Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tulisan tangan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di lembar disposisi pelatihan penyidik tertanggal 1 Maret 2019 berujung gemuruh.
Syarif ingin menghapus ketergantungan KPK dari tenaga profesional lembaga lain dengan merotasi 24 penyelidik internal KPK menjadi penyidik di lembaga itu. Salah satu tahap rotasi itu adalah pelatihan penyidik.
Penyelidik dan penyidik yang sama-sama berada di bawah Deputi Penindakan KPK memiliki fungsi berbeda. Penyidik berwenang menangkap, menahan, menggeledah, dan menyita. Sementara penyelidik sebatas menerima laporan, mencari barang bukti, dan menghentikan pemeriksaan identitas.
“KPK harus mandiri secara SDM agar tidak tergantung terus pada institusi lain. Dan proses rotasi ini adalah untuk memenuhi tujuan tersebut,” tulis Laode.
Penyidik KPK yang berasal dari kepolisian pun tersinggung. Tulisan tangan itu menjadi bagian dari polemik baru di tubuh KPK: perebutan dominasi posisi penyidik antara penyidik independen dengan penyidik asal kepolisian.
“Lembar disposisi itu sudah menunjukkan ada diskriminasi untuk penyidik dari kepolisian. Belum lagi prosesnya yang tidak sesuai peraturan,” ungkap sumber kumparan di internal KPK ketika ditemui di Jakarta, Jumat (3/5).
Seharusnya pemindahan penyelidik menjadi penyidik tidak dilakukan melalui rotasi karena beda fungsi di antara dua jabatan tersebut. Sesuai Pasal 1 Ayat 4 Peraturan Pimpinan KPK Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karier di KPK, rotasi dilakukan untuk perpindahan pegawai di kedeputian/kesekjenan yang sama dengan fungsi yang sama.
Polemik tersebut sudah terjadi sejak akhir 2018. Nota Dinas Kedeputian Bidang Pencegahan Nomor 349/ KP.02.01/10-17/11/2018 yang didapat kumparan menyebutkan Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan menyarankan pelatihan calon penyidik KPK dari penyelidik muda dengan pengalaman dua tahun.
Nota tersebut dilanjutkan dengan pemberian daftar 24 penyelidik yang akan ikut serta dalam pelatihan. Rencananya mereka akan dilatih sekitar tiga minggu untuk menguasai teknik penyidikan.
Pada 28 Januari 2019, Deputi Penindakan KPK Firli mengirimkan nota keberatan atas rencana rotasi penyelidik menjadi penyidik itu. Alasan yang mendasari adalah Pasal 1 Ayat 4 Peraturan Pimpinan KPK Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karier di KPK.
Pasal itu menyebutkan rotasi adalah perpindahan jabatan di satu kedeputian/sekjen untuk tugas dan fungsi yang sama. Padahal fungsi penyelidik dan penyidikan berbeda. Mestinya penambahan penyidik tidak dilakukan dengan rotasi, tetapi mutasi.
“Sedangkan kami belum pernah membahas dan belum pernah mengusulkan 24 calon penyidik yang bersumber dari penyelidik tersebut,” tulis Firli.
Surat keberatan Firli dibalas oleh oleh lima pimpinan KPK melalui disposisi. Mereka memberikan jawaban berbeda. Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menuliskan untuk tetap melanjutkan rotasi.
Pada lembar disposisi itulah tertera tulisan tangan Syarif soal KPK tidak ingin tergantung pada lembaga lain.
Selain balasan dari Agus dan Syarif, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menuliskan agar Sekjen KPK menindaklanjuti; Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menuliskan agar penyelidik senior menjadi penyidik, tapi tetap ditempatkan di bawah Direktorat Penyelidikan; sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tak memberikan pendapat.
Usai membaca disposisi Syarif, beberapa penyidik asal kepolisian meminta digelar pertemuan dengan dengan pimpinan KPK . Mereka ditemui Marwata yang menjanjikan akan mengadakan pertemuan dengan pemimpin KPK lainnya. Tetapi ternyata janji tersebut tak berwujud hingga pelatihan penyelidik menjadi penyidik dimulai pada 11 Maret 2019.
