Penulis Indonesia ke Luar Negeri, Apa Untungnya?

14 Juni 2017 16:57 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Agus, Suharti, Novi, dan Laura. (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Agus, Suharti, Novi, dan Laura. (Foto: Utomo P/kumparan)
ADVERTISEMENT
“Indonesia punya penduduk 254 juta jiwa, masa penulis yang terkenal itu-itu saja?”
ADVERTISEMENT
Begitulah pernyataan yang dilontarkan oleh Suharti, Kepala Biro Kerjasama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di acara Konferensi Program Residensi Penulis 2017, Selasa (13/6) sore.
Maksud Suharti terkait ungkapan “penulis yang terkenal itu-itu saja” bisa jadi merujuk pada kondisi kurang dikenalnya karya-karya penulis Indonesia di pasar buku manacanegara.
Selama ini dunia internasional hanya mengenal sedikit nama penulis dari Indonesia. Sebut saja misalnya nama Pramoedya Ananta Toer atau yang biasa disapa Pram. Sampai saat ini boleh dibilang belum ada penulis generasi sesudah Pram di Indonesia yang bisa melampaui pencapaiannya di dunia internasional.
Publik di tanah air barangkali boleh merasa bangga karena belakangan ini dunia perbukuan dan penerbitan internasional mulai menyanjung-nyanjung nama Eka Kurniawan, penulis Indonesia lainnya. Di samping Eka beberapa karya penulis Indonesia lainnya juga mulai dialihbahasakan dan diterbitkan di negara-negara lain.
ADVERTISEMENT
Namun tetap saja jumlah karya Indonesia yang dikenal di luar negeri itu masih terhitung sedikit. Setidaknya begitulah yang dianggap oleh pihak Komite Buku Nasional (KBN) dan Kemendikbud sehingga mereka masih gencar mengadakan program-program untuk mengenalkan karya sekaligus sosok penulis nasional ke publik internasional.
Salah satunya adalah Program Residensi Penulis. Pada tahun 2017 ini KBN dan Kemendikbud kembali menggelar Program Residensi Penulis setelah tahun sebelumnya, 2016, mereka berhasil memberangkatkan 9 penulis dari tanah air untuk menjalankan riset dan kepenulisan di sejumlah negara.
Sembilan nama penulis yang telah menjalankan program residensi pada tahun lalu adalah Agustinus Wibowo, Ahda Imran, Andik Prayogo, Cokorda Sawitri, Djoko Lelono, Fadly Rahman, Martin Aleida, Faisal Oddang, dan Rio Johan.
ADVERTISEMENT
Adapun daftar negara yang mereka kunjungi adalah Belanda, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan Filipina. Masing-masing dari mereka mengunjungi salah satu negara itu selama satu hingga tiga bulan.
Proses Seleksi Penulis
Nama-nama yang berhak mengikuti Program Residensi Penulis merupakan hasil pilihan dari tim panitia seleksi yang dibentuk khusus. Tim panitia seleksi itu terdiri dari 5 orang yang berasal dari KBN maupun Kemendikbud.
Koordinator Literary Funding Program KBN, Dewi Noviami, mengatakan ada sejumlah aspek yang menjadi pertimbangan dalam menyeleksi para penulis itu, antara lain produktivitas para penulis dalam berkarya selama lima tahun terakhir, penghargaan yang pernah didapat, event internasional yang pernah mengundang atau didatangi oleh mereka mereka, kemampuan berbahasa asing, serta akses negara tujuan.
ADVERTISEMENT
“Ada pula perimbangan untuk keterwakilan daerah dan gender para penulis,” kata Novi.
Laura Prinsloo yang saat ini menjabat sebagai Ketua KBN menyebut, “Pada 2017 ini ada 345 aplikasi yang masuk dan terpilihlah 22 peserta dengan 1 orang mengundurkan diri.” Naik hampir dua kali lipat dari jumlah aplikasti tahun 2016 lalu yang hanya 195.
Laura dan Novi. (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Laura dan Novi. (Foto: Utomo P/kumparan)
Laura menambahkan, 5 dari 21 yang terpilih pada tahun 2017 ini adalah perempuan.
Nama-nama para penulis itu adalah A.S. Laksana, Avianti Armand, Azri Zakkiyah, Ben Sohib, Dea Anugrah, Debby Lukito Goeyardi, Dewi Kharisma Michellia, Kemala Atmojo, Koko Hendri Lubis, dan Kurnia Effendi.
Selain itu, ada pula nama-nama seperti M Aan Mansyur, Mario F. Lawi, Mona Sylviana, Naomi Srikandi, Ni Made Purnamasari, Norman Erikson Pasaribu, Nuril Basri, Tia Setiadi, Triyanto Triwikromo, Zaky Yamani, dan Zen Hae.
ADVERTISEMENT
Adapun 13 negara tujuan pada tahun ini adalah Amerika Serikat, Finlandia, Ceko, Polandia, Inggris, Belanda, Meksiko, Prancis, Portugal, Italia, Jerman, Australia, dan Vietnam.
Setelah menjalani program residensi ke salah satu negara di atas selama 1 hingga 3 bulan, para penulis itu diwajibkan untuk segera menyelesaikan naskah buku masing-masing sebagaimana yang mereka ajukan di awal dalam aplikasi mereka kepada pihak panitia.
Suharti berharap, para penulis Indonesia dapat bersikap baik dan membentuk jaringan baru selama di luar negeri. Sebab, mereka akan dianggap sebagai duta bangsa selama berada di negara tujuan.
Sementara itu Laura mengharapkan, “Semoga hasil buku yang ditulis (para peserta residensi) nantinya dapat diterbitkan dan dipromosikan oleh penerbit-penerbit asing.”
ADVERTISEMENT
Keuntungan Program Residensi bagi Penulis
Agustinus Wibowo sebagai salah satu peserta Program Residensi Penulis 2016 mengatakan, banyak manfaat yang ia terima dari program tersebut.
Penulis buku-buku narasi perjalanan yang akrab disapa Agus itu menyebut, Program Residensi Penulis telah memberikan wawasan yang begitu luas untuknya. “Banyak hal baru yang bisa didalami,” katanya.
Agustinus Wibowo. (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Agustinus Wibowo. (Foto: Utomo P/kumparan)
Dengan bantuan dana dari pemerintah Indonesia, Agus mengaku dirinya sangat terbantu dalam melakukan riset di luar. Surat-surat resmi dari pemerintah Indonesia juga telah membuka jaringan yang begitu luas selama ia berada di negara tujuan.
“Saya banyak berkenalan dengan profesor, peneliti dan antropolog di Belanda,” ujar Agus.
Agus menambahkan, “Program residensi ini benar-benar telah menumbuhkan kepercayaan diri saya untuk melakukan riset di luar negeri.”
ADVERTISEMENT