Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pleasure Squad dan Nasib Muram Perempuan Korea Utara
14 Juli 2017 14:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Korea Utara. Ibarat negeri dongeng, penuh misteri. Berjarak 5.388 kilometer dari Jakarta, ia seolah tak terjamah. Di antara negara-negara tetangga, Korea Utara seperti sang liyan yang kerap jadi bahan olokan.
ADVERTISEMENT
Potret muramnya kehidupan di Korea Utara, silih berganti seperti potongan-potongan berita kriminal di Koran Lampu Hijau. Termasuk apa yang terjadi pada perempuan di sana.
“Perempuan dianjurkan untuk tidak mengunjungi siapapun pada tanggal 1 Januari, karena dianggap akan membawa sial. Kesialan juga dipercaya akan datang jika pengunjung pertama tokomu adalah seorang perempuan,” tulis Je Son Lee pada 2015, dikutip dari The Guardian .
Je Son Lee, yang meninggalkan Korea Utara pada 2011, menceritakan bagaimana superiotas laki-laki begitu nyaring dan memekakkan perempuan.
“Setiap pagi laki-laki akan pergi keluar rumah untuk bekerja meski tidak dibayar. Mereka pikir, hal yang pantas dan ideal adalah laki-laki yang tunduk pada aturan Partai Buruh (Worker’s Party of Korea/WPK) meskipun keluarga mereka tidak memiliki makanan dan kelaparan.”
ADVERTISEMENT
Selama anak dan istri tidak melanggar aturan partai, maka laki-laki dianggap telah melaksanakan tugas dengan baik. Sementara urusan dapur mengepul hingga perut kenyang, ada di tangan perempuan. Reuters melansir bahwa 70 persen pendapatan rumah tangga di Korea Utara dihasilkan oleh perempuan.
Walau begitu, perempuan di sana tetaplah makhluk lemah yang harus tunduk patuh dan nrimo, termasuk kekerasan domestik yang mungkin ia terima.
Tidak, pemerintah Korut tak mau repot-repot ikut campur urusan rumah tangga, sekalipun itu urusan kekerasan.
Gembar-gembor kesetaraan gender, menurut Je Son Lee, telah digaungkan jauh sebelum Korea Selatan. Tapi itu bukan demi perempuan itu sendiri.
Son Lee menulis, “Motif mendorong perempuan untuk bekerja itu sekadar untuk membangun perekenomian setelah Perang Korea.”
ADVERTISEMENT
Pengakuan mengejutkan lain muncul dari Lee So-yeon, bekas tentara perempuan Korea Utara yang kini menjadi perwakilan Persatuan Perempuan. Dikutip dari The Independent, ia menyatakan kekerasan seksual adalah umum dialami oleh tentara perempuan Korut.
Dalam salah satu konferensi, So-yeon mengatakan, “Dari 120 orang tentara di unitku, hanya ada 20 orang laki-laki. Tapi mereka semua berpangkat tinggi. Aku berada di Skuat 1, beberapa pemimpin regu di Skuat 2 memerkosa setiap prajurit perempuan yang berpangkat lebih rendah darinya.”
Martabat perempuan?
Lupakan. “Tidak ada konsep semacam itu dalam militer Korea Utara,” ujar So-Yeon pada 2016.
Catatan sejarah Korea Utara menunjukkan hal itu. Di negeri itu, pemerintah merekrut perempuan-perempuan muda untuk menjadi penghibur dan pemuas libido para tentara lelaki.
ADVERTISEMENT
Kippumjo atau Gippeumjo, yang berarti Pleasure Squad atau Joy Division, dibentuk di masa pemerintahan Kim Il Sung tahun 1978. Lee Dong Ho, Wakil Direktur Departemen Persatuan WPK, adalah orang pertama yang merekrut hampir 2.000 perempuan muda untuk menjadi penghibur.
Perempuan-perempuan itu kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok, yakni Manjokjo yang menyediakan layanan seksual, Haengbokjo yang bertugas memijat, dan Gamujo sebagai penari dan penyanyi.
Perempuan-perempuan muda berusia 22 hingga 25 tahun itu haruslah tanpa cacat atau bekas luka, dan tentu saja perawan. Mereka akan dilatih dan diwajibkan merahasiakan semua kegiatan mereka hingga jumlah uang yang mereka terima.
Pada 2011, kelompok Pleasure Squad ini pernah dibubarkan oleh Kim Jong Un setelah kematian Kim Jong Il.
ADVERTISEMENT
Jong Un yang tidak percaya pada siapapun, saat naik takhta, memerintahkan penyelidikan secara menyeluruh terhadap pejabat tertinggi hingga terendah. Hingga ia akhirnya memutuskan untuk membubarkan Pleasure Squad setelah 33 tahun anggotanya melayani para anggota militer Korea Utara.
Menurut pemberitaan yang beredar seperti dikutip dari Fox News, para anggota Pleasure Squad diberi uang 4.000 dolar AS sebelum dikembalikan ke kampung halaman masing-masing.
Pembubaran Pleasure Squad tak bertahan lama. April 2015, Jong Un dikabarkan mulai tertarik untuk membentuk kembali kelompok perempuan penghibur untuk para elite pimpinan Korea Utara.
ADVERTISEMENT
Deputi Asia Human Rights Watch , Phill Robertson, pada April 2017 mengatakan, “Kenyataan yang menyakitkan bahwa hampir tiap hari perempuan di Korea Utara mengalami diskriminasi gender dan kekerasan, baik di tempat kerja maupun di rumah, hingga pelecehan dan kekerasan seksual, namun pemerintah tidak melakukan apapun untuk menghentikan hal itu.”
Kesedihan tak berujung. Begitulah nasib perempuan Korea Utara.