Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
“Rakyat jangan diintimidasi seperti dulu lagi. Jangan biarkan kecurangan pemilu yang akhir-akhir ini sudah mulai terlihat, terjadi lagi,” ujar Megawati Soekarnoputri, Minggu (12/11). Seruan Ketua Umum PDIP itu sudah tentu menyindir politisi ulung yang ia besarkan dan kini berpisah jalan dengannya: Presiden Joko Widodo.
Setelah beberapa waktu tak mengomentari perkembangan politik yang demikian dinamis dan bikin sebagian orang terkaget-kaget, Megawati akhirnya bersuara melalui video yang diunggah di akun YouTube PDIP. Ia tak menutup-nutupi ketidaksukaannya terhadap Jokowi , sang murid yang kini bak beralih rupa menjadi musuh.
Dalam pidatonya itu, Megawati menyoroti Mahkamah Konstitusi yang melalui putusannya akhirnya meloloskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres Prabowo Subianto.
“Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini telah menyadarkan kita semua, bahwa berbagai manipulasi hukum kembali terjadi. Itu semua akibat praktik kekuasaan yang telah mengabaikan kebenaran hakiki, politik atas dasar nurani,” ucap Megawati.
Pidato Megawati bak deklarasi perang . Ketua umum partai terbesar di Indonesia itu kini berhadapan dengan kader terbaiknya.
Sebelum statement “perang” Megawati itu pun, beberapa kader PDIP pun sudah aktif menyerang Jokowi. Sesudah pidato itu, cekcok antara PDIP dan kubu Prabowo—yang diyakini mendapat dukungan dari Jokowi—kian intens.
Sebelum pidato Megawati pun, keributan antara dua kubu kerap terjadi. Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo misalnya mengeluhkan beberapa polisi berseragam lengkap yang berpatroli di Kantor DPC PDIP pada 8 November. Menurut Rudy, itu tak wajar. Sebab, ia mendengar tak ada instruksi dari Kapolresta Solo soal penjagaan tersebut.
Rudy menganggap, patroli polisi di depan kantor PDIP bisa memicu opini liar di tengah masyarakat soal dugaan adanya intervensi aparat jelang Pilpres.
“Kalau ada perlakuan seperti ini, ya saya perlu menyampaikan ke pengurus partai tingkat atas (DPP PDIP). Apa maksudnya? Katanya tidak ada instruksi dari Kapolresta. Saya tidak mau terpancing untuk mengerahkan massa,” ucap Rudy.
Kapolresta Solo Kombes Iwan Saktiadi menyatakan, patroli tersebut merupakan upaya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Menurutnya, patroli tak hanya dilakukan di DPC PDIP, tapi juga kantor partai lain, serta Bawaslu dan KPU sebagai lembaga yang terkait langsung dengan pemilu.
“Kami tegaskan, Polri netral. Kalau dugaan apakah ada anggota kami yang berkomunikasi mengintimidasi, tidak ada. Jika dikatakan [kami] subjektif, kami minta maaf,” kata Iwan.
Sepekan kemudian, 15 November, Gerindra menyindir keluhan Rudy. Saat itu, di tengah rapat kerja Komisi III dengan Polri, legislator Gerindra Wihadi Wiyanto menuding ada upaya playing victim dengan kehadiran polisi di kantor partai.
“Kita harus jaga Polri. Jangan Polri dibuat seakan-akan ada orang yang play victim. Seperti kejadian di Solo itu, jangan-jangan juga play victim,” kata dia.
Pada hari yang sama, anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Hashim Djojohadikusumo, memuji kinerja Gibran sebagai Wali Kota Solo dan membandingkannya dengan kepala-kepala daerah PDIP yang menurutnya tak cukup kompeten.
Hashim mengapresiasi sikap tegas Gibran dalam menangani masalah gereja yang ditutup di Solo. Menurutnya, Gibran berani membuka segel gereja itu sehingga dapat kembali digunakan untuk beribadah. Lebih lanjut, Hashim menyindir Wali Kota Bekasi yang tak mampu menyelesaikan persoalan serupa.
“Di Bekasi ada gereja namanya HKBP Filadelfia. Waktu itu ditutup. Wali kotanya siapa? Wali kota dari PDIP, namanya Pak Mochtar Muhammad,” kata Hashim.
Sejauh ini, PDIP belum menanggapi ucapan adik Prabowo itu. Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud lebih banyak menyoroti kerja-kerja aparat pada masa pemilu. Wakil Ketua TPN Ganjar-Mahfud, Jenderal (Purn) Andika Perkasa, misalnya, menyatakan mendapat tekanan dari sejumlah pihak untuk memenangkan calon tertentu saat ia menjabat sebagai KSAD pada Pilpres 2019.
“Tinggal kita memilih, mau ditekan atau enggak. Saya pastikan, pada 2019 saya tidak memberikan perintah apa pun untuk memenangkan salah satu calon walaupun ada tekanan yang cukup berat,” ujar Andika tanpa menyebut gampang siapa pihak yang menekannya.
Ari Junaedi, doktor komunikasi politik yang pernah bergabung dengan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 pun mengatakan bahwa penggunaan aparatur negara untuk memenangkan pemilu bukan hal baru.
