Pengacara Sebut Tuntutan 11 Tahun Penjara Karen Agustiawan Ngawur, Ini Alasannya

30 Mei 2024 16:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Luhut Pangaribuan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Luhut Pangaribuan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Kuasa hukum mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, Luhut MP Pangaribuan, merespons tuntutan 11 tahun penjara yang dijatuhkan jaksa KPK terhadap kliennya dalam kasus korupsi Liquified Natural Gas (LNG).
ADVERTISEMENT
"Mengutip pernyataan Alex Marwata, "Ini tuntutan ngawur," kata Luhut kepada wartawan, Kamis (30/5).
Ada sejumlah poin yang menjadi alasan atas respons Luhut tersebut. Salah satunya tuntutan jaksa KPK dinilai keliru dan salah sasaran. Sebab, Karen bukanlah pihak yang menandatangani kontrak pengadaan LNG yang dinyatakan jaksa merugikan negara pada saat deliveri LNG itu tahun 2019-2020.
"Tagihan (invoice) CC (Corpus Christi Liquefaction) kepada Pertamina atas pengiriman 8 kargo LNG itu adalah berdasarkan pada kontrak jual beli 2015. KA (Karen) menjadi Dirut Pertamina pada kurun 2009-2014," kata Luhut.
"Jaksa ngawur karena menyatakan kontrak 2015 adalah gabungan kontrak 2013 dan 2014 padahal jelas kontrak 2015 menyatakan pembatalan kontrak 2013 dan kontrak 2014," sambung Luhut.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut bukan tanpa sebab. Berdasarkan kontrak 2015, maka harga yang dibayar Pertamina, waktu delivery dan asal produksi LNG itu berbeda dengan yang tertera dalam kontrak Corpus Christi Liquefaction dan Pertamina tahun 2013 dan 2014.
Mantan Dirut Pertamina Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan saat hadiri sidang tuntutan di PN Jakarta Pusat, Kamis (30/5). Foto: Hedi/kumparan
Luhut mengatakan, kerugian Pertamina pada delapan kargo disebabkan Direksi Pertamina pada kurun 2019-2020 memutuskan menjual LNG ke pihak lain dengan harga di bawah harga pembelian.
Hal itu ditegaskan sebab dalam tuntutan jaksa KPK, disebutkan bahwa pengadaan LNG ini merugikan negara hingga Rp 1,7 triliun.
Padahal, menurut Luhut, pada 2018 sudah ada pihak yang bersedia membeli di atas harga pembelian (Trafigura) tapi tawaran pembelian itu, sampai waktu penawaran kedaluwarsa, tidak dikabulkan oleh Direksi Pertamina saat itu.
ADVERTISEMENT
"Kontrak LNG antara Pertamina berlaku untuk pembelian kurun waktu 2019 sampai 2040. Sampai akhir 2023 Pertamina melaporkan secara akumulatif mendapat keuntungan USD 91 juta dari semua pengiriman yang sudah diterima dan dijual. Hal ini terjadi karena diluar 8 kargo yang disebut penuntut umum, semua kargo dari CC dijual dengan harga jauh di atas harga pembelian Pertamina. Hanya pada periode Pandemi saja harga pembelian LNG dari CC lebih rendah dari harga pasar spot dunia," ucap Luhut.
Luhut menyebut, pada saat Karen menandatangani SPA 2013 dan 2014, pembelian LNG adalah untuk keperluan dalam negeri, utamanya untuk keperluan kilang Pertamina yang rencananya akan diperbesar dan mulai beroperasi 2019.
"Dalam perkembangan ini rencana renovasi total dan perluasan kilang Pertamina tertunda dari rencana. Bahkan masih menggunakan bahan baku BBM yang lebih mahal dan lebih mencemarkan ketimbang memakai LNG," ucapnya.
Ilustrasi bisnis LNG. Foto: PGN
Menurut Luhut, tuntutan jaksa kepada Karen ini jika dikabulkan justru berpotensi kerugian negara.
ADVERTISEMENT
"Karena jauh lebih tingginya harga pasar spot LNG saat ini dan diperkirakan untuk seterusnya sampai kontrak CC berakhir, maka tuntutan jaksa (apabila dikabulkan) berpotensi merugikan negara triliunan rupiah. Sebab, bila kontrak CC dinyatakan melanggar hukum, maka pihak CC dapat membatalkan kontrak secara sepihak dan Pertamina tak bisa lagi meraih keuntungan dari penjualan kargo kargo yang belum diterima sesuai jadwal kontrak sampai 2040. Apakah Jaksa yang nanti akan bertanggung jawab atas "kerugian negara" ini akibat tuntutannya yang tidak prudent (profesional)?" ucap Luhut.
Jaksa Fitnah Karen
Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla hadir sebagai saksi a de charge (meringankan) atas terdakwa eks Dirut PT Pertamina, Karen Agustiawan, dalam kasus korupsi pengadaan LNG tahun 2011-2021 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (16/5/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menurut Luhut, jaksa KPK juga telah memfitnah Karen dengan menyatakan ia menerima suap Rp 1 miliar. Padahal, uang tersebut merupakan gaji Karen sebagai Senior Advisor di perusahaan swasta setelah beberapa bulan Karen tak lagi menjadi Dirut Pertamina.
ADVERTISEMENT
"Penerimaan gaji ini pun telah dilaporkan dan dibayar pajaknya dan jumlahnya tak seberapa dibandingkan gaji dan tantiem yang diterima KA sebagai Dirut Pertamina," kata Luhut.
"KA mengundurkan diri sebagai Dirut Pertamina sebelum masa jabatan berakhir karena alasan pribadi dan untuk memberi kesempatan pada penerus karena janjinya pada Presiden untuk membuat Pertamina masuk daftar Fortune 500 sudah dua tahun berturut turut tercapai," sambungnya.
Selain itu, jaksa KPK juga disebut telah memfitnah Karen dalam hal lainnya.
"Jaksa juga telah memfitnah KA dengan menuduh KA menerima suap dari Black Stone. Padahal tawaran Black Stone menjadi advisor dilakukan setelah mengetahui KA telah mengajukan pengunduran diri sebagai Dirut Pertamina dan.lebih penting lagi, Black Stone tak mempunyai keterlibatan bisnis apa pun dengan perusahaan Corpus Christi," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Jika KA dinyatakan bersalah, maka semua Dirut Pertamina setelah KA, sampai saat ini, otomatis terjerat pidana korupsi karena mendapatkan keuntungan dari kontrak CC," pungkasnya.