Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Profil Muqtada al-Sadr, Ulama Syiah Terkemuka yang Picu Protes Massal di Irak
30 Agustus 2022 12:27 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Ulama Syiah, Muqtada al-Sadr , mengundurkan diri dari dunia politik Irak untuk selamanya pada Senin (29/8). Al-Sadr adalah target utama selama pendudukan Amerika Serikat (AS) sebelum bangkit menjadi tokoh terkemuka dalam politik Irak.
ADVERTISEMENT
Namun, pengaruhnya yang tak tertandingi tidak dapat mengakhiri kebuntuan berkepanjangan dalam pembentukan pemerintahan. Mengambil pensiun definitif, al-Sadr menutup seluruh institusi terkait dengan gerakan Syiah yang dia pimpin, yakni Sadrist.
"Dengan ini saya mengumumkan pengunduran diri terakhir saya," cuit al-Sadr di Twitter, dikutip dari Reuters, Selasa (30/8).
Musuh bebuyutan Iran dan AS itu mengantongi pengaruh mendalam yang menjaring ratusan ribu pengikut di Iran. Dengan jentikan jari, mereka siap mengindahkan seruannya untuk turun ke jalanan.
Ulama terebut menunjukkan kekuatannya sekali lagi. Dia memobilisasi para loyalis hingga menyerbu kompleks pemerintahan di ibu kota hanya dengan sebuah cuitan. Bagaimana seorang buron di masa lampau itu kemudian dapat menjadi politikus kawakan yang sangat disegani di Negeri 1001 Malam?
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Al-Sadr
Al-Sadr terdengar asing di luar Irak sebelum invasi AS pada 2003. Melalui pertempuran, dia melesat menjadi simbol perlawanan terhadap pendudukan dengan otoritas warisan keluarganya.
Pemimpin Syiah tersebut berasal dari keluarga ulama yang berpengaruh di Irak. Al-Sadr lahir pada 1974 di Kufah. Dia adalah putra dari Ayatullah Agung, Muhammad-Sadiq al-Sadr.
Sang ayah dibunuh pada 1999 usai mengkritik diktator Irak, Saddam Hussein. Sepupu ayahnya, Muhammad Baqir al-Sadr, juga dibunuh oleh Saddam pada 1980.
Pada 2006, Saddam kemudian dieksekusi karena membantai 148 orang di sebuah kota dengan mayoritas Syiah. Saat itu, para saksi eksekusi mengejeknya dengan meneriakkan nama al-Sadr.
"Warisan keluarganya—tanpa itu saya tidak berpikir dia bisa berada di tempat dia sekarang," ujar peneliti di Middle East Institute, Randa Slim.
Irak telah menjadi medan pertempuran antara AS dan Iran sejak invasi yang menggulingkan Saddam. Al-Sadr sendiri adalah orang pertama yang membentuk kelompok militan Syiah untuk memerangi pasukan asing tersebut, yakni Tentara Mahdi.
ADVERTISEMENT
Al-Sadr memimpin dua pemberontakan melawan pasukan pemerintah AS dan Irak. Para milisi itu menghadapi lawan dengan senapan serbu dan granat berpeluncur roket melintasi gang-gang.
Alhasil, AS mengecap Tentara Mahdi sebagai ancaman terbesar bagi keamanan Irak. Pada 2004, AS bahkan mengeluarkan surat perintah penangkapan al-Sadr. Terlepas dari berbagai ancaman yang menyasarnya, dia tidak pernah angkat kaki dari Irak.
Pengaruh Politik Irak
Al-Sadr kemudian memasuki dunia politik. Dia meraup popularitas melalui janji-janji untuk memberantas korupsi yang merajalela. Al-Sadr menyalahkan sistem kuota politik karena digunakan para pemimpin untuk menunjuk pendukung mereka dalam jabatan utama.
Mengenakan serban hitam, dia memobilisasi orang-orang sampai membanjiri jalanan. Pada 2016, para pendukung al-Sadr juga pernah menyerbu parlemen dalam kawasan Zona Hijau di Baghdad.
ADVERTISEMENT
Mereka menjawab seruannya yang mengecam kegagalan reformasi sistem kuota politik. Al-Sadr kemudian memerintahkan umatnya untuk mengakhiri aksi itu setelah usulan susunan kabinet baru dari mantan Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi.
Menjelang pemilihan parlemen pada 2018, dia mengubah citra dirinya. Al-Sadr membentuk aliansi dengan sekularis dan komunis.
Al-Sadr memanfaatkan kebencian publik dengan Iran dan menyerukan pengusiran ribuan tentara AS yang tetap berada di Irak.
Sebagai satu-satunya pemimpin Syiah yang menantang Iran dan AS, dia lantas memenangkan dukungan penduduk yang mayoritasnya adalah Syiah.
Al-Sadr bangkit dengan mendapatkan kendali atas kementerian dan posisi pegawai negeri. Sebagian besar kekuatan politik Syiah masih mencurigai atau bahkan memusuhi al-Sadr.
Namun, gerakan Sadrist telah mendominasi aparatur negara sejak 2018. Mereka menempati posisi teratas dalam kementerian dalam negeri, pertahanan, dan komunikasi.
Gerakan al-Sadr kembali menyapu pemilu pada 2021. Mereka memenangkan 73 kursi dalam parlemen dengan 329 kursi. Kemenangan tersebut merupakan pukulan telak bagi kelompok-kelompok Syiah pro-Iran.
ADVERTISEMENT
Lawan-lawan pemerintahan menuduh kaumnya atas tindak korupsi. Namun, mereka justru memandang al-Sadr sebagai juara perjuangan antikorupsi di Irak. Para pendukung siap mengikutinya dengan buta.
Sepuluh bulan setelah pemilu, negara kaya minyak itu masih belum memiliki pemerintahan baru. Negosiasi intens tidak mampu menjembatani perpecahan antara kelompok-kelompok Syiah.
Pada Juni, 73 anggota parlemen al-Sadr mundur demi memecahkan kebuntuan politik Irak. Keputusan itu membuka celah bagi saingan mereka untuk menjadi blok terbesar di parlemen. Al-sadr mengatakan, dia hanya menginginkan pemilu baru.
Mobilisasi Massa
Analis meyakini, al-Sadr mempersenjatai diri dengan protes jalanan untuk mengukuhkan pengaruhnya dalam pembentukan pemerintah Irak. Dia memiliki jutaan pengikut setia pada populasi Syiah di Irak.
"Dia bisa menduduki jalanan. Tidak ada seorang pun di Irak yang bisa melakukannya sebaik dia," terang analis dari Washington Institute for Near East Policy, Hamdi Malik, dikutip dari AFP.
ADVERTISEMENT
Pria berusia 48 tahun itu telah membangun basis pendukung yang sangat patuh. Sebagian dari mereka memanfaatkan media sosial untuk menyerang saingan-saingan al-Sadr.
"Semuanya bepusar di sekelilingnya. Di Irak, itu sangat penting," tambah Malik.
Dalam kerusuhan terbaru, para pendukungnya melepaskan tembakan ke Zona Hijau. Petugas medis melaporkan, bentrokan telah menewaskan 15 pendukung al-Sadr. Hingga 350 pengunjuk rasa lainnya juga mendapati cedera dalam baku tembak.
ADVERTISEMENT
Protes tersebut meluas ke bagian lain di negara itu. Pengikut al-Sadr turut menyerbu gedung-gedung pemerintah di Nasiriyah dan Hillah. Mereka juga telah menduduki Istana Kepresidenan di Baghdad.
Sebagian demonstran terlihat bersantai di kursi dalam ruang pertemuan di gedung tersebut, sedangkan sebagian lainnya mengibarkan bendera Irak. Sejumlah pengunjuk rasa lain juga bersantai di kolam renang di taman.
Analis mengaku tidak memahami strategi yang dipegang al-Sadr. Selama protes yang meletus pada 2019, dia mengerahkan ribuan orang untuk mendukung gerakan tersebut. Al-Sadr kemudian menarik mereka mundur dan menyerukan 'revolusi reformis yang damai'.
ADVERTISEMENT
"Apa pun artinya, dalam gaya Sadrist yang khas, selalu ada penarikan kembali yang dapat diprediksi," kata analis dari European Council on Foreign Relations (ECFR), Hamzeh Hadad.
"Yang kedua, dan dugaan yang lebih menakutkan seputar ini adalah bahwa dia memberi para pengikutnya persetujuan untuk melakukan apa pun yang mereka suka," pungkasnya.
Kendati demikian, al-Sadr telah mengumumkan aksi mogok makan untuk memprotes kekerasan yang menyelimuti negara tersebut.
"[Al-Sadr] telah mengumumkan mogok makan, sampai kekerasan dan penggunaan senjata berhenti," cuit ketua partai al-Sadr, Hassan al-Athari, dikutip dari Iraqi News Agency.
"Apa pun yang terjadi, komunitas korup tidak memberikan pembenaran kepada siapa pun untuk menggunakan kekuatan," lanjutnya.