Polemik terus berlanjut seiring rotasi berlangsung. Kali itu protes diajukan penyidik asal kepolisian melalui poster yang ditempel di seluruh tembok pengumuman KPK, dari kantin hingga dinding lift di 18 lantai Gedung Merah Putih KPK. Poster protes itu dipasang mulai 16 April, kemudian sempat dirobek karena tidak berizin, meski lalu dipasang kembali.
“Yang dirobek masih kertas biasa yang ditempel, lalu diganti dengan stiker (protes) besar,” ucap sumber di internal KPK.
Isi poster itu mengingatkan soal rotasi yang melanggar Peraturan Pimpinan KPK Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karier di KPK. Apalagi perbedaan fungsi penyelidik dan penyidik di aturan itu berkaitan dengan Peraturan KPK Nomor 3 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan KUHAP.
Artinya, pelanggaran proses rekrutmen penyidik dapat merembet menjadi kelemahan penyidik tersebut dalam menangani kasus korupsi. Kewenangan penyidik baru itu rentan digugat praperadilan. Penyidik pun berisiko diancam pidana penyalahgunaan kewenangan.
Itu pula yang menyebabkan sumber di KPK berkata, “Saya tahu tujuannya (rotasi) untuk memperkuat. Tetapi jika caranya tidak benar, maka secara tak sadar akan melemahkan. Apa teman-teman (KPK) sudah siap menghadapi risiko ini?”
Menurutnya, seleksi penyidik seharusnya lebih ketat karena menyangkut kewenangan, tanggung jawab, dan strategi yang rumit. Di kepolisian saja, ujar dia, proses pendidikan penyidikan berlangsung lebih lama.
“Di Akpol (Akademi Kepolisian) itu baru dasar penyidikan saja masih dilanjutkan di Pendidikan Pengembangan Spesialisi selama tiga bulan, ditambah short course, dan pastinya ada tes dan seleksi,” ujar sumber itu.
Protes tak berhenti di poster tembok. Penyidik asal kepolisian mengirim surat terbuka berisi cacat rotasi itu. Mereka juga memapar kronologi rencana rotasi dan menuding Wadah Pegawai KPK (WP) berada di belakang ide itu.
Menurut surat itu, WP mengumpulkan beberapa calon penyidik dan memberi pesan agar mereka berani bersuara ketika duduk sebagai penyidik di ruangan penyidik, Lantai 9 Kantor KPK.
Sumber kumparan lain di jajaran penyidik asal kepolisian menyebutkan, WP telah bermanuver hingga menekan pemimpin KPK. Sikap itu, menurutnya, melampaui fungsi WP.
“WP itu seperti serikat pekerja, kok turut campur soal rotasi. Ini kan enggak benar,” ucap dia.
Tak hanya lewat surat terbuka, penyidik KPK asal kepolisian juga melayangkan surat kepada Presiden RI soal keberatan rotasi itu dan mengkritik sepak terjang Wadah Pegawai KPK.
Mantan penyidik KPK asal kepolisian bahkan menyurati pemimpin KPK April lalu. Sebut saja mantan Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman dan Suedi Husein. Mereka keberatan dengan tulisan tangan Syarif di lembar disposisi.
Walau begitu, rotasi penyelidik ke penyidik terus berlanjut. Setelah pelatihan diselesaikan, dari 24 penyelidik yang terdaftar, hanya tersisa 21 orang yang dilantik.
Berdasarkan informasi yang diterima kumparan, tiga penyelidik yang tak dilantik ternyata tak mengikuti pelatihan karena sakit. Maka, 21 penyelidik yang merampungkan pelantikan diangkat sumpah menjadi penyidik pada 23 April 2019.
Syarif menyatakan, pimpinan tak bermaksud menghilangkan penyidik asal kepolisian di KPK.
“Saya belum baca surat (dari mantan penyidik asal kepolisian di KPK). Tetapi tidak ada niatan dari KPK untuk menghilangkan semua penyidik Polri di KPK,” ujar Syarif di kantor KPK, Jumat (3/5).
