Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Pak, kayaknya kita diikutin,” ucap Okto Siswantoro setengah berbisik kepada Laksamana Muda (Purn) Sony Santoso. Sang lawan bicara menanggapi santai nada gugup rekannya. “Tenang saja,” sahut Sony sambil meminta Okto terus berjalan.
Langit sudah gelap Sabtu itu (28/9). Okto dan Sony baru saja menunaikan salat Magrib sebelum beranjak dari kediaman Sony di Taman Royal 2 Tangerang, Banten.
Mereka berjalan kaki menuju deretan warung makanan di luar perumahan. Saat keduanya menyeberangi jalan, kecemasan Okto menjelma. Ia dan Sony mendadak disergap polisi yang ternyata sudah siaga sedari tadi.
“Polisinya lumayan banyak,” kata Okto. Ia mengingat-ingat peristiwa itu saat berbincang dengan kumparan di Mapolda Metro Jaya, Rabu (9/10). Menurut hitungan Okto, polisi yang meringkusnya ketika itu mencapai puluhan orang.
Okto dan Sonny diduga bagian dari kelompok yang berencana berbuat onar di Jakarta. Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Asep Adisaputra, keduanya berusaha menunggangi aksi demonstrasi untuk memancing kekacauan.
“Mereka mengarahkan gangguan keamanan kepada agenda nasional ke depan,” kata Asep. Agenda nasional yang ia maksud ialah pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, 20 Oktober mendatang.
Pergerakan kelompok itu sudah dideteksi polisi sejak awal tahun. Mereka ingin meledakkan bom di sejumlah lokasi di Jakarta.
Pagi hari sebelum penangkapan Okto dan Sony, polisi lebih dulu menangkap Yudhi Febrian di lokasi berbeda. Yudhi dan Okto diduga menjadi calon eksekutor peledak bom. Keduanya direkrut oleh Sony.
Polisi sudah mengawasi kediaman Sony sehari sebelumnya. Pukul sepuluh malam, sang empunya rumah kedatangan dua orang tamu, yakni Abdul Basith dan Laode Sugiono. Basith adalah dosen Fakultas Ekonomi Institut Pertanian Bogor, sedangkan Sugiono bekerja sebagai tukang servis ponsel di Cempaka Mas, Jakarta Pusat.
Sony sebelumnya juga memanggil Okto untuk ikut dalam pertemuan. Mereka membahas rencana peledakan bom di tujuh titik. Sony bertanya perihal kesiapan bom kepada Sugiono. “Iya Pak, sudah,” jawab Sugiono.
Sebanyak 29 bom rakitan siap pakai ditaruh di rumah Basith di Kompleks Pakuan Regency, Dramaga, Bogor. Basith meminta Sugiono mengantarkan peledak itu ke Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Agar tak mencolok, menurut Sugiono, Basith memerintahkan agar bom seukuran botol minuman energi itu ditempatkan dalam lima dus air mineral. Namun Sugiono menolak permintaan itu karena takut. Ia juga meminta Basith untuk menemaninya.
Namun baru beberapa ratus meter keluar dari rumah Sony, mobil yang ditumpangi Basith dan Sugiono dicegat puluhan polisi bersenjata pukul satu dini hari, Sabtu (28/9).
Saat menggeledah kendaraan itu, polisi menemukan selongsong gas air mata di jok belakang mobil. Ponsel Basith dan Sugiono juga diperiksa. Di situlah polisi menemukan sejumlah pesan mencurigakan.
“Di ponselnya (Basith), ada chat berisi foto bom yang lagi dirakit, dikirim ke orang-orang," kata Sugiono.
Berbekal bukti itu, ia dan Basith dibekuk. Basith semula disangka anggota Hizbut Tahrir Indonesia—ormas yang dibubarkan pemerintah pada 2017 karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Tempat tinggal Basith digeledah. Di lantai dua rumah itu, polisi meringkus empat orang yang diduga perakit bom. Mereka didatangkan Sugiono dari Ambon, Maluku.
Keempat orang itu adalah Laode Nadi, Laode Alu Ani, Laode Samiun, dan Jahran Ra Ali. Mereka masih berkerabat dengan Sugiono.
Masih di rumah Basith, polisi juga menemukan 29 bom ikan siap pakai di salah satu laci lemari di lantai dua.
Rencana memantik huru-hara dengan meledakkan bom ikan itu pertama kali dibahas di kediaman Mayjen (Purn) Soenarko di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (20/9). Sekitar 15 orang menghadiri pertemuan itu, termasuk Abdul Basith, Laode Sugiono, Okto Siswantoro, dan Sony Santoso.
“Kalau menurut pengakuan Pak Basith, idenya awalnya memang dari Pak Soenarko,” kata Ghufroni, pengacara Basith.
Berdasarkan pemaparan Sugiono, semula para peserta pertemuan merancang skenario dengan memanfaatkan momentum demonstrasi bertajuk Parade Mujahid 212 untuk menciptakan kegaduhan. Salah seorang hadirin sempat mengusulkan agar aksi itu diganti nama menjadi Parade Kebangsaan.
Ketika itu, ujar Sugiono, Soenarko juga melontarkan pertanyaan, “Siapa yang bisa membuat petasan?” Salah seorang peserta pertemuan kemudian menunjuk Sugiono yang terbiasa membuat bom ikan di Ambon.
Sugiono kemudian diminta mempersiapkan bom untuk diledakkan bersamaan dengan Parade Mujahid 212 pada Sabtu (28/9).
“Sasarannya adalah pertokoan di daerah Roxy dan ruko-ruko arah Kota Tua,” kata Sugiono. “Kalau terjadi kebakaran di sekitar situ, otomatis masyarakat akan keluar dan meramaikan demo,” imbuhnya, mengungkap asumsi kelompoknya.
