PKPU 'Karpet Merah' Eks Napi Koruptor Nyaleg Dicabut, ICW Minta KPU Minta Maaf

30 September 2023 18:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru dilantik (dari kiri) Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, Betty Epsilon Idroos, Hasyim Asy'ari, Idham Holik, Mochammad Afifuddin, dan August Mellaz tiba di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru dilantik (dari kiri) Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, Betty Epsilon Idroos, Hasyim Asy'ari, Idham Holik, Mochammad Afifuddin, dan August Mellaz tiba di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
ICW menilai keputusan Mahkamah Agung membatalkan ketentuan dalam PKPU mengenai eks napi koruptor nyaleg membuktikan bahwa KPU bobrok.
ADVERTISEMENT
Gugatan terhadap PKPU itu dilayangkan ICW, Perludem, dan dua eks pimpinan KPK Saut Situmorang serta Abraham Samad. Objek gugatan ialah Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023.
Pasal 11 ayat 5 dan 6 PKPU 10/2023, berbunyi:
(5) Persyaratan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, terhitung sejak tanggal selesai menjalani masa pidananya sehingga tidak mempunyai hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, dan terhitung sampai dengan Hari terakhir masa pengajuan Bakal Calon.
ADVERTISEMENT
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.
Dua aturan itu secara sederhana menyebut mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik.
Menurut ICW, ada sejumlah poin penting dari putusan uji materi MA perkara Nomor 28 P/HUM/2023 yang dijadikan pertimbangan untuk membantah logika pikir KPU dalam perumusan PKPU tersebut.
Pertama, majelis hakim berpandangan bahwa masyarakat sebagai Pemilih mempunyai hak untuk mendapatkan calon-calon anggota legislatif yang berintegritas.
Namun penambahan syarat berupa pidana tambahan pencabutan hak politik yang diatur dalam PKPU dinilai justru akan menambah rentetan panjang orang-orang bermasalah yang akan tertera di surat suara pada Pemilu tahun 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Kedua, aturan KPU dinilai menunjukkan kurangnya komitmen dan semangat pemberantasan korupsi. Menurut ICW, pertimbangan hakim dapat dipahami, sebab alih-alih semakin membatasi ruang gerak mantan terpidana, KPU justru membuka lebar kesempatan bagi eks pelaku korupsi menjadi calon anggota legislatif.
Ketiga, dari aspek sosiologis, majelis hakim berpandangan bahwa aturan internal KPU tersebut tidak mencerminkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa. ICW menyatakan bahwa konsekuensi logis dari pemaknaan tersebut, penanganan tindak pidana korupsi harus keluar dari langgam biasa, salah satunya dengan membatasi mantan terpidana menjabat kembali pada jabatan publik.
ICW mengutip MA yang mengatakan pembatasan ditujukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh anggota legislatif terpilih yang diketahui tidak berintegritas.
Keempat, penambahan syarat berupa pidana tambahan pencabutan hak politik adalah norma baru yang tidak tertuang dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g UU Pemilu. Dua pasal tersebut telah ditegaskan oleh MK bahwa pembatasan masa jeda waktu lima tahun bersifat wajib dan tidak bisa ditafsirkan lain sebagaimana hal yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan uraian di atas, sebagai Pemohon dalam uji materi, ICW dan Perludem, memberikan sejumlah catatan. Pertama, putusan MA ini menggambarkan secara jelas dan terang benderang betapa bobroknya penyelenggara Pemilu dalam menyusun aturan mengenai pencalonan anggota legislatif," bunyi keterangan tertulis ICW, Sabtu (30/9).
"Sebab, baik secara formil yang diketahui tidak partisipatif, aspek materiil juga menuai persoalan karena bertentangan dengan UU Pemilu. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa alasan yang dibuat oleh KPU untuk membenarkan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif ini adalah salah dan keliru, bahkan bisa disebut mengada-ada," sambung ICW.
Kedua, ICW menilai dikabulkannya uji materi ini semakin menguatkan sangkaan masyarakat bahwa aturan internal KPU memang benar-benar merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan mantan terpidana korupsi.
ADVERTISEMENT
"Sebab, hak dasar masyarakat untuk mendapatkan calon berintegritas dirampas oleh KPU," ujar ICW.
Ketiga, momentum putusan MA yang mengabulkan uji materi tersebut dipandang ICW kian memperlihatkan buruknya kualitas penyelenggara Pemilu dalam menjunjung tinggi nilai-nilai integritas.
Keempat, ICW menilai dibatalkannya sejumlah pasal dalam PKPU 10 dan PKPU 11 tahun 2023 semakin memperburuk citra KPU. Setelah sebelumnya diterpa kritik masif masyarakat perihal kontroversi verifikasi faktual partai politik, pelanggaran etik Ketua KPU RI, dan polemik keterwakilan perempuan yang juga sempat dibatalkan oleh MA.
"Sebagai Pemohon, kami menuntut agar KPU segera merevisi PKPU 10 dan PKPU 11 Tahun 2023 dengan menghapus syarat pidana tambahan bagi mantan terpidana yang inI ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Perubahan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, dan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPD juga harus segera dibarengi dengan upaya untuk mencoret calon anggota legislatif yang masih belum memenuhi syarat masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana dari daftar calon sementara (DCS)," papar ICW.
ADVERTISEMENT
"Tidak hanya itu, kami juga mendesak agar jajaran Komisioner KPU untuk meminta maaf kepada masyarakat karena telah keliru dan ugal-ugalan dalam menyusun aturan mengenai syarat pencalonan anggota legislatif," sambungnya.
Belum ada tanggapan dari KPU mengenai putusan MA tersebut.