 cm, dan Jakarta Selatan 1 cm.
Tak heran aktivis lingkungan gencar menyerukan penghentian penyedotan air tanah. Mereka yakin, bila air tanah terjaga, penurunan tanah Jakarta bisa dicegah―setidaknya melambat.
Bisakah itu dilakukan?
Untuk mengetahui kendala yang ada, kumparan berbincang dengan Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Oswar Muadzin Mungkasa, dan Kepala Seksi Pemanfaatan Air Tanah DKI Jakarta, Ikhwan Maulani, secara terpisah.
Oswar Muadzin Mungkasa, Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta. (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Oswar Muadzin Mungkasa, Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta. (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Sebetulnya apa saja penyebab penurunan muka tanah?
Oswar: Penurunan muka tanah itu ada tiga penyebabnya, yakni beban, struktur geologi dari tanah, dan penyedotan air tanah.
Kita tak bisa mengubah struktur geologi. Kita bisa mengurangi banyaknya bangunan gedung di atas tanah, tapi itu pun agak sulit karena Jakarta memang membutuhkan lahan. Nah, yang paling mungkin kita lakukan adalah mengurangi penyedotan air tanah dalam.
Katanya, di daerah utara Jakarta itu penurunannya tiap tahun sekitar 7 cm. Berarti dalam 15 tahun, turun 1 meter. Itu berbahaya. Kalau pintu rumah kita tingginya 2 meter, berarti dalam waktu 10 tahun sisa setengahnya saja.
Ikhwan: Jakarta itu nggak usah diapa-apakan, tanahnya juga turun karena masih proses konsolidasi. Tanah Jakarta itu belum keras, masih mengalami pemadatan. Dan itu nggak bisa kita apa-apakan, karena proses alamiah.
Soal faktor tektonik, mana bisa kita lawan alam? Misalnya Jakarta kena gempa, apalagi megathrust, kita mau apa? Ya hancur. Apalagi di Jakarta tanah batuannya hampir sama seperti di Palu.
Batuan Jakarta merupakan endapan aluvial yang terdiri atas lempung dan pasir. Umur endapan ini masih terhitung muda, yakni 10 ribu tahun. Oleh sebab itu masih mengalami kompaksi (penekanan partikel sehingga membentuk massa padat) atau kompresi (pemampatan). Akibatnya, permukaan tanah Jakarta turun.
Untuk tanah di Jakarta Utara, menurut Kepala Badan Geologi ESDM Rudy Suhendar, juga dipengaruhi endapan rawa-rawa selain endapan sungai.
Gedung perkantoran di Jakarta. (Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung perkantoran di Jakarta. (Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)
Berikutnya, beban bangunan. Jakarta itu bukan kota yang given kayak gini. Sekarang sudah banyak bangunan tinggi.
Yang bisa dikendalikan itu pengambilan air tanahnya. Untuk mengurangi dampak penurunan tanah itu salah satunya dengan mengendalikan pengambilan air tanah, soalnya dampaknya jauh lebih besar dibandingkan dengan pajak air tanahnya.
Solusi apa yang sedang dijalankan Pemprov DKI?
Oswar: Kedeputian kami sedang bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyusun desain besar pengelolaan air tanah.
Yang pertama, kita petakan dulu kondisinya. Kebijakan yang baik itu berdasarkan fakta data informasi, bukan insting. Kami bekerja sama dengan berbagai pihak mengumpulkan data-data untuk memastikan peta kondisi air tanah Jakarta.
Jakarta Terancam Tenggelam. (Infografik: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jakarta Terancam Tenggelam. (Infografik: Basith Subastian/kumparan)
Kami anggap merah bahaya, kuning so-so, hijau aman. Setelah kita tahu lokasi merahnya di mana, kuningnya di mana, baru kita ambil langkah-langkah. Tentunya prioritaskan dulu daerah merah. Kalau daerah yang hijau, kami larang orang masih bisa karena masih aman.
Yang kedua, selain air hujan, apa saja sih sumber air yang lain? Bisa dari air sungai. Makanya kami sekarang sedang berjuang untuk meningkatkan kualitas air sungai di Jakarta. Dengan demikian kami bisa yakin bahwa air sungai itu bisa menjadi sumber air PAM.
Kenapa PAM hanya bisa menjangkau 60 persen dari seluruh area di Jakarta? Karena nggak ada sumber airnya. Nah, kalau sungai bisa dijadikan sumber air, aman kan ya?
Satu lagi―cara yang paling mudah sebenarnya, tetapi jarang dilakukan. Standar di perkotaan itu 200 liter per hari per orang. Kalau kita bisa menghemat air, misalnya kita turunkan standarnya jadi 190 liter saja. Kan di Jakarta ada 10 juta penduduk, dikali 10, jadi 100 juta liter air per hari yang bisa kita hemat.
