Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Patok kecil dan pohon pisang tertancap di satu gundukan tanah di pekuburan umum Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Onggokan tanah itu bertabur kembang warna-warni. Itulah makam Novia Widyasari Rahayu , mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya yang mengakhiri hidupnya pada 2 Desember 2021.
Hingga seminggu kemudian, Kamis (9/12), masih tampak orang bergantian berziarah ke makam perempuan yang kisah perih hidupnya menyedot perhatian publik. Mereka yang pernah mengenalnya berduka, sedangkan sebagian lainnya bertanya-tanya: mengapa Novia mengambil jalan pintas? Namun, sesungguhnya, tak ada jalan pintas bagi Novia.
Novia telah berhari-hari dan berbulan-bulan berjuang. Ia melalui pergolakan panjang. Ia bukan anak yang ketika punya masalah langsung menyerah keesokannya. Ia sejak lama mencoba mengatasi persoalan yang membelit jiwanya. Novia mencari bantuan. Ia mengadu, bercerita, dan berobat. Ia mencari pertolongan.
Tak semua orang yang menjadi korban kekerasan seksual berani mengadu. Usaha Novia mencari bantuan terlihat setidaknya mulai tahun 2017. Kepada sahabat karibnya sejak SMP, Keyko (bukan nama sebenarnya), Novia mengaku sakit dan sedang mencari psikiater.
Belakangan, Universitas Brawijaya mengungkap bahwa Novia mengalami pelecehan seksual oleh kakak tingkatnya pada 2017 dan pernah diberi konseling oleh Unibraw.
Menurut Keyko, teman-teman Novia menjauh karena masalah di kampusnya itu. Pelaku pelecehan tidak dikeluarkan, hanya diskors setahun lalu kembali kuliah dan lulus. Sebaliknya, Novia depresi, sempat terlihat sembuh, dan terjatuh lagi.
Tahun 2017 itu, Keyko mencoba menghibur Novia. Mereka kemudian bertemu tahun 2018. “Dia pernah histeris, teriak-teriak di mal,” ujar Keyko.
Ia mengajak Novia jalan-jalan ke sebuah mal di Surabaya, juga mengajaknya joging pagi-pagi, atau sekadar berfoto-foto. Pokoknya, melakukan apa saja bersama, sebab setahu Keyko, Novia bisa dihibur dengan cara-cara sederhana seperti itu.
Di mata Keyko, Novia tampak perlahan pulih. Waktu berjalan dan ia mulai melupakan masalahnya. Novia lalu bertemu Randy Bagus, seorang polisi di Polres Pasuruan yang kemudian memacarinya tahun 2019. Sampai di sini, dunia Novia kembali jungkir balik.
Sejak berpacaran dengan Randy, Novia mengurangi interaksi dengan sahabat-sahabatnya. Novia yang dulu dikenal ceria dan suka berteman jadi menutup diri. Keyko mengatakan, Randy seperti mengekang Novia dengan tak membolehkannya berhubungan dengan teman-temannya.
“Teman-temannya di-unfollow semua. Yang di-follow cuma si Randy. Mereka waktu itu emang bucin pol,” kata Keyko kepada kumparan, Rabu (8/12).
Ia saat itu tak berpikiran macam-macam. Ia kira Novia telah menemukan cinta sejatinya.
Nyatanya, tidak demikian. Dunia Novia runtuh lagi. Ia punya masalah besar dengan kekasihnya. Randy kini mendekam di penjara atas dugaan pemaksaan aborsi. Selama mereka menjalin hubungan, Novia dua kali mengaborsi kandungannya, depresi berat, hingga mengakhiri hidupnya—yang tidak sekonyong-konyong.
Upaya Novia
Novia bukannya mendiamkan persoalannya. Ia mengadu ke dua lembaga bantuan hukum, Komnas Perempuan, dan mengikuti konseling di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Mojokerto.
Semua itu diungkapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Pada 15 Agustus 2021, Novia melayangkan form pengaduan ke Komnas Perempuan .
Kepada Komnas Perempuan, Novia bercerita secara kronologis apa yang ia alami bersama Randy. Mei 2020, saat kehamilan pertama, Novia diminta Randy menggugurkan kandungan dengan minum obat dan jamu-jamuan. Novia sempat menolak permintaan itu.
Novia juga sempat dibawa kebut-kebutan naik mobil oleh Randy saat keduanya jalan-jalan ke Jakarta, Surabaya, dan Malang.
