Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Zuhur baru saja lewat ketika para pimpinan dan deputi di KPK berkumpul di ruang rapat lantai 15 Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (4/9). Mereka tengah membahas kasus dugaan gratifikasi penggunaan pesawat jet pribadi oleh putra bungsu Presiden Jokowi , Kaesang Pangarep, dan istrinya, Erina Gudono, ke Amerika Serikat pada Agustus lalu.
Rapat siang itu hendak mengambil keputusan apakah Kaesang perlu dipanggil untuk diklarifikasi. Menurut sumber kumparan yang mengetahui jalannya rapat itu, sikap pimpinan KPK soal Kaesang terbelah menjadi dua. Ada yang mendorong Kaesang untuk dipanggil, namun ada yang tidak setuju.
Jubir KPK Tessa Mahardika tak menampik ada perdebatan itu. Kepada kumparan, Kamis (5/9), ia berkata, “Saya menyebutnya diskusi, sangat dinamis. Semua orang memberikan pandangan masing-masing [dalam rapat itu].”
Perbedaan pandangan di tingkat pimpinan memang tampak ketika KPK memutuskan menangani kasus ini. Dua pimpinan KPK, Nawawi Pomolango dan Alexander Marwata, sedari awal menyatakan Kaesang perlu diklarifikasi oleh Direktorat Gratifikasi.
Kaesang dinilai punya keterkaitan dengan penyelenggara negara, yakni ayahnya, Jokowi; kakaknya yang eks Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka; serta kakak iparnya, Wali Kota Medan Bobby Nasution.
“Meskipun seseorang itu bukan penyelenggara negara, tetapi kami menduga ada kaitannya dengan penyelenggara negara,” ujar Alex, Jumat (30/8).
Namun, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron berpendapat Kaesang tak bisa dipanggil karena bukan penyelenggara negara sesuai Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di samping itu, kata Ghufron, KPK bersifat pasif dalam penanganan laporan gratifikasi.
“Misalnya Anda bupati, wali kota, itu Anda yang melapor ke kami dan kami yang periksa, bukan kami yang mendatangi,” kata Ghufron.
Pada akhirnya, rapat memutuskan KPK tak perlu memanggil Kaesang untuk diklarifikasi. KPK memilih menangani kasus ini dengan menindaklanjuti laporan pengaduan terhadap Kaesang yang masuk ke Direktorat Penerimaan Layanan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM).
“Laporannya sudah sampai di tahap penelaahan. Direktorat Gratifikasi mendukung apa saja bahan yang dimiliki untuk diserahkan ke PLPM,” ucap Tessa.
Geger karena Foto Jendela di Medsos Erina
Riuh dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi bermula dari unggahan foto Erina Gudono di media sosialnya pada 18 Agustus. Menantu Jokowi itu memperlihatkan jendela pesawat ‘tak biasa’ dengan keterangan “USA here we go”. Erina ketika itu menuju AS untuk menempuh program Master of Science di Fakultas Social Policy and Practice University of Pennsylvania.
Pada unggahannya yang lain, Erina menampakkan kegiatannya mempelajari riset soal keadilan sosial untuk mendukung kuliahnya. Tema riset itu bagi warganet dianggap tak cocok dengan profil Erina maupun keluarga Jokowi, sebab dalam kurun waktu itu ada upaya untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi yang salah satunya agar Kaesang bisa maju jadi cawagub di Pilkada.
Belum lagi unggahan Erina di AS soal roti seharga Rp 400 ribu, telur dadar Rp 500 ribu, dan stroller bayi yang ditaksir senilai puluhan juta rupiah. Deretan unggahan itu dianggap tak bijaksana dan membuat Erina (serta keluarga Jokowi) dituding tidak peka dengan kondisi ekonomi mayoritas rakyat Indonesia.
Usut punya usut, dari jendela pesawat yang ‘tak biasa’ itu, terungkap perjalanan Kaesang dan Erina ke AS menggunakan jet pribadi Gulfstream G650ER. Pesawat dengan harga baru senilai USD 60–80 juta atau Rp 1 triliun itu teregistrasi dengan nomor N588SE.