Berikutnya ketika ditemui usai berbuka puasa di kediaman Ketua DPR Bambang Soesatyo, Rabu (15/5), dan ditanyai apakah sudah melihat surat tersebut, Syarif menolak berkomentar.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo membantah WP melampaui kewenangan terkait rotasi penyelidik menjadi penyidik.
Ia menyatakan, peran wadah yang ia pimpin terkait rotasi itu sekadar memperjuangkan jika ada keberatan dari pegawai yang dipindahkan. Peran ini, menurutnya, justru untuk memastikan hubungan KPK dengan pegawainya sehat.
“Kami juga audiensi melalui pimpinan. Pimpinan mengatakan bahwa mereka tetap ingin melantik dan sebagainya, ya oke,” kata Yudi di KPK, Jumat (10/5).
Sementara Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, tak ada pelanggaran aturan dalam rotasi penyelidik ke penyidik tersebut. Menurutnya, KPK sudah melakukan pengangkatan penyidik sejak 2014 dan tidak meninggalkan masalah apa pun secara hukum.
“Jika kemarin dilakukan pengangkatan 21 orang penyidik dari internal, hal itu sebenarnya meneruskan program penguatan KPK, khususnya di (Deputi) Penindakan sebagai penyidik,” ujar Febri, Selasa (14/5)
Ia membantah ada upaya menghilangkan penyidik Polri di KPK. Hingga Mei 2019, komposisi penyidik KPK terdiri dari 63 penyidik berstatus pegawai tetap, 50 penyidik Polri, dan 5 dari pegawai negeri sipil.
Apa pun, keabsahan 21 penyidik baru KPK masih menjadi perdebatan. Mantan pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji mengingatkan, proses rekrutmen penyidik dari internal KPK harus mematuhi Peraturan Pimpinan KPK Nomor 1 Tahun 2019. Jika rekrutmen melalui proses rotasi, berarti harus ada persetujuan dari deputi atas usulan direktur.
Proses itulah yang menurutnya terabaikan oleh KPK. Padahal syarat tersebut bersifat formal dan substansial. Jika meleset, maka berisiko praperadilan karena ketidakabsahan pengangkatan penyidik. Selain itu, proses yang tak tepat di internal menyebabkan diskriminasi di kedeputian.
“Ini dampaknya luas sekali, antara lain eksternal terhadap proses litigasi penegakan hukum, maupun internal,” kata dia, Senin (13/5).
Rekrutmen penyidik dari internal KPK sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, seperti pada 2016. Namun saat itu rekrutmen dilakukan dengan cara alih tugas.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menegaskan, KPK berhak untuk merekrut penyidik. Keabsahan rekrutmen ini, menurutnya, sudah ditetapkan melalui putusan MK pada 9 November 2006 ketika terpidana korupsi OC Kaligis melayangkan uji materi atas Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai penyidik KPK.
Kaligis menganggap pasal itu bertentangan dengan Pasal 6 KUHAP yang menyebut penyidik adalah pejabat Polri dan pegawai negeri tertentu yang mendapat kewenangan khusus oleh UU. Namun uji materi ditolak MK dan KPK berhak merekrut penyidik.
Maka Adnan menganggap keabsahan rekrutmen penyidik cukup berupa Surat Keputusan.
“Persoalan bahwa prosedurnya salah dalam merekrut itu persoalan lain yang tidak ada kaitannya dengan konteks kewenangan KPK merekrut penyidik sendiri. Jadi itu dua hal yang berbeda,” kata dia di Kantor ICW, Jakarta, Kamis (9/5).
Jika terdapat polemik di internal KPK, ujar Adnan, pemimpin seharusnya bertindak tegas sehingga permasalahan ini tidak mengganggu penanganan kasus korupsi.
Hal lain, menurut Adnan, pengaruh polisi di KPK selama ini sangat kuat. “Sepanjang pimpinan Pak Agus Rahardjo (saat ini), enggak ada kasus kepolisian yang ditangani oleh KPK. Bahkan memanggil saksi dari polisi pun mereka gagal.”
Oleh sebab itu ia menilai, rekrutmen penyidik internal yang terbaru ini justru seharusnya bisa menyeimbangkan kekuatan di internal KPK. Setidaknya, hal itu dapat meminimalisasi perkara loyalitas ganda yang kerap melanda KPK .