“Kemudian dia pendarahan empat hari berturut-turut. Dia ditemani bidan ke dokter. Ketika diperiksa dokter, dinyatakan keguguran,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada kumparan, Kamis (9/12).
Novia trauma dan menyendiri di Malang. Randy mendatanginya dan mengatakan tak bisa melanjutkan hubungan mereka lantaran ia tak direstui orang tuanya.
Novia marah dan depresi. Setelah keguguran, ia malah ditinggal Randy. Novia jadi menyakiti diri sendiri.
“Dia memukul-memukulkan batu ke kepala sampai telinganya berdarah, kemudian dirawat. Dia mendapatkan perawatan dua jam di rumah sakit,” ujar Siti.
Hubungan Novia dan Randy lalu sempat merenggang. Mereka menjauh. Novia bercerita bahwa Randy punya hubungan dengan perempuan lain. Dalam pengaduan kronologisnya, Novia menegaskan bahwa ia ingin putus dengan Randy. Tapi, menurutnya, Randy tak mau memutuskan dia. Malahan, hubungan keduanya kemudian membaik.
Salah satu sumber kumparan mengatakan, Novia pada periode ini berhubungan cukup baik dengan keluarga Randy. Ia, misalnya, berbincang berkala dengan ayah Randy via chat.
Saat Randy menjalani pendidikan kepolisian di Bandung pada Maret 2021, Randy pun sempat menemani Novia berobat ke psikolog. Novia ketika itu didiagnosa mengalami gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan kelainan psikosomatik.
Gangguan OCD membuat seseorang ingin melakukan sesuatu terus-menerus lantaran ia ketakutan dan tertekan. Sementara kelainan psikosomatik membuat orang yang mengidapnya didera keluhan fisik akibat pengaruh pikiran atau emosinya.
Empat bulan kemudian, perubahan drastis terjadi pada Novia.
Juli 2021, ayah Novia meninggal. Pada bulan yang sama, Novia mengetahui bahwa ia hamil lagi. Ia menyampaikan kabar ini ke keluarga Randy. Randy pun sempat minta dinikahkan dengan Novia. Namun permintaan itu ditolak oleh keluarga Randy.
Dua bulan kemudian, Novia dipaksa aborsi. Ia jatuh kian dalam ke jurang depresi.
“September 2021 terjadi pemaksaan aborsi. Oktober 2021 terjadi pertengkaran; Novia tidak bisa menghubungi pelaku (Randy) dan keluarga pelaku,” ujar Siti menjelaskan runutan masalah yang diadukan Novia.
Aborsi disebut Komnas Perempuan terjadi pada bulan September, sedangkan polisi mengatakan di bulan Agustus.
Pengaduan Novia ke Komnas Perempuan bukan yang pertama. Sebelumnya, ia juga mengadu ke dua lembaga bantuan hukum, lalu mendapat masukan untuk melaporkan Randy ke Propam Polri. Belum diketahui apakah saran ini sempat ia lakukan atau tidak.
Novia punya dua harapan kepada Komnas Perempuan: pertama, meminta bantuan mediasi untuk menyelesaikan masalah dengan Randy karena ia tak bisa menghubungi Randy dan keluarganya setelah 24 Oktober 2021; kedua, meminta bantuan konseling.
Komnas Perempuan yang tak punya mandat langsung untuk menangani kasus akhirnya pada 18 November merujuk Novia ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Mojokerto untuk konseling.
Novia sempat menghadiri dua dari tiga sesi konseling yang dijadwalkan. Namun, sesi ketiga ia lewatkan. Pada 29 November, Novia dibawa ibunya ke rumah sakit jiwa. Di sana, ia diberi obat. Tiga hari kemudian, 2 Desember, ia meninggal di makam ayahnya.
“Anaknya ini sudah tertekan sekali—sangat berat. Berkali-kali saya mencegahnya untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan—mengakhiri hidup,” kata ibunda Novia, Fauzun Safaroh, dalam sebuah rekaman video yang diterima kumparan, Minggu (5/12).
Bom Waktu bagi Korban
Setelah Novia meninggal, terungkap bahwa aduannya ke Komnas Perempuan butuh waktu 2,5 bulan hingga direspons. Aduan masuk pada 15 Agustus, dan baru direspons pada 4 November. Mengapa ada jeda begitu lama?
