Profil Usmar Ismail, Bapak Perfilman yang Jadi Pahlawan Nasional

10 November 2021 12:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail.
 Foto: Dok. Kemdikbud
zoom-in-whitePerbesar
Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail. Foto: Dok. Kemdikbud
ADVERTISEMENT
Usmar Ismail menjadi satu dari empat tokoh yang dianugerahi pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi dalam peringatan Hari Pahlawan Nasional 2021. Usmar Ismail selama ini dikenal sebagai sutradara film, sastrawan hingga wartawan nasional.
ADVERTISEMENT
Usmar Ismail menjadi pahlawan nasional yang mewakili DKI Jakarta. Ia dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional bersama tiga tokoh lainnya, yakni Tombolatutu (Sulawesi Tengah), Sultan Aji Muhammad Idris (Kalimantan Timur), dan Raden Aria Wangsakara (Banten).

Seperti apa profil Usmar Ismail?

Dikutip dari laman Badan Bahasa Kemdikbud, Usmar merupakan pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 20 Maret 1921. Ia lahir dari pasangan Datuk Tumenggung Ismail yang seorang guru sekolah kedokteran di Padang, dan ibunya bernama Siti Fatimah.
Ia menempuh pendidikan sekolah dasar dan menengah di Batusangkar dan Padang, lalu melanjutkan SMA di Yogyakarta. Usmar kemudian melanjutkan lagi pendidikannya ke University of California, Los Angeles, Amerika Serikat.

Tertarik Dunia Sastra

Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail. Foto: ANTARA/HO-Museum Penerangan Kominfo
Ketertarikannya pada dunia sastra sudah terlihat sejak bangku SMP dan SMA. Bahkan, kakaknya bernama Abu Hanifah juga terjun ke dunia tersebut dengan nama pena El Hakim.
ADVERTISEMENT
Saat SMP, ia bersama sejumlah temannya termasuk Rosihan Anwar sempat ingin menampilkan suatu pertunjukan pada perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota Ratu Wilhelmina di Pelabuhan Muara, Padang. Usmar ingin menyajikan suatu pertunjukan dengan penampilan yang gagah, unik, dan mengesankan. Namun, rencana itu batal karena baru sampai saat matahari tenggelam dan mereka hampir pingsan karena kelelahan mengayuh perahu.
Meski rencana tersebut gagal, momen itu menjadi pertanda Usmar Ismail memang berbakat menjadi sutradara, yang mempunyai daya khayal untuk menyajikan tontonan yang menarik dan mengesankan.
Dan ketika duduk di bangku SMA di Yogyakarta, Usmar mulai mendalami pengetahuan dramanya dan aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya. Ia juga mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah.
ADVERTISEMENT
Bakatnya terus berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Di tempat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.
Pada tahun 1943, Usmar Ismail bersama abangnya, El Hakim, dan bersama Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta H.B. Jassin mendirikan kelompok sandiwara yang diberi nama Maya. Maya mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat, yang menjadi cikal bakar lahirnya teater modern di Indonesia.
Beberapa pertunjukan sandiwara yang berhasil dipentaskan antara lain Taufan di Atas Asia (El Hakim), Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail), Mekar Melati (Usmar Ismail), dan Liburan Seniman (Usmar Ismail).
Sesudah masa proklamasi, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta, lalu sempat mendirikan surat kabar 'Rakyat'. Setelah hijrah ke Yogyakarta, Usmar juga sempat mendirikan harian 'Patriot' dan bulanan 'Arena' di sana.
ADVERTISEMENT
Saat menjalankan profesi sebagai wartawan itulah, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi. Ia juga pernah menjadi wartawan politik di kantor berita Antara.

Terjun ke Dunia Perfilman

Ilustrasi membuat film. Foto: Getty Images
Setelah menjadi wartawan, suami Sonja Hermien Sanawi itu pun mulai menaruh minatnya pada dunia film. Semasa tinggal di Yogya, hampir setiap pekan ia berdiskusi tentang seluk beluk film bersama teman-temannya di Stasiun Tugu, seperti Anjar Asmara, Armijn Pane, Sutarto, dan Kotot Sukardi.
Berawal dari tawaran Anjar Asmara sebagai asisten sutradara film 'Gadis Desa' yang dirilis pada 1949, berlanjut pada film-film lain yang ia sutradarai sendiri.
Sepanjang hidupnya, ia telah membuat lebih dari 30 film. Beberapa karya Usmar Ismail antara lain Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Yogya (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Krisis (1953), Kafedo (1953), Lewat Jam Malam (1954), Tiga Dara (1955), dan Pejuang (1960). Untuk film Darah dan Doa menjadi film pertama yang resmi diproduksi Indonesia sebagai negara berdaulat.
ADVERTISEMENT
Pada 2 Januari 1971, Usmar Ismail meninggal dunia akibat stroke. Ia meninggal di usia hampir 50 tahun dan dimakamkan di TPU Karet Bivak.
Dan untuk mengenang jasa Usmar Ismail di dunia film, pemerintah mengabadikan namanya pada sebuah gedung perfilman di Kuningan, Jakarta Selatan, yang menjadi Pusat Perfilman Usmar Ismail.