Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sepucuk pesan daring sampai di ponsel pintar Hana (bukan nama sebenarnya) melalui aplikasi WhatsApp. Rupanya pesan itu berasal dari Dedi, kenalannya di Hago—aplikasi gim berkelompok. Gim ini punya fitur perpesanan alias chat sehingga satu pengguna bisa berkomunikasi dengan pengguna lainnya layaknya di media sosial .
Hana mengenal Dedi di Hago sejak 2018, saat ia masih kelas 6 SD. Dua tahun kemudian, Maret 2020, saat Hana sudah di bangku SMP, Dedi menghubungi Hana melalui layanan pesan Instagram. Ia meminta nomor WA Hana.
Dedi dan Hana pun bertukar pesan di WA. Awalnya percakapan berlangsung normal. Namun, setelah sebulan, di April 2020, gelagat bejat Dedi mencuat. Ia mulai membawa topik seks saat berkomunikasi dengan Hana. Dedi mengirimi Hana video porno . Ia juga mengajari Hana cara berhubungan seks dan melakukan video call sex (VCS).
Hana mulai tak nyaman dengan perilaku mesum Dedi. Ia mencoba lepas dari jerat komunikasi lelaki itu. Sayangnya, bukannya berhenti mengirim pesan, Dedi justru mengancam akan mengirimkan percakapan berbau seks keduanya kepada orang tua Hana.
Hana jelas ketakutan. Kecabulan Dedi menjadi-jadi. Ia meminta Hana membuat video sedang meraba-raba tubuh sendiri. Hana yang waswas diadukan ke orang tua, menuruti saja permintaan itu. Ia ingat betul membuat video mesum pada tengah malam di bulan Mei 2020. Video itu lalu ia kirim melalui WA ke Dedi dengan perasaan terpaksa.
Sekali dituruti, Dedi tak berhenti. Dua pekan kemudian, ia kembali meminta Hana membuat video tak senonoh. Dedi mengancam lagi: jika Hana menolak, maka video yang sebelumnya ia kirim ke Dedi akan disebarluaskan.
Hana makin ketakutan. Ia pun lagi-lagi menuruti permintaan pria durjana itu. Dan permintaan-permintaan cabul lainnya terus berdatangan untuk Hana, dengan jenis lebih ekstrem semacam eksperimen seks. Sampai-sampai ia pernah menyuruh Hana memasukkan botol dan benda lain ke vaginanya. Betul-betul sudah di luar akal sehat dan luar biasa bejat.
Dedi menggunakan semua video itu untuk terus mengancam Hana agar mau melakukan VCS dengannya hampir setiap hari. Dalam rentang Agustus–Oktober 2020, setidaknya 50 kali VCS terjadi di antara Hana dan Dedi tiap pukul 00.00–04.00 dini hari.
Hana putus asa. Ia depresi, takut, dan trauma. Mirisnya, ia ternyata bukan satu-satunya yang mengalami hal ini. Ada tujuh remaja lain yang juga dikerjai Dedi.
Saat perbuatan Dedi terbongkar dan ia diadili, lelaki bobrok itu mengaku telah melakukan hal serupa kepada tujuh perempuan lain yang berusia 14–25 tahun.
“Terdakwa berkomunikasi dengan mereka (7 korban) agar bisa VCS seperti dengan korban (Hana). Terdakwa memilih anak di bawah umur karena masih polos, cantik, dan merangsang,” kata hakim berdasarkan pengakuan Dedi di putusan kasus ini.
Predator anak itu divonis penjara 14 tahun.
Kasus yang menimpa Hana disebut child grooming. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah mengatakan, modus kekerasan seksual daring ini dilakukan lewat bujukan kepada agar anak mau mengirim foto atau video bermuatan pornografi.
Child grooming bukannya jarang terjadi. KPAI sudah beberapa kali menangani kasus ini, misalnya di Papua pada medio 2020–2021. Pada kasus tersebut, pelaku meminta video cabul seorang anak perempuan yang masih berusia 9 tahun dengan iming-iming diamond untuk membeli senjata canggih di gim daring.