Menurut Siti, Komnas Perempuan memang menerima antrean laporan kekerasan terhadap perempuan hingga dua bulan. Ini karena kapasitas sumber daya penerimaan dan verifikasi pengaduan di Komnas Perempuan hanya bisa menampung 200–300 kasus per bulan dengan hanya 4 pesawat telepon penerima aduan.
Padahal, pengaduan yang masuk mencapai 500–800 kasus per bulan atau dua kali lipat dari kesanggupan Komnas Perempuan. Sungguh tak sebanding. Baru pada September 2021, pesawat penerima aduan bertambah menjadi 6 alat.
“Rata-rata 100 pengaduan (untuk) setiap orang (petugas),” kata Siti.
Keterbatasan itu, menurut Komnas Perempuan, membuat layanan pengaduan menjadi bom waktu bagi korban. Belum lagi ada proses verifikasi yang butuh waktu, seperti yang terjadi pada Novia.
Siti mengatakan, selama ini masyarakat mengira Komnas Perempuan bisa menangani masalah pengaduan kekerasan terhadap perempuan secara langsung. Ini karena Komnas membuka form pengaduan berdasarkan permintaan masyarakat. Padahal sesungguhnya Komnas Perempuan tak memiliki mandat penanganan kasus.
“Kami membentuk unit pengaduan dan rujukan di bawah subkomisi pemantauan yang bertugas memantau dan mendokumentasikan kasus. Nah, kasusnya itu sendiri dirujuk ke lembaga layanan, baik yang berbasis negara maupun berbasis komunitas,” ujar Siti.
Namun, hal itu tak diketahui umum. Contohnya, bila kita mengetikkan “kekerasan seksual” pada kolom pencarian Twiiter, ia bakal memberi rujukan agar pengguna melaporkannya ke LBH Apik dan Komnas Perempuan. Padahal mandat penanganan aduan kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya ada di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 tentang Kemen PPPA pasal 3 huruf d menyebutkan bahwa kementerian itu menyediakan layanan rujukan akhir bagi korban perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional.
Fungsi itu membuat Kemen PPPA memiliki layanan pengaduan yang dinamakan SAPA dengan nomor call center 129 dan hotline WhatsApp di 08111 129 129. Layanan ini baru diluncurkan Maret 2021 dan—menurut Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kemen PPPA Margareth Robin Korwa—tersedia 24 jam.
Pun begitu, call center SAPA juga memiliki problem antrean karena petugas penerima aduan yang terbatas hanya tiga orang, dan kadang ada telepon masuk namun tak terdengar berbunyi di call center sehingga ini menjadi bahan evaluasi.
Siapa saja yang bisa melaporkan pengaduan kekerasan terhadap perempuan?
“Siapa saja yang melihat dan mendengar kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk korban sendiri. Silakan telepon. Kalau tidak mau telepon, hubungi WhatsApp (hotline),” kata Margareth.
Apa saja layanan yang bisa diakses?
“Enam layanan dasar: 1) pengaduan masyarakat, 2) penjangkauan korban, 3) pengelolaan kasus, 4) akses penampungan sementara (rumah aman), 5) layanan mediasi, dan 6) pendampingan korban,” tutur Margareth.
Respons yang diberikan usai pengaduan dilayangkan, menurut Margareth, tergantung pada jenis aduan.
Bagaimana andai pelapor atau korban minta dimediasi?
“Kami akan melakukan pendekatan kepada keluarga untuk melihat peluang atau solusi terbaik dari masalah yang mereka hadapi, tetapi kami tidak memaksakan pilihan,” kata Margareth. Sementara soal layanan yang diinginkan, itu terserah korban.
Mengadu ke Mana?
Tak jarang perempuan yang menjadi korban kekerasan bingung: ke mana harus mengadu? Atau: menelepon ke layanan pengaduan yang mana?
Menurut Margareth, layanan pengaduan di luar Kemen PPPA yang berbasis organisasi maupun komunitas sangat membantu karena kementerian tak bisa sendirian menangani kasus-kasus tersebut.
Oleh sebab itu, Margareth menyarankan agar pengaduan dilayangkan kepada pihak atau lembaga layanan terdekat. Berikut beberapa langkah yang ia rekomendasikan ketika perempuan mengalami masalah atau kekerasan:
Selain nomor di atas, bisa juga menghubungi hotline Love Inside Suicide Awarenesss (LISA) di 0811 3855 472 yang tersedia 24 jam.
Jangan sampai ada Novia-Novia lain. Novia yang mengisi hari-hari terakhirnya dengan amat perih.