Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Tidak ada kejutan berarti dari hasil hitung cepat pemilu legislatif 2019. Perolehan suara partai-partai politik tidak jauh berbeda dari prediksi berbagai lembaga survei sebelum pemilu berlangsung.
Merujuk hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, sembilan partai lama yang duduk di parlemen periode 2014-2019 berpeluang besar lolos ke Senayan. Satu partai yang terancam tersingkir dari parlemen adalah Partai Hanura.
Menukil hasil hitung cepat nasional Saiful Mujani Research Center (SMRC), partai yang dipimpin Oesman Sapta Odang ini diperkirakan hanya meraup suara sebesar 1,7 persen.
Nasib tak mujur juga dialami oleh partai-partai baru. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang cukup populer di kalangan pemilih perkotaan serta pengguna media sosial terancam keok. Partai yang didirikan oleh Grace Natalie ini diperkirakan tak mampu mencapai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen.
Senasib dengan PSI adalah partai milik mogul media Hary Tanoesoedibjo, Partai Perindo. Partai yang kerap menyiarkan mars partai mereka di televisi in hanya mendapat 2,85 persen suara nasional menurut hasil hitung cepat.
Sementara Partai Berkarya yang dibekingi Keluarga Cendana juga terancam gigit jari. Partai yang menjual romantika Orde Baru dan Soeharto ini kemungkinan hanya memperoleh 2,17 persen suara.
Meski demikian, ada juga sejumlah partai yang perolehan suaranya meningkat, seperti Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Berdasarkan hasil hitung cepat Indikator Politik, kedua partai ini masing-masing memperoleh 9,04 dan 8,18 persen suara.
Bagi Nasdem, perolehan suara tersebut meningkat sekitar 2,3 persen dari yang mereka dapatkan pada pemilu 2014 sebesar 6,72 persen. Sementara suara PKS diprediksi naik 1,39 persen dari yang mereka peroleh Pileg 2014 sebesar 6,79 persen.
Di sisi lain, perolehan suara partai pemenang pemilu legislatif 2009, Partai Demokrat menukik tajam. Pada pemilu kali ini, kendaraan politik mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini diprediksi hanya mendapat 7,61 persen suara. Perolehan suara yang mereka peroleh kemungkinan turun 3,18 persen dari pemilu 2014.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kenapa perolehan suara beberapa partai naik, sementara lainnya menurun. Demikian pula dengan pertanyaan mengapa partai-partai baru yang giat berkampanye seperti Perindo dan PSI gagal melenggang ke Senayan?
Kepada kumparan, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Center (SMRC) Djayadi Hanan dan peneliti senior Indikator Politik Rizka Halida memberi beberapa analisa untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas.
Apa yang mengejutkan dari hasil hitung cepat pemilu legislatif 2019?
Rizka Halida: Sejauh ini partai-partai yang diperkirakan mendapat kursi di DPR RI sama dengan prediksi survei terakhir Indikator Politik, April 2019. Kami memprediksi 9 partai akan masuk. Ternyata, hasil quick count menunjukkan 9 partai diprediksi masuk parlemen: PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN dan PPP.
Yang menjadi kejutan perolehan PKB, Nasdem, dan PKS. Suara PKB naik sekitar 2 persen dibanding survei terakhir sebesar sekitar 8 persen. Perolehan Partai Nasdem juga demikian, naik 3 persen dibanding survei terakhir, yakni sekitar 6 persen. Hal yang sama juga terjadi ke PKS yang suaranya naik 3 persen dari survei terakhir kami.
Justru suara PDIP yang stagnan. Pada Pemilu Legislatif 2014, PDIP mendapat 18,9 persen suara, sementara perolehan suara mereka merujuk hasil quick count juga 18,9 persen. Padahal di survei terakhir kami, PDIP diprediksi meraih suara di atas 20 persen.
Djayadi Hanan: Hasil Pileg 2019 sangat mirip dengan hasil-hasil survei sebelum pemilu. Misalnya di survei SMRC April 2019, suara PDIP sekitar 20-22 persen., Gerindra, Demokrat juga di kisaran 7,5 persen.
Hasil yang diperoleh PKS memang agak lebih tinggi dari hasil survei. Survei menunjukkan PKS memperoleh suara sekitar 5-6 persen, sementara hitung cepat meraih 8,18 persen suara.
Jadi ini mirip sekali dengan hasil survei sebelum pemilu. Sebab, sekitar 70 persen pemilih sudah menentukan pilihan partai mereka beberapa bulan sebelum hari pencoblosan.
Kenapa suara PDIP stagnan? Apakah mereka tidak terlalu mendapat coattail effect dari Jokowi?
Rizka Halida: Kalau bicara coattail effect, PDIP memang partai yang paling terasosiasi dengan petahana Joko Widodo. Tetapi coattail effect bukan satu-satunya faktor yang menjelaskan kenaikan suara partai-partai tersebut.