“Saya dulu Wakil Direktur Komunikasi dan Informasi di TKN Jokowi. Jadi saya paham betul bagaimana aparat-aparat itu digunakan. Waktu dulu (Pilpres 2019) juga mereka ‘digarap’ penuh oleh Pak Jokowi,” tutur Ari beberapa waktu lalu kepada kumparan.
Masih soal aparat, Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud Aiman Witjaksono melalui video yang diunggah di akun Instagram pribadinya, Jumat (10/11), mengatakan bahwa ada personel polisi yang diminta komandannya untuk membantu memenangkan Prabowo-Gibran.
Atas pernyataannya itu, Aiman dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh pihak yang menamakan diri Aliansi Elemen Masyarakat Sipil untuk Demokrasi. Aiman dituding bicara tanpa sumber fakta yang jelas.
Aiman pun tak habis pikir. “Ini aneh juga ya, karena saya hanya menyebutkan oknum. Dugaan oknum polisi. Di luar sana, banyak orang bicara sama saya [soal itu], tapi kenapa yang dilaporkan hanya saya?”
Bukan cuma Aiman dari kubu Ganjar yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Per 13 November, PMJ telah menerima enam laporan terkait para anggota TPN Ganjar-Mahfud. Sebelum Aiman, telah lebih dulu dilaporkan adalah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan politisi PDIP Adian Napitupulu.
Hasto dilaporkan atas pencemaran nama baik terhadap Presiden Jokowi, sedangkan Adian dilaporkan atas tuduhan penggiringan opini masyarakat terhadap Presiden. Laporan-laporan ini dianggap TPN sebagai ancaman bagi pihak-pihak yang mencoba menyuarakan netralitas aparat dalam pemilu, termasuk mereka.
“Ini semacam upaya untuk menakut-nakuti publik yang ingin menyuarakan kecurangan atau ketidaknetralan aparat,” kata Jubir TPN Chico Hakim.
Menurut TPN, amat mungkin ancaman terhadap mereka bakal meningkat seiring waktu, terutama mendekati masa kampanye. Untuk saat ini, TPN akan membuat posko di setiap daerah untuk mengawasi potensi kecurangan pemilu.
“Kami ingin supaya [masyarakat] jangan takutlah dengan tindakan-tindakan represif. Jangan takut dengan intimidasi. Ini bagian dari perjuangan kita untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia,” kata Chico.
Sebaliknya, Gerindra menganggap narasi aparat tak netral ini sengaja terus-menerus digaungkan oleh pihak yang merasa kepentingannya terganggu.
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Prof. Firman Noor berpendapat, ada keprihatinan yang sama-sama dirasakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk budayawan hingga aktivis. Kondisi ini lantas ditangkap PDIP yang kini berbeda perahu dengan Jokowi.
PDIP yang di atas kertas masih partai berkuasa, kemudian malah muncul sebagai kekuatan yang kini melawan penguasa. Mereka berubah sikap karena Jokowi tak lagi berada di “kandang banteng”.
“Serangan-serangan yang dilancarkan PDIP, selain terkait kepentingan moral, juga terkait konteks pertarungan elektoral, khususnya pilpres,” ucap Firman.
Ia melihat, PDIP hendak menciptakan musuh bersama. Awalnya, gangguan hanya dirasakan kubu Anies-Muhaimin (AMIN). Mereka misalnya beberapa kali gagal menggelar acara publik, seperti yang terjadi di Bandung dan Bekasi.
Namun, sejak Gibran jadi cawapres Prabowo, kubu Ganjar-Mahfud juga merasakan halangan yang sama, misalnya pencopotan baliho di Bali menjelang kunjungan Presiden.
Pencopotan baliho dan alat peraga kampanye PDIP juga terjadi di Yogya sebelum kedatangan Ganjar. Pembongkaran baliho itu memicu demonstrasi dari Aliansi Relawan Ganjar-Mahfud ke Satpol PP. Pada titik ini, kubu Ganjar mulai merasa mengalami gangguan berulang.
“Kalau kemudian keduanya (kubu Anies dan Ganjar) menjadi victim, kan bisa memunculkan common enemy,” ucap Firman. Dan jika komunikasi berlanjut, tak menutup kemungkinan tercipta kesepakatan politik.
Namun, belum tentu serangan ofensif dan upaya menciptakan musuh bersama ini menguntungkan PDIP, sebab tak jarang terjadi, pihak yang terus-menerus diserang justru memenangi pemilu. Seperti halnya Jokowi yang pada dua pemilu terdahulu disebut sebagai keturunan anti-Islam dan keturunan PKI, tapi tetap memenangi pemilu.
“Belajar dari 2014-2019, yang menang itu yang mendapat serangan ofensif,” kata konsultan politik dan founder Cyrus Network Hasan Nasbi.
Di sisi lain, PDIP menyebut tak bakal melakukan cara-cara curang untuk memenangi pemilu.
“Semakin ditekan dan dicurangi, petugas-petugas partai kami semakin semangat. Kami akan lakukan cara-cara yang sesuai koridor demokrasi,” tutup Chico.