Polemik Nelayan Aceh Ajukan Suntik Mati: Akibat Frustrasi; Syarat Belum Lengkap

8 Januari 2022 7:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nazaruddin Razali, nelayan yang mengajukan permohonan suntik mati, sedang memperbaiki jaring keramba di Waduk Pusong, Lhokseumawe, Kamis (6/1/2022). Foto: Dedy Syahputra/ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Nazaruddin Razali, nelayan yang mengajukan permohonan suntik mati, sedang memperbaiki jaring keramba di Waduk Pusong, Lhokseumawe, Kamis (6/1/2022). Foto: Dedy Syahputra/ANTARA
ADVERTISEMENT
Seorang nelayan asal Lhokseumawe, Aceh, Nazaruddin Razali, mengajukan surat permohonan eutanasia atau suntik mati ke Pengadilan Negeri Lhokseumawe.
ADVERTISEMENT
Kuasa hukum Nazaruddin, Safaruddin, mengatakan surat permohonan itu telah diregistrasi di PN Lhokseumawe pada 6 Januari 2022.
Permohonan itu dilayangkan karena Nazaruddin Razali merasa tak sanggup lagi menahan tekanan dari Pemerintah Kota Lhokseumawe.
“Mewakili Nazaruddin Razali sebagaimana surat kuasa khusus tanggal 5/1/2022 yang telah diregistrasi di Pengadilan Negeri Lhokseumawe pada 6/1/2022, dengan ini mengajukan permohonan eutanasia kepada Ketua Pengadilan Negeri Lhokseumawe,” kata Safaruddin.

Alasan Ajukan Permohonan Eutanasia

Permohonan eutanasia (tindakan mengakhiri hidup seseorang secara sengaja untuk menghilangkan penderitaannya) bukan tanpa alasan. Namun, ada beberapa faktor sehingga Nazaruddin nekat melayangkan permohonan itu.
Faktor utamanya berawal dari larangan aturan pemerintah Kota Lhokseumawe, kepada warga untuk melakukan budidaya ikan di dalam waduk Pusong kota setempat.
ADVERTISEMENT
Safaruddin menjelaskan, pemohon adalah warga Kota Lhokseumawe dan sudah tinggal di sana sejak lahir. Sejak kecil, orang tua pemohon sudah menggantungkan hidup sebagai nelayan dan petani keramba jaring apung tradisional di selat kecil yang saat ini sudah dijadikan Waduk Pusong oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe sejak beberapa tahun yang lalu.
Siluet nelayan merapikan jaringnya di Perairan Tanjung Peni, Kota Cilegon, Banten. Foto: Antara/Dziki Oktomauliyadi
Sejak waduk itu dibangun, kata Safaruddin, pemohon sebagai nelayan dan petani keramba jaring apung tradisional masih melakukan aktivitas seperti biasa di dalam waduk tersebut sampai dengan saat ini.
"Hasil dari pekerjaan Pemohon untuk membiayai kehidupan keluarga, yang saat ini hanya bisa menggantungkan hidup dari penghasilan keramba di dalam Waduk tersebut,” ujar Safaruddin.
Namun pada 26 Oktober 2021 melalui surat nomor 523/1322/2021, Wali Kota Lhokseumawe mengeluarkan perintah larangan melakukan budidaya ikan di dalam Waduk Pusong. Membongkar keramba milik masyarakat di dalam waduk secara mandiri selambatnya 20 November 2021.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sebut Safaruddin, pihak kecamatan Banda Saksi juga pernah menyampaikan ke media massa kalau Waduk Pusong adalah pembuangan limbah dari rumah Sakit dan rumah tangga. Sehingga, ikan yang dibudidaya oleh petani keramba tidak sehat untuk dikonsumsi.
Safaruddin menuturkan, atas alasan berbagai tekanan diterima kliennya serta faktor merugi dan tidak ada lagi lapangan pekerjaan untuk menghidupi keluarga ia nekat memohon ke pengadilan untuk disuntik euthanasia.
Kampus UGM di Yogyakarta. Foto: Dwita Komala Santi

Tanggapan Guru Besar UGM

Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof Sigit Riyanto, mengatakan tindakan yang dilakukan nelayan tersebut adalah bentuk sarkasme.
Pasalnya, nelayan sudah putus asa atas kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil dan kebijakan yang mengganggu hajat hidup orang banyak.
"Mereka menghadapi situasi yang tidak ada jalan keluar. Ya, menurut saya bukan persoalan hukumnya, tetapi lebih kepada resolusi konflik sosial," kata Sigit.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Sigit mengatakan, yang dibutuhkan dalam persoalan tersebut adalah kebijakan yang berpihak pada nelayan. Pemerintah mestinya datang membawa bantuan dan kemudahan.
ADVERTISEMENT
"Tindakan nelayan yang meminta suntik mati harus disikapi dengan kebijakan yang lebih arif dan berpihak kepada kepentingan rakyat marjinal, karena adanya tekanan, panggilan atau perlakukan yang menurut mereka sangat intimidatif," terangnya.
Di Indonesia, permohonan suntik mati tidak memiliki payung hukum dan tidak diizinkan. Sehingga, Sigit yakin pengadilan juga tidak akan memproses permohonan Nazaruddin.
Selain tidak ada legalitas terhadap hukuman mati, imbuhnya, dari norma agama pun tidak memperbolehkan manusia melakukan tindakan bunuh diri.
Dalam Pasal 344 KUHP dan sumpah dokter juga tidak mengizinkan eutanasia. Pasal tersebut berbunyi: Barangsiapa yang merampas jiwa orang lain atas permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan dari orang lain itu, diancam dengan pidana penjara maksimum dua belas tahun.
Ilustrasi nelayan. Foto: Antara/Irwansyah Putra

Masih Ada Tempat Lain Cari Nafkah

Kabag Humas Pemerintah Kota Lhokseumawe Marzuki, mengatakan seyogyanya masyarakat harus memahami terkait rencana pemerintah kota membersihkan kawasan waduk dan di dalam waduk.
ADVERTISEMENT
“Waduk itu memang dijadikan sebagai salah satu lokasi wisata, jadi harus bersih,” kata Marzuki.
Terkait adanya pemberitaan soal warga yang minta suntik mati karena rencana pembersihan waduk tersebut, Marzuki menilai hal tersebut salah dan bukan sikap yang tepat.
“Ada warga minta disuntik mati akibat rencana pembersihan keramba, itu merupakan hal yang salah,” ujarnya.
Menurut Marzuki, masih banyak lokasi di Lhokseumawe yang bisa dijadikan sebagai tempat atau kawasan untuk mencari nafkah.
Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Belum Lengkap Syarat untuk Sidang

Ketua PN Lhokseumawe M Nazir, membenarkan soal adanya permohonan terkait eutanasia yang diajukan nelayan.
“Benar sudah didaftarkan dengan nomor registrasi perkara No. 2 /pdt.p/2022/PNLSM 7 Januari 2022,” kata M Nazir.
Namun, M Nazir mengatakan permohonan pendaftaran yang diajukan itu belum melengkapi syarat. Dia tak menyebut syarat apa lagi yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
“Sudah didaftarkan tapi belum lengkap syaratnya. Jadi, belum ditetapkan hakim yang menyidangkannya,” ucap dia.