“Ketika kasus ini terlaporkan, ditindaklanjuti oleh polisi. Korbannya tidak satu, banyak banget. Yang menimpa pada anak di Papua itu sekitar 5-6 anak,” kata Margaret kepada kumparan di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/3).
Menurut Margaret, modus child grooming biasanya berawal dari sexting alias berkirim pesan bermuatan seksual. Foto dan video bermuatan pornografi ini kemudian dimanfaatkan pelaku untuk memeras korban supaya mau melakukan aktivitas seksual online.
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ciput Eka Purwianti, mengatakan bahwa pelaku biasanya mengajari anak-anak untuk membuat ruang privat digital.
Setelah ruang privat terbentuk antara pelaku dan korban, pelaku memberi korban pemahaman sesat. Pelaku menyebut bahwa perilaku-perilaku porno dan menyimpang—seperti mengirim foto diri tanpa busana—adalah normal.
Berikutnya, setelah pelaku sudah mengantongi foto-foto dan video cabul korban, pelaku membuat korban tak berdaya dengan mengancam menyebarkan gambar-gambar digital itu bila permintaan mesumnya tak dituruti.
Dari sejumlah kasus yang ditangani atau dibantu pendampingan oleh KemenPPPA, 100% profil pelaku di media sosial adalah palsu. Ada yang menyamar jadi teman sebaya, baik laki-laki atau perempuan; atau menyamar menjadi perempuan dengan usia lebih dewasa.
“Tujuan pelaku sedari awal ingin mengeksploitasi korban [dengan lebih dulu] menimbulkan rasa percaya dan nyaman dari korban kepada pelaku. Pendekatan awalnya bisa juga sebagai seorang kakak atau ibu yang mengasihi anak-anak,” ujar Ciput.
Rentannya Anak-Anak di Media Sosial
Predator seksual yang gentayangan di ranah daring membuat anak rentan terhadap ancaman kekerasan seksual. Apalagi jika mereka belum memiliki kesadaran penuh terhadap konsekuensi berkomunikasi di media sosial.
“Apa pun platform digital—terutama medsos —yang memiliki aplikasi perpesanan, itu sangat rentan. Anak yang menggunakannya bisa jadi korban child grooming,” tutur Ciput.
KPAI mencatat, total data pengaduan anak pada 2016–2020 berjumlah 24.974 kasus yang terbagi dalam 10 klaster. Klaster pornografi dan kejahatan siber menempati urutan keempat tertinggi sebanyak 3.178 kasus (12,73%) setelah klaster anak berhadapan dengan hukum sebanyak 6.500 kasus (26,03%), klaster keluarga dan pengasuhan alternatif sebanyak 4.946 kasus (19,80%), serta klaster pendidikan sebanyak 3.194 kasus (12,79%).
Klaster pornografi dan kejahatan siber pada anak trennya meningkat, dari hanya 587 kasus pada 2016 menjadi 651 pada 2020. Klaster ini membawahi subklaster pengaduan anak sebagai korban/pelaku kejahatan seksual online; anak korban/pemilik pornografi; dan anak korban/pelaku perundungan di medsos.
Adapun menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) KemenPPPA, dalam tiga tahun terakhir (2020–2022) kekerasan seksual menempati posisi tertinggi dibanding jenis kekerasan anak lainnya seperti fisik, psikis, eksploitasi, trafficking, dan penelantaran.
Pada 2022, ada 11.686 kekerasan seksual terhadap anak yang diadukan ke KemenPPPA. Menurut Ciput, jumlah itu adalah yang terbanyak—mencapai 54%—dari total kasus kekerasan terhadap anak.
Data Simfoni-PPA itu menggabungkan kekerasan seksual secara langsung maupun virtual. Namun, pada survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2021 yang dihelat tiga tahunan, KemenPPPA menemukan prevalensi kekerasan seksual nonkontak (secara online) pada anak usia 13–17 tahun, yakni 3,79% pada anak perempuan dan 2,34% pada anak lelaki.
Hasil sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 79,7 juta penduduk Indonesia adalah penduduk usia anak, yakni 0–17 tahun. Jika anak perempuan diasumsikan berjumlah separuhnya atau sekitar 40 juta, dan dengan prevalensi hampir 4%, maka diperkirakan 1,6 juta anak di Indonesia berpotensi menjadi korban kekerasan seksual online.
“Kalau kita bandingkan data itu [dengan kasus yang diadukan] masih jauh banget. Jadi mereka yang melapor hanya puncak gunung es,” kata Ciput.
Era media sosial saat ini memang sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak-anak. Terlebih kini anak-anak sudah dibekali ponsel pintar oleh orang tua mereka sedari dini, sehingga mereka amat mudah mengakses internet dan medsos.
“Pada anak-anak, kemampuan penyaringan kontennya lemah. Maka dalam aktivitas bermedia sosial, perlu pendampingan orang tua,” ujar Margaret.
Menurut data Digital 2022: Indonesia yang dihimpun We Are Social dan Kepios, pada Januari 2022, terdapat 191,4 juta pengguna medsos yang aktif di Indonesia. Secara spesifik, audiens iklan Meta (perusahaan yang membawahi Facebook, Instagram, dan WhatsApp) sebanyak 11,5 persennya disumbang oleh pengguna anak berusia 13–17 tahun.
Perlukah Regulasi Khusus Medsos?
Meski pengguna anak—yang rentan—aktif bermedia sosial, Indonesia tak memiliki regulasi tersendiri terkait medsos. Menurut Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan, perkara media sosial di Indonesia sebetulnya diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hasil revisi, yakni Nomor 19 Tahun 2016.
UU ITE punya turunan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
“Basis utamanya UU ITE. Itu pengakuan negara terhadap ruang digital, karena realitas manusia itu tersambung antara ruang fisik dan digital, jadi satu kesatuan,” kata pria yang akrab disapa Semmy itu.
Sementara pada Permenkominfo 5/2020, media sosial diatur sebagai penyedia sistem elektronik (PSE) lingkup privat. Di antara kewajibannya, medsos harus memastikan platformnya tidak memuat informasi yang dilarang aturan perundang-undangan (pasal 9) dan melakukan take down jika ada informasi atau dokumen yang dilarang di platformnya (pasal 13).
Ada pula serangkaian kewajiban bagi medsos dan lima klaster PSE lingkup privat lainnya. Bila salah satu kewajiban itu tidak dipenuhi, implikasinya bisa berupa sanksi pemutusan akses alias blokir terhadap platform medsos tersebut.
Selain itu, ujar Semmy, ada pula UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 hasil revisi, dan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang juga memuat regulasi soal medsos.
Menurut Semmy, serangkaian regulasi itu sudah cukup untuk mengatur media sosial. Hal senada dikemukakan Nenden Sekar Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Menurut Sekar, konten elektronik di media sosial secara umum memang sudah diatur dalam UU ITE yang berhubungan dengan UU lainnya.
“Kalau konten media sosial itu berhubungan dengan terorisme, maka menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kalau konten medsos itu berhubungan dengan kekerasan seksual, maka masuk ke UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ujar Nenden kepada kumparan, Kamis (2/3).
Di sisi lain, Nenden mencermati bahwa isu regulasi medsos beririsan dengan ancaman kebebasan berekspresi. Ia misalnya menyinggung pasal karet dalam UU ITE yang melarang konten yang “dapat meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”.
“Harus dijelaskan lebih lanjut, yang kayak gimana yang meresahkan masyarakat? Apakah misalnya konten yang ramai seperti penganiayaan siswa sekolah (David Ozora oleh Mario Dandy)?” tanya Nenden.
Ia menggarisbawahi pentingnya menetapkan parameter terkait konten yang dianggap meresahkan publik.
