Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Penganut Sikh: Kami Lebih Baik Mati daripada Lepas Turban
26 Agustus 2022 19:34 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bagi laki-laki, penutup kepala yang digunakan berupa kain turban . Sementara itu, kain yang digunakan perempuan untuk menutupi bagian atas kepala bisa berupa turban maupun kerudung.
Meski begitu, kewajiban menggunakan turban lebih ketat lagi untuk penganut Sikh yang sudah melewati proses pembaptisan atau Amrit . Mereka yang sudah dibaptis sama sekali tidak boleh melepas turban saat berada di luar rumah.
"Kita ini seperti orang Islam. Istilahnya dilarang buka jilbab gitu. Lebih baik mati, daripada harus buka turban. Kecuali kalau di rumah, itu boleh lepas. Tapi, di rumah saya masih pakai yang kecil. Kalau yang sekarang saya pakai kan itu panjang, hampir 5 meter. Kalau yang di rumah paling hanya 1 meter saja. Mending mati, daripada buka turban, karena kita punya mahkota ya ini. Wibawa kami itu ini (turban)," kata Jaspal saat ditemui kumparan pada Minggu (14/8) di Sikh Temple Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Jaspal merupakan penganut Sikh yang menggunakan turban sejak berusia 16 tahun. Menurutnya, orang yang sudah dibaptis hanya boleh melepas turban jika berada di rumah. Bahkan tak sedikit pula yang tetap menggunakan turban dalam bentuk yang lebih kecil saat di rumah.
ADVERTISEMENT
Pilihan itulah yang juga menyebabkan Jaspal harus menghadapi bentuk-bentuk diskriminasi . Ketika ia duduk di bangku sekolah, misalnya, Jaspal pernah diperintahkan oleh gurunya untuk melepas turban tersebut. Ia pun menolak dengan keras. Nah, hal itu pun terulang lagi pada anaknya.
Anak Jaspal yang sedang duduk di bangku sekolah pernah mengalami perlakuan tak mengenakan dari seorang guru yang juga memiliki keturunan darah India . Jaspal menceritakan bahwa turban yang dikenakan anaknya tiba-tiba dipegang oleh guru tersebut. Lantas, dengan berani sang anak langsung memukul guru itu lantaran dianggap tidak sopan.
"Waktu itu anak saya juga pernah diperlakukan tidak enak sama guru. Dia orang India juga, mungkin dia ada masalah pribadi, anak saya tiba-tiba turbannya dipegang sama dia, kemudian langsung dipukul sama dia. Pernah waktu itu sekali, tapi akhirnya dia minta maaf. Saya ini sebenarnya tidak suka ribut, pertama kalau ada yang ngajak ribut, harus diperingati, kemudian dipeluk, ketiga enggak perlu diingetin lagi, tahu sendiri," jelas Jaspal.
ADVERTISEMENT
Kesulitan dalam memakai turban di kehidupan sehari-hari rupanya tak hanya terjadi di sekolah. Jaspal juga bercerita bahwa dirinya harus sering berhadapan dengan pihak Kepolisian dan pegawai imigrasi gara-gara pakai turban.
"Saya kalau naik motor tidak pakai helm, sering ribut sama polisi karena enggak pakai helm. Terus mereka bilang, coba muat enggak pakai helm, saya bilang enggak, terus disuruh coba copot itu (turbannya). Saya jawab coba bapak suruh yang pakai kerudung buka dulu, mau enggak mereka, kalau mau, baru saya mau," jelas Jaspal.
Selain kerap adu mulut karena turban, Jaspal juga seringkali mendapat momen unik saat berada di tempat umum. Penampilannya yang tak biasa kerap disangka pemuka agama Islam.
ADVERTISEMENT
"Saya sering dipanggil Pak Haji, terus dibilang Assalamualaikum, AllahuAkbar. Terus saya respon balik saja, 'Allahuakbar, Waalaikumsalam'. Kita saling menghormati saja. Setiap lewat masjid misalnya, ya. saya sambil nunduk, begitu juga kalau lewat gereja," jelas Jaspal.
Pada dasarnya, Turban memang juga dikenal di kalangan umat Islam. Nabi Muhammad SAW yang hidup pada tahun 570–632 Masehi pun sudah menggunakannya. Meski begitu, Kristen dan Yahudi sebetulnya juga sudah lebih lama lagi mengenal turban.
Turban di mata agama Yahudi, misalnya, digunakan oleh para pendeta sebagai bentuk ketundukan pada Sang Pencipta. Kepala yang telanjang tanpa penutup dianggap sebagai bentuk kekurangajaran pada Tuhan.
Perintah penggunaan turban tercatat dalam kitab suci Exodus (29:6) yang mengatakan:“Put the turban on his head and attach the sacred emblem to the turban.”
ADVERTISEMENT
Namun pada abad ke-7, umat Kristen dan Yahudi yang berada dalam kekaisaran Islam, bersepakat untuk tidak menyerupai umat Muslim. Salah satunya dalam cara berpakaian, termasuk penggunaan turban.
Pendeta Yahudi di daerah-daerah lain masih mengenakan turban hingga setidaknya abad ke-20. Para pendeta kemudian mengganti turban dengan penutup kepala lain seperti kippah atau yarmulke.
Hal lain yang perlu dicatat, penggunaan turban bukan hanya di Timur Tengah, tapi juga di benua Afrika hingga Asia. Turban dikenakan karena berbagai alasan, seperti penanda status sosial atau sekadar tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi.