Penjelasan Guru Besar UII soal Diskusi 'Pemecatan Presiden'

2 Juni 2020 15:35 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Ni'matul Huda menunjukkan laporan dan aduan di Polda DIY. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Ni'matul Huda menunjukkan laporan dan aduan di Polda DIY. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Teror hingga ancaman pembunuhan menimpa Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Ni'matul Huda. Musababnya, polemik diskusi yang digelar Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Ni'ma sejatinya menjadi narasumber dalam diskusi tersebut jika tidak batal.
ADVERTISEMENT
Diskusi dengan tajuk awal 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' itu menuai polemik. Kemudian judul sempat diubah menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'. Meski judul diskusi sudah diubah, acara tetap batal demi alasan keamanan.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Bagas Pujilaksono Widyakanigara dianggap sebagai salah satu provokator. Tulisannya Bagas di salah satu media, menurut Ni'ma telah menjadi pemicu sederet teror. Dia merasa Bagas telah memfitnahnya akan melakukan makar.
Lalu apa sebenarnya materi yang akan dibawakan Ni'ma hingga Bagas 'tega' mengatakan Ni'ma makar? Padahal secara personal keduanya saling mengenal baik.
"Nggak ada kata makar, pandemi, dan kata Pak Jokowi juga nggak ada di TOR-nya," kata Ni'ma di Polda DIY, Selasa (2/6).
ADVERTISEMENT
Ni'ma menjelaskan bahwa awal puasa mahasiswa sudah menghubunginya. Diskusi yang diajukan saat itu soal penundaan Pilkada serentak. Ni'ma menolak waktu itu, alasannya dia bukan pakar di bidang itu.
Beberapa minggu berselang, mahasiswa kembali menghubunginya. Kali ini tema yang diangkat adalah bagaimana pemakzulan presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ni'ma menyanggupi karena itu memang bidang yang dikuasai Ni'ma sebagai profesor hukum tata negara.
"Saya mengatakan (diskusi) setelah Lebaran. Akhirnya ketemu tanggal 29 Mei itu. Kemudian dia mengirim flyer sekitar hari Selasa atau Rabu. Dan saya menyetujui," kata dia.
Beberapa hari berselang, Ni'ma meminta foto dirinya di poster diganti menjadi lebih jelas. Dia juga meminta di poster ditulis akan ada hadiah buku dari dirinya bagi para penanya. Ni'ma sendiri tidak tahu menahu tentang pemilihan judul diskusi baik yang awal maupun yang revisi.
ADVERTISEMENT
"Kalau terkait tema itu urusan panitia. Saya usul foto diganti dan saya akan beri hadiah buku bagi penanyanya. Hadiah buku saya tentang impeachment (pemakzulan)," katanya.
Pemakzulan presiden ini merupakan pembahasan yang lazim di Hukum Tata Negara. Toh dalam komunikasinya dengan mahasiswa tidak ada pembicaraan terkait Jokowi.
"Jadi nggak ada pembicaraan terkait pak Jokowi dalam komunikasi dengan mahasiswa. Nah saya nggak tahu kenapa dimasukkan kata-kata pandemi di dalamnya. Saya enggak bereaksi. Karena CLS adalah komunitas anak-anak yang konsen dengan hukum tata negara. Di tempat kami (UII) juga ada. Mereka itu mau launching lembaganya sekaligus bahas tentang impeachment," katanya.
Berdasarkan TOR diskusi, Ni'ma diminta untuk menjelaskan apa itu pemakzulan, sejarah pemakzulan, hingga bagaimana pemakzulan setelah amandemen UUD.
ADVERTISEMENT
"Makanya saya mau karena ini murni dan saya tahu panitianya makanya saya menyanggupi. Meskipun mengkritik kok saya mau. Karena saya kenal dan saya membimbing mereka selama dua tahun jadi kayaknya nggak mungkin kalau mereka akan menjerumuskan saya," katanya.
Dia menjelaskan teror kepada dirinya adalah hal yang tidak bisa dibenarkan. Tidak ada pretensi politik di dalamnya. Diskusi yang digelar murni diskusi keilmuan. Dia menjelaskan bangsa ini menjadi besar kalau ada kritisi di dalam kebijakan pemerintah.
"Kalau misalnya tidak ada kritik lantas siapa yang menyuarakan kritik terhadap kekuasaan mungkin yang salah. Kami pun ketika RUU KPK kami juga menyuarakan. Ketika pemerintah mengatakan pakai jalur hukum kami juga sudah mendaftarkan ke MK. Artinya prosedural saja," katanya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Presiden CLS UGM, Aditya Halimawan membantah bahwa diskusi ini tidak ada kaitan dengan makar. Adit sapaan akrabnya menjelaskan bahwa diskusi murni bersifat akademis tanpa ditunggangi agenda politik manapun.
"Tidak benar makar. Karena seperti klarifikasi kami, kami bersifat akademis kami tidak ditunggangi politik manapun maupun agenda politik manapun," kata Adit dihubungi, Jumat (29/5).
Lanjutnya, untuk penggantian judul dilakukan pihaknya untuk meluruskan persepsi di masyarakat. Mereka mengakui adanya kesalahan dalam pemilihan diksi yang tidak sesuai Undang-Undang Dasar.
"Nah kami mengganti itu supaya kami meluruskan sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Karena kacamata yang kami gunakan hukum ketatanegaraan sebagaimana komunitas kami," katanya.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
ADVERTISEMENT
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona