Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Polling kumparan: 60,07% Pembaca Paling Percaya Hasil Survei Litbang Kompas
5 Januari 2024 16:59 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Total ada sebanyak 2.915 responden yang menjawab polling ini. Sebanyak 1.751 orang memilih hasil survei yang dirilis oleh Litbang Kompas paling mereka percayai. Selanjutnya, sebanyak 510 orang atau 17,5 persen responden memilih lembaga survei CSIS.
Di posisi ketiga, sebanyak 276 orang atau sebanyak 9,4 % paling percaya dengan hasil survei yang dirilis oleh Poltracking. Sisanya, 378 responden paling percaya dengan hasil yang dirilis oleh LSI dan Indikator.
Menjelang Pemilu 2024 yang diselenggarakan pada 14 Februari, sejumlah lembaga survei berlomba merilis elektabilitas para capres-cawapres. Mayoritas hasil survei menempatkan pasangan Prabowo-Gibran di posisi pertama dengan perolehan suara di atas 40 persen.
Namun, ada perbedaan hasil survei untuk urutan kedua dan ketiga. CSIS dan Litbang Kompas menempatkan Anies-Cak Imin di urutan kedua dan Ganjar-Mahfud di posisi terakhir.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tiga lembaga survei lainnya, yaitu Poltracking, Indikator, dan LSI menempatkan Ganjar-Mahfud di urutan kedua dan Anies-Cak Imin di posisi ketiga.
Mengapa Berbeda?
Philips J Vermonte, Senior Fellow CSIS, menjelaskan, hasil dari berbagai lembaga survei bisa jadi berbeda meski memiliki tema yang sama. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh beberapa kemungkinan, salah satunya adalah karena memang responden yang terjaring dalam sampling menunjukkan hasil yang demikian.
"Karena kadang-kadang bisa gini juga, walaupun kalau prinsipnya random sampling itu harusnya semua hasilnya relatif sama. Tapi bisa aja kalau dalam masyarakat yang sedang fragmanted, atau yang sedang debate-nya tinggi gitu ya. Bisa aja kemudian yang keambil itu survei itu orang-orang yang punya pandangan yang kurang lebih demikian," ucap Philips dalam talkshow Info A1 kumparan yang tayang Rabu (3/1).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, adanya kemungkinan pemberian instruksi kepada para pengumpul data untuk melakukan probing. Misalnya saja, dengan mengulang pertanyaan yang sama hingga responden menjawab, atau malah dengan hanya diam dan membiarkan kolom "tidak tahu/tidak menjawab" terisi.
"Yang ketiga, bisa aja sequence pertanyaan, bisa mempengaruhi juga. Kalau pertanyaannya, misalnya, yang di depan ini misalnya ya, tentang prestasi-prestasi gubernur gitu, lalu ditanya, kalau pilgub hari ini Anda pilih siapa?" jelasnya.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut menurut Philips masih diperbolehkan sebagai bagian dari proses pembelajaran lembaga survei di Indonesia yang terbilang baru.
Philips juga mengungkapkan bahwa mungkin saja survei digunakan sebagai alat untuk menggiring opini publik. Akan tetapi, hal itu relatif sulit dilakukan karena masyarakat saat ini sudah terinformasi tentang survei.
ADVERTISEMENT
"Kalau dia digunakan sebagai alat mobilisasi untuk memperkuat sebuah narasi, ini bisa kontraproduktif. Sehingga pada ujungnya, masyarakat merasa, 'Nanti pada akhirnya saya yang menentukan sendiri'. Tapi bahwa dia bisa, secara kajian akademik yang pernah saya baca ya, ada yang bilang iya, ada yang bilang enggak," tutur Philips.