Minim Penegakan Regulasi
Aktivis media sosial Enda Nasution menilai, maraknya konten negatif di media sosial bukan karena regulasi yang kurang, melainkan karena regulasi yang ada tidak ditegakkan. Misalnya soal batasan usia di medsos yang mewajibkan pengguna minimal berusia 13 tahun.
“Itu enggak diimplementasikan, baik ke platform atau masyarakat,” kata Enda.
Batasan usia pengguna medsos minimal 17 tahun sempat diwacanakan dalam pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi pada 2020 oleh Kominfo. Namun, aturan itu kemudian tak jadi dimasukkan saat UU PDP disahkan pada 2022.
Sebagai pengendali data, platform medsos—sesuai Pasal 29 UU PDP—wajib memastikan akurasi data pribadi para penggunanya. Caranya, jelas Semmy, dengan memverifikasi tiap-tiap data pengguna medsos tersebut.
Dampaknya, kini tidak boleh lagi ada akun-akun dengan identitas palsu seperti akun alter. Tidak boleh pula ada akun anak di bawah 13 tahun yang lolos karena si anak dengan sengaja mengisi tanggal lahir lebih tua dari umurnya agar bisa mendaftar di medsos.
“Kalau alter kan enggak akurat. Kalo nickname (nama panggilan) yang dimunculkan, itu dimungkinkan (boleh),” kata Semmy.
Ia menambahkan, verifikasi data pengguna medsos tak melulu menggunakan KTP, karena ini akan menyulitkan sehubungan dengan KTP di Indonesia yang baru dimiliki saat seseorang berusia 17 tahun.
Oleh sebab itu, masing-masing platform medsos diberi kebebasan untuk memilih cara verifikasinya. Yang penting akurasi data pengguna terjamin.
Jangan Buatkan Akun Medsos untuk Anak
Di Indonesia, Facebook dan Instagram di bawah Meta sudah sejak awal mematok usia 13 tahun untuk mendaftar. Namun, pengumuman mengenai batasan usia mendaftar itu baru gencar digaungkan pada 2019.
Penegakan aturan batas usia di platform Meta juga baru berlangsung sejak 2021. Pada tahun tersebut, Meta membekukan akun-akun pengguna di bawah 13 tahun.
Policy Programs Manager Meta Indonesia, Dessy Sukendar, mengakui ada upaya pengguna anak untuk mengakali batasan usia mendaftar. Namun, Meta mengeklaim punya sistem kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi perilaku akun sehingga bisa mengidentifikasi apakah akun itu milik anak di bawah umur atau bukan.
“Kalau ada yang mencurigakan, kami minta cek ID (identitas). ID-nya bisa KTP, bisa juga kartu pelajar dan lain-lain,” jelas Dessy kepada kumparan, Jumat (3/3).
Menurutnya, Meta tengah menguji coba verifikasi identitas melalui video di beberapa negara.
Selain lewat AI dan verifikasi akun, Meta mengupayakan pencegahan penyebaran konten pelecehan anak melalui program "Help Protect Children, Don ’t share, Don’t comment, Report". Kampanye yang diumumkan 9 Februari 2023 lalu ini mengedukasi masyarakat agar tak membagikan, mengunduh, dan mengomentari konten pelecehan seksual anak di medsos.
Jika menemukan konten eksploitasi seksual anak di medsos, pengguna bisa melaporkannya melalui hotline KemenPPPA di SAPA 129 di 021-129 atau melalui Whatsapp di 08111-129-129. Pengguna juga bisa melaporkan konten tersebut kepada Meta di sini .
Tentu saja, upaya Meta tersebut belum optimal. Pengguna anak di bawah umur di platform medsos mereka bukannya sedikit.
“Anak aku dan teman-teman sekelasnya punya akun Instagram kok,” ujar Dewi, seorang pekerja di Jakarta, yang baru paham soal batasan usia bermedsos tersebut.
Dewi punya anak perempuan berusia 11 tahun, dan ia tahu bahwa anaknya memiliki dua akun Instagram, meski keduanya tidak digunakan secara aktif dan password-nya diketahui Dewi.