Kaesang dan Erina bertolak ke AS pada Minggu, 18 Agustus, melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Keduanya ditemani kakak Erina, Nadya Gudono, serta seorang petinggi perusahaan pemilik pesawat tersebut. Selain penumpang, terdapat 4 kru di penerbangan itu (2 pilot dan 2 awak kabin).
Dari Halim, pesawat itu transit di Bandara Internasional Chubu Centrair, Nagoya, Jepang, sebelum kemudian melintasi Samudra Pasifik menuju Los Angeles, AS.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menyebut tarif Gulfstream G650ER berkisar Rp 90 juta sampai Rp 150 juta per jam jika dipakai langsung oleh pemiliknya. Tetapi jika sewa, tarifnya jauh lebih mahal, sekitar Rp 200 juta sampai Rp 300 juta per jam.
Tarif yang tak jauh beda juga tampak di situs Air Charter Advisors. Biaya terbang dengan Gulfstream G650ER dipatok USD 17.000–19.750 atau Rp 262 juta hingga Rp 305 juta.
Artinya, jika perjalanan ke Los Angeles ditempuh dengan durasi 16 jam, biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai Rp 2,4 miliar (jika pesawat milik sendiri) atau Rp 4,8 miliar (bila pesawat disewa).
Lantas siapa pemilik jet pribadi itu?
Merujuk RZJets, situs yang menghimpun data kepemilikan jet pribadi, tercatat bahwa Gulfstream G650ER bernomor N588SE sempat dimiliki Garena Online (Pvt) Ltd, pengembang game di bawah Sea Limited asal Singapura. Sea juga merupakan induk usaha dari e-commerce Shopee.
Pesawat yang dibuat tahun 2020 itu tercatat sebagai milik Garena pada 7 Juli 2021. Setelahnya pada 29 Desember 2022, kepemilikan pesawat itu dialihkan kepada trustee atau badan pengelola harta. Berdasarkan situs pelacak penerbangan adsbexchange maupun flightaware, trustee yang mengelola pesawat tersebut adalah Bank of Utah. Entitas perbankan itu telah mengelola sekitar 2.000 jet pribadi yang teregistrasi di AS.
Gerry Soejatman berpandangan pengalihan kepemilikan kepada trustee merupakan hal wajar dalam bisnis jet pribadi. Menurutnya, kondisi ini terjadi karena pemilik sesungguhnya tidak ingin repot dengan masalah finansial pesawat seperti potensi penurunan nilai jual. Lagipula, walau diserahkan ke trustee, manfaat pesawat tetap bisa dirasakan pemilik aslinya.
Dalam kasus Gulfstream bernomor N588SE, sekalipun kepemilikan telah dialihkan ke perbankan yang berbasis di AS, pesawat itu terparkir di Bandara Seletar, Singapura.
“Semisal saya punya pesawat, karena tidak mau urus kerepotannya, lalu saya jual ke trustee. Trustee memiliki [pesawat] tapi benefitnya untuk saya. Lalu saya bayar perusahaan manajemen untuk komunikasi dengan trustee dan menjaga kelaikan pesawat. Kalau saya mau terbang, tinggal omong ke manajemen untuk disiapkan [pesawatnya],” jelas Gerry.
Kaesang dan Erina disinyalir tidak hanya sekali menggunakan pesawat tersebut. Dalam sebuah video yang beredar, keduanya pernah turun dari pesawat yang sama di Bandara Adi Soemarmo, Solo.
Video tersebut diduga Gerry diambil pada 25 Agustus 2023. Dari penelusurannya, pesawat itu tiba di Solo pukul 14.45 WIB usai terbang dari Denpasar, Bali, sekitar satu jam sebelumnya, pukul 14.50 WITA (13.50 WIB).