Kita juga perlu mempertimbangkan kerja mesin politik partai-partai di daerah. Misal, PKB yang punya basis massa kultural Nahdlatul Ulama (NU). Massa di daerah basis PKB juga cenderung memilih Jokowi. Hal itu membuat mereka lebih leluasa untuk berkampanye. Jadi mengkampanyekan partai sekaligus capres.
Selain PKB, PKS juga dikenal punya track record yang baik dalam pengorganisasian simpatisan hingga ke akar rumput untuk mengkampanyekan partai dan calon anggota legislatif.
Apakah aksi 212 ikut mengerek suara PKS?
Rizka Halida: Gerakan 212 ini multi kepentingan. Di dalamnya tidak hanya PKS saja tapi juga ada Gerindra.
Tapi memang PKS punya andil besar dalam aksi-aksi 212. Sedikit banyak hal itu juga digunakan untuk menyampaikan materi kampanye politik identitas. Memang ada pemilih dekat dengan isu agama dan merasa bahwa PKS cocok untuk dipilih.
Djayadi Hanan: Tampaknya kecenderungan dukungan pemilih 212 ke PKS dan PAN. Dua partai itu tampaknya. Agak sulit bagi kader 212 untuk memilih Gerindra.
Sebetulnya, mereka bisa memilih Partai Bulan Bintang, tapi PBB secara resmi mendukung Jokowi. Akhirnya suara simpatisan 212 mengalir ke PKS dan PAN.
Selain PKB dan PKS, suara Partai Nasdem juga naik. Kenapa?
Rizka Halida: Nasdem menarik. Mereka mengubah strategi untuk memenangkan pemilu ini. Pada pemilu legislatif 2014, mereka sangat mengandalkan figur Surya Paloh dan jaringan televisi yang dimilikinya. Namun mereka melakukan evaluasi terhadap efektivitas strategi tersebut, apakah masih efektif di pemilu legislatif 2019?
Pertama, Nasdem berstrategi dengan fokus di dapil-dapil di Pulau Jawa untuk menyasar potensi pemilih yang lebih besar. Kedua, mereka merekrut caleg-caleg populer, seperti selebriti. Karena rumusnya pemilih cenderung memilih calon yang dikenal. Hampir tidak mungkin memilih caleg yang tidak mereka kenal.
Djayadi Hanan: Nasdem, selain Golkar, adalah partai yang paling kuat mengasosiasikan kampanye mereka dengan Jokowi. Contohnya, tagline 'Nasdem partaiku, Jokowi presidenku'. Ditambah dengan strategi mereka di dapil yang banyak menempatkan figur-figur populer, baik dari kalangan artis maupun politisi.
Di sejumlah dapil yang mereka target, misal DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, mereka menempatkan figur-figur sangat populer. Gabungan antara strategi mengasosiasikan diri dengan Jokowi dan menempatkan figur populer membuat Nasdem memperoleh limpahan suara.
Strategi Nasdem pada Pemilu 2014 tampaknya diadopsi Perindo? Apa kali ini efektif?
Rizka Halida: Strategi Perindo untuk mensosialisasikan partai lewat televisi memang efektif. Buktinya banyak orang hafal mars Perindo. Tapi pemilih perlu figur. Nah, yang harus dipilih di Perindo siapa? Itu belum masuk ke strategi Perindo.
Djayadi Hanan: Perindo ditopang oleh media yang berkampanye, katakanlah sejak 4-5 tahun terakhir Perindo sudah berkampanye. Tingkat popularitas itu sudah hampir 90 persen.
Tetapi strategi Perindo itu tidak berbasis dapil atau berbasis anak muda, atau apapun strateginya, tidak terlalu terlihat. Perindo hanya mengandalkan media. Dan tidak ada tokoh yang menonjol dari Perindo, baik di dapil maupun di tingkat nasional.
Sementara tokoh utamanya, Hary Tanoe, itu mengalami masalah sosiologis yakni double minority (nonmuslim dan keturunan Tionghoa). Jadi agak sulit dia untuk memperoleh suara yang cukup banyak.
Sementara suara kelompok minoritas diperebutkan oleh banyak partai, termasuk PDIP dan PSI. Seharusnya Perindo menggunakan strategi seperti Nasdem, mencari figur-figur yang sangat populer dan ditempatkan di dapil-dapil kunci yang mereka target.
Bagaimana dengan Partai Solidaritas Indonesia yang aktif berkampanye di media sosial?
Rizka Halida: PSI menarik karena kampanye mereka sangat segmented. Tapi, sebagai partai baru mendapat suara 2,03 persen itu sudah sangat bagus. Kalau dikonversi ke suara, 2 persen dari 190 juta pemilih itu sekitar tiga juta suara.
Tapi ketika suatu partai membuat positioning yang segmented ada plus minusnya. Plusnya adalah orang jadi mudah mencirikan posisi partai ini dalam banyak isu dibanding partai lain.