Menurut Ciput dari KemenPPPA, hampir semua kebijakan tentang medsos sudah ada, namun tak dibarengi kepatuhan masyarakat. Bahkan, ada orang tua yang justru membuatkan akun medsos untuk anaknya sedari balita.
Aturan terkait medsos, lanjut Ciput, memang masih perlu dilengkapi, khususnya yang mengatur sektor privat pembuat aplikasi game online.
Game online yang memiliki aplikasi perpesanan tersebut masuk kategori media sosial. Dan turunan UU ITE, yakni Permenkominfo 5/2020, sebetulnya telah mengatur sektor privat yang menyediakan layanan komunikasi meliputi pesan singkat dan percakapan dalam jaringan.
Pun demikian, menurut Komisioner KPAI Margaret, tak ada regulasi khusus untuk menangani kejahatan siber pada anak. UU ITE dan UU Perlindungan Anak pun tak secara khusus mengatur kasus pornografi, perundungan online, dan kekerasan seksual online terhadap anak.
Itu sebabnya, Margaret menilai perlunya regulasi khusus untuk menghadapi kasus kekerasan seksual anak secara online yang punya banyak bentuk, dari sexting, child grooming, sampai sextortion yang hingga saat ini belum diatur di regulasi mana pun.
“Ketika ada yang usul revisi UU Perlindungan Anak, kami mendukung ada regulasi terkait kejahatan siber pada anak,” kata Margaret.
Semmy sepakat. Menurutnya, jika aturan soal kejahatan siber spesifik terhadap anak belum ada, maka hal itu perlu diadakan.
Edukasi, Literasi, dan Supervisi adalah Antisipasi Wajib
Meski regulasi dinilai telah cukup meski belum sempurna, Semmy menyebut perlunya edukasi untuk meningkatkan literasi digital. Masyarakat mesti dibekali dengan kemampuan memilih dan memilah konten di media sosial. Orang tua harus bisa mengedukasi anak-anaknya.
Kominfo saat ini mempunyai program literasi digital yang bekerja sama dengan 121 institusi. Program serupa dilancarkan KemenPPPA dan KPAI dengan menggelar pelatihan bagi anak dan mendekati komunitas sekolah, pondok pesantren, serta orang tua.
KemenPPPA tahun 2023 ini pun menargetkan penyelesaikan Rancangan Peraturan Presiden Tentang Perlindungan Anak dari Penyalahgunaan Ranah Daring. Isinya adalah peta jalan berisi upaya dari semua pihak (pentahelix).
“Jadi tidak hanya pemerintah dan pemda, tapi juga melibatkan sektor privat, akademisi, dan masyarakat,” kata Ciput.
Komitmen perlindungan anak, menurut KPAI, tak cukup berasal dari pemerintah dan masyarakat, tapi juga dari platform-platform medsos. Medsos tak boleh sekadar berpikir untuk cari untung, lalu berharap penggunanya dapat belajar secara autodidak.
“Okelah misal di Amerika soal pornografi itu longgar dan enggak ada aturan khusus. Tapi di Indonesia enggak bisa begitu dong,” kata Margaret, mengingatkan pentingnya supervisi dan inspeksi terhadap platform-platform medsos.
Untuk memastikan platform medsos di Indonesia patuh terhadap regulasi, Kominfo tengah menggodok aturan soal denda terhadap platform medsos yang menolak take down konten negatif sesuai UU.
Aturan tersebut mengikuti Jerman yang pernah mendenda Facebook 2,3 juta USD atau Rp 35,1 miliar karena dianggap lalai melaporkan aduan konten ilegal di platformnya, sehingga melanggar aturan negara itu mengenai transparansi internet.
“[Rencana] dendanya [di Indonesia] Rp 500 juta per konten per hari. Bukan kami ingin cari duit, tapi supaya mereka (medsos) berusaha untuk menanggulangi konten negatif di platformnya. Kalau enggak patuh, bisa ditutup sementara,” tutup Semmy.