Artinya satu juta liter per hari itu bisa jadi sumber air untuk orang lain. Itu yang belum kita lakukan. Kalau itu bisa kita lakukan, itu bisa jadi sumber air kita dari sisi permintaan, bukan dari sisi suplai.
Gedung-gedung dan permukiman padat penduduk di Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Soal pajak air tanah yang jadi salah satu solusi untuk mengurangi eksploitasi air tanah itu bagaimana?
Ikhwan: Jadi, golongan tarifnya itu non-niaga, niaga kecil, niaga besar, industri besar, dan industri kecil.
Untuk yang rumah tangga biasa, nggak harus bayar pajak. Untuk fasilitas umum, fasilitas sosial, dan gedung pemerintah, nggak harus bayar pajak. Cuma besarannya (kena pajak) beda. Ada di Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 86 Tahun 2012.
Di Jakarta, pengaruh terhadap lingkungan sangat besar, dan Jakarta itu ibu kota negara. Itu salah satu faktor yang menyebabkan pajak air tanah Jakarta lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Di samping itu, bangunannya lebih banyak dan padat. Jadi misalnya terjadi penurunan tanah di situ, pasti efeknya lebih besar dibanding penurunan tanah di tempat lain.
Makanya dengan tingginya pajak air tanah, kami berharap mereka (konsumen) beralih ke PAM walaupun efek itu juga pasti banyak pelanggaran.
Kalau menurut saya sih (pajak air tanah) sebenarnya sangat efektif untuk mengurangi pelanggaran dari orang-orang yang nakal. Tarif PAM dengan tarif air tanah jauh.
Pengguna nakal itu nggak bisa kami pastikan, cuma yang baru ketahuan sekarang ini ada sekitar 100-an gedung. Bukan berarti hanya 100 itu.
Biasanya kami kerja sama dengan PDAM atau PALYJA. Hampir setiap bulan kami kasih data pengambilan air tanah ke mereka. Nah, nanti kami compare kira-kira di situ ada anomali apa enggak. Kalau dalam keadaan pemakaian yang normal-normal saja, biasanya (jarum air tanah dan jarum air PAM) sebanding lurus.
Tapi kalau tiba-tiba pemakaian air PAM kecil tapi nggak ada pemakaian air tanah, nah baru kami cek di situ ada apa. Apalagi kalau misalnya ternyata sudah empat atau lima bulan pemakaian air PAM-nya kecil tapi pemakaian air tanahnya nggak naik, itu kan ada anomali.
Yang jelas mereka harus membayar dari sisi administrasi, membayar kerugian. Kami juga punya SOP. Ada pemanggilan pertama, kedua, dan ketiga sampai kami tutup kalau dia nggak kooperatif. Kalau pemanggilan kedua, kami segel listriknya. Pemanggilan ketiga nggak dateng juga, terpaksa kami cor. Tapi tetap dia harus bayar kewajibannya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan inspeksi mendadak ke Hotel Sari Pan Pacific di Thamrin untuk mengetahui pengelolaan air pada bangunan tersebut. (Foto: Nabila Fatiara/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan inspeksi mendadak ke Hotel Sari Pan Pacific di Thamrin untuk mengetahui pengelolaan air pada bangunan tersebut. (Foto: Nabila Fatiara/kumparan)
Apakah ke depan akan ada kebijakan baru terkait penghentian pemakaian air tanah?
Ikhwan: Sebenarnya kita ingin (terapkan) itu di daerah-daerah yang sudah ada jaringan PAM. Nanti ke depannya, kami ingin pengambilan air tanah disetop. Tapi kalau yang belum ada pilihan (jaringan PAM), masih kami biarkan.
Untuk daerah merah yang sekarang ada di peta konservasi, kebijakan itu sudah berjalan. Di zona rusak itu, izin dan perpanjangan juga ditolak. Untuk zona rawan, izin bangun juga ditolak, tapi untuk perpanjangan masih diperbolehkan.
Masih dalam hitung-hitungan, sih. Tapi kami ingin mereka tidak menggunakan air tanah.
Apa kendala dalam menghentikan penyedotan air tanah secara masif?
Oswar: Kami nggak punya data siapa yang nyedot. Makanya, salah satu langkah kami nanti akan membuat seoptimal mungkin jumlah titik pantau untuk memantau tinggi air tanah.
Dari sekarang kita harus ambil langkah-langkah agar penurunan muka tanah bisa dihentikan.
------------------------
Waspada ancaman Jakarta Tenggelam. Simak Liputan Khusus kumparan.