Kemudian dari Solo, pesawat lanjut terbang ke Halim dan berakhir di Bandara Seletar, Singapura, pada 26 Agustus 2023.
Selain tanggal 25 Agustus 2023, Gulfstream N588SE dalam catatan Gerry juga pernah terbang ke Solo 2 kali selama setahun terakhir, yakni 17 September 2023 dan 7 Juli 2024. Rute pada dua penerbangan itu seluruhnya berasal dari Halim, Jakarta. Namun tak bisa diketahui apakah dua penerbangan itu juga mengangkut Kaesang atau keluarga Jokowi.
“Manifes penerbangan tidak bisa sembarangan dibuka-buka karena menyangkut privasi,” kata Gerry.
Ia berpandangan, memiliki atau menaiki jet pribadi bukanlah masalah jika diperoleh dengan cara yang tidak melanggar hukum. Di samping itu, sebetulnya ada etika dalam menggunakan jet pribadi, yakni tidak sembarangan mengunggah foto apabila tidak mendapatkan persetujuan pemilik. Alasannya: karena esensi menggunakan jet pribadi adalah privasi.
“Jangan ada asumsi kalau orang punya private jet berarti dia punya sesuatu hal buruk yang sedang ditutupi. Belum tentu. Kalau dia orang kaya dan menghargai privasi, apa salah? Kalau ada orang melakukannya untuk transaksi suap, utang budi gratifikasi, nah itu di luar urusan penerbangan,” papar Gerry.
KPK Turun Tangan tapi Dianggap Gamang
Ramainya desakan publik untuk menelusuri fasilitas jet pribadi yang dipakai Kaesang membuat KPK turun tangan. KPK tengah mengusut apakah fasilitas tersebut bisa dikategorikan sebagai gratifikasi atau tidak.
Di tengah proses itu, para politisi di barisan koalisi Prabowo-Gibran—termasuk sang ipar Bobby Nasution—membela Kaesang. Mereka menganggap Kaesang tidak bisa diusut karena bukan penyelenggara negara.
“KPK jangan bikin gaduh yang enggak perlu. Kaesang sampai saat ini tidak dalam status sebagai penyelenggara negara atau pejabat negara,” kata politisi Demokrat di Komisi III DPR, Benny K Harman, Rabu (4/9).
Namun, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman membantah argumen itu. Ia menyatakan seseorang yang bukan penyelenggara negara tetap bisa diusut secara hukum jika ditemukan bahwa fasilitas yang ia terima terkait dengan penyelenggara negara. Ini karena modus gratifikasi sering kali tidak menyasar penyelenggara negara saja, tetapi melalui keluarga atau orang di sekelilingnya.
“Para pejabat tahu betul bahwa rekening mereka, nomor mereka dipantau. Sehingga ketika melakukan korupsi sering kali menggunakan nominee atau pinjam nama kepada anak, istri, saudara, kerabat, anak buah, ajudan, dsb. Secara hukum tidak jadi soal lewat siapa pemberian itu diberikan, yang terpenting apakah pemberian tersebut memiliki keterkaitan dengan penyelenggara negaranya,” jelas Zaenur.
Senada, pakar hukum Universitas Andalas Charles Simabura menyatakan, pemberian gratifikasi kepada orang di sekeliling pejabat negara erat kaitannya dengan konflik kepentingan sehingga KPK seharusnya mengecek apakah penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Kaesang sesuai dengan profilnya atau tidak.
“Apakah menggunakan biaya pribadi dsb. Kalau bukan menggunakan biaya pribadi tetapi menggunakan fasilitas dari pihak swasta, harus dilihat sejauh mana punya keterkaitan dengan jabatan bapaknya (Jokowi) atau kakaknya (Gibran),” kata Charles.
KPK sedianya berniat memanggil Kaesang untuk diklarifikasi mengenai penggunaan jet pribadi tersebut, namun batal dan memilih mengusut melalui mekanisme laporan yang masuk.
Charles berpendapat, jika KPK punya intensi untuk proaktif