Ledakan bom itu diharapkan bisa memantik sentimen anti-nonpribumi. Tak hanya itu, peserta pertemuan pun berencana mengundang media asing untuk meliput kerusuhan. Tujuannya agar dunia internasional menganggap bahwa Indonesia pasca-Pemilu 2019 tak aman—bahwa kondisi memburuk dan korban berjatuhan.
Pertemuan Jumat di rumah Soenarko, menurut Sugiono, juga membahas penolakan terhadap pelantikan presiden. Selain itu, kelompok tersebut ingin mengembalikan konstitusi negara ke UUD 1945 asli yang memuat ketentuan bahwa presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Empat hari kemudian, Selasa (24/9), sebagian peserta bertemu lagi di kediaman Sony Santoso. Selepas rangkaian pertemuan tersebut, Basith memberikan Rp 8 juta kepada Sugiono. Uang itu ia gunakan sebagai biaya akomodasi guna membawa empat orang anggota keluarganya dari Ambon ke Jakarta.
Semula, Sugiono hendak membawa 20 orang yang ahli merakit bom ikan. Namun ternyata hanya empat orang yang bisa ia datangkan. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (25/9), keempat orang itu diinapkan di lantai dua rumah Basith di Bogor.
Keesokan harinya, Kamis (26/9), Basith memberikan uang Rp 1 juta kepada Sugiono sebagai modal untuk membeli bahan pembuat bom. Sementara Sony Santoso juga mentransfer lagi duit Rp 1 juta.
Sugiono lantas menyerahkan Rp 2 juta itu ke orang suruhan Basith yang mengetahui kios pembelian bahan peledak di sekitar Dramaga, Bogor. Bahan yang diperoleh cukup untuk membuat 29 bom ikan. Proses perakitan bom berlangsung pada Kamis (26/9), siang sampai malam. Para perakit memasang paku yang direkatkan ke botol wadah bom dengan lakban untuk meningkatkan daya rusak ledakan.
Berikutnya, polisi mengendus keterlibatan satu orang lagi—Mulyono Santoso.
Mulyono Santoso diduga menjadi administrator dalam rangkaian perencanaan aksi peledakan bom. Ia ditangkap polisi di rumahnya di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, Sabtu (5/10).
Kepada kumparan, Mulyono membantah terlibat skenario peledakan bom. Namun, polisi punya bukti kuat yang mengaitkan Mulyono dengan plot huru-hara tersebut.
“Kami punya bukti komunikasinya,” kata Kasubdit Keamanan Negara Polda Metro Jaya, Komisaris Dwiasi Wiyatputera.
Mulyono adalah salah satu pendiri Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara (MKPN). Sementara Abdul Basith dan Laode Sugiono yang lebih dulu menjadi tersangka, juga anggota organisasi masyarakat yang berdiri pada 2010 itu.
Mulyono mengaku sebagai orang nomor dua di MKPN. Di pucuk pimpinan, duduk mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto. MKPN bercita-cita mengembalikan konstitusi negara kepada UUD 1945 yang asli sebelum proses amandemen. Sebab, menurut Mulyono, UUD hasil amandemen telah banyak terdistorsi.
Saat marak aksi demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP dan revisi UU KPK, MPKN memobilisasi mahasiswa dari 18 universitas Jakarta dan Bandung. Para mahasiswa itu digerakkan untuk berdemonstrasi di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, 25 September. Aksi itu tergolong janggal, karena aksi mahasiswa lain terkonsentrasi di Gedung DPR/MPR.
Sebelum berangkat, para mahasiswa yang dihimpun MPKN dikumpulkan di Masjid Al Ikhlas, Kompleks Raffles Hills, Cibubur, Jawa Barat. Dari sana, kelompok mahasiswa itu bergerak ke Mabes TNI menggunakan 25 bus.
Mereka menuntut TNI turun tangan mengatasi situasi bangsa. Mereka bertahan di Cilangkap hingga keesokan harinya sebelum dibubarkan oleh polisi.
Jumat (27/9), Slamet Soebijanto dipanggil Polisi Militer Angkatan laut terkait aksi demonstrasi di Mabes TNI itu. Nama Slamet juga diduga terkait rencana aksi peledakan di beberapa titik di Jakarta.
Abdul Basith kepada pengacaranya mengatakan, empat orang perakit bom yang hendak menyusup ke aksi Parade Mujahid 212 semula akan ditampung di kediaman Slamet. Namun hal itu urung terlaksana karena sudah banyak mahasiswa yang menginap di rumah Slamet pada 25 September.
“Awalnya itu mereka mau menginap di rumah Pak Slamet Soebijanto. Cuma di rumahnya Pak Slamet itu kan penuh, banyak massa yang nginap karena keesokan harinya mau aksi,” kata Ghufroni, pengacara Basith.
Slamet lantas meminta Basith menampung keempat perakit bom. Slamet sendiri tak dapat dimintai tanggapan soal tudingan ini. Seorang asistennya yang ditemui kumparan di kediamannya mengatakan, Slamet belum bisa memberikan komentar. “Bapak dilarang Pomal,” katanya.
Keterlibatan Soenarko dalam perancangan serangan bom jelang pelantikan presiden dibantah oleh Ferry Firman Nurwahyu, pengacara eks Danjen Kopassus tersebut. Menurut Ferry, kliennya tak mungkin berulah lagi setelah sempat terjerat kasus kepemilikan senjata ilegal pada Mei lalu.
"Beliau itu kan mantan Pangdam, enggak mungkin melakukan (hal seperti) itu,” kata Ferry.
Hingga kini kasus tersebut masih dalam penyelidikan polisi.
_________________
Simak selengkapnya Liputan Khusus kumparan: Huru-hara Jelang Pelantikan Presiden