Sedangkan kekurangannya, tidak semua segmen pemilih merasa bahwa isu itu urgent. Jadi harus diakui bahwa pemilih dari kelas menengah ke bawah saat ini belum melihat urgensi dari isu-isu yang diusung PSI.
Faktor lainnya, caleg-caleg PSI memang banyak yang berpendidikan tinggi dan punya kapasitas bagus. Namun, mereka belum punya basis yang kuat di masyarakat.
Djayadi Hanan: PSI menggunakan strategi seperti Nasdem, mencari figur-figur anak muda yang ditempatkan di sejumlah dapil yang penting. Analisis sementara saya, figur-figur PSI di berbagai dapil ini cukup populer dan menarik perhatian.
Masalahnya PSI tidak punya cukup waktu seperti yang dimiliki Perindo untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Tingkat popularitas PSI hanya sampai di kisaran 45 persen atau 50 persen, sementara Perindo sudah 90 persen.
Mengapa mereka tidak cukup waktu? karena kampanye di media dibatasi oleh sistem pemilu kita. Strategi kampanye utama PSI adalah melalui media sosial. Sementara semua partai juga berkampanye di media sosial sejak pemilu 2014.
Tidak heran, pemilih aktif di media sosial terdistribusi hampir proporsional ke seluruh partai. Apalagi PSI ketinggalan start. Mereka baru bergerak di media sosial sekitar katakanlah 1-2 tahun terakhir.
Mungkin kalau waktunya lebih panjang PSI bisa masuk parlemen. Karena strategi PSI yang menempatkan tokoh-tokoh penting yang fresh dan anak muda populer di sejumlah dapil penting.
Partai Berkarya yang menjual Orde Baru juga gagal?
Rizka Halida: Anda bisa cek juga buku Saiful Mujani “Kaum Demokrat Kritis”, mayoritas warga tidak mau kembali ke Orde Baru. Jadi suara yang didapat Partai Berkarya membuktikan bahwa warga tidak tergoda memilih partai yang mengusung program Orde Baru.
Hanura terdepak dari parlemen. Menurut Anda kenapa bisa terjadi?
Rizka Halida: Suara Hanura turun kemungkinan karena konflik internal. Ketika ada konflik internal, sumber daya mereka habis untuk menyelesaikan konflik itu sendiri. Selain itu, strategi Hanura dengan merekrut tokoh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak cukup mengangkat suara mereka.
Efek ekor jas Jokowi juga sulit mengangkat suara partai karena kondisi internal partai sudah bermasalah. Apalagi perbedaan Hanura dengan partai lain seperti Nasdem dan Golkar tidak begitu jelas.
Djayadi Hanan: Hanura problemnya dua. Mereka punya masalah internal dan parah.
Mulai dari konflik internal elite partai sampai ketidakjelasan partisipasi mereka di pemilu. Akibatnya, para kader hanura yang prospektif untuk kembali mencalonkan diri memilih keluar, seperti Arief Suditomo dan Sarifudin Suding.
Kedua, Hanura itu tidak punya figur besar. Jadi mereka tidak bisa mengandalkan strategi mengusung figur besar seperti yang dilakukan PDIP atau PKB. Tapi, mereka juga tidak punya strategi berbasis dapil karena masalah internal itu tadi.
Selain Hanura suara Demokrat di pemilu ini juga turun. Apa penyebabnya?
Rizka Halida: Partai Demokrat itu partainya Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah 10 tahun SBY berkuasa, dukungan terhadap partai itu juga memudar. Apalagi kalau ada pilihan yang lebih baik.
Kemudian sikap Demokrat kelihatannya mendua. Sebelum bergabung ke 02 pun dramanya panjang. Kelihatan ingin berkoalisi ke 01 tapi akhirnya ke 02. Ketidakjelasan ini berefek pada caleg mereka di dapil.
Jika memang dukungan partai solid ke salah-satu capres, para caleg akan dengan jelas mengatur strategi kampanye di wilayah basis pendukung calon presiden lawan. Dari survei Indikator Politik dari akhir 2018 dan awal 2019, di koalisi pendukung capres 02, Demokrat termasuk partai yang tidak solid. Sama dengan Golkar di koalisi capres nomor urut 01.
Djayadi Hanan: Masalah buat Demokrat adalah partai ini masih sangat tergantung pada figur Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara figur SBY tidak bisa bergerak maksimal pada pemilu 2019. Upaya mengalihkan figuritas SBY ke Agus Harimurti Yudhoyono tampaknya belum berhasil.
Untuk pemilu 2024, apa yang mesti dilakukan partai-partai baru untuk lolos parlemen?
Rizka Halida: Partai baru jelas perlu upaya ekstra. Mereka ketinggalan 10-20 tahun dari partai-partai lama. Jadi memang startnya tidak fair. Karena masih baru, mereka masih belum berada di kognisi, pikiran dan hati pemilih. Partai-partai baru kelihatannya masih perlu 5-10 tahun lagi untuk bersaing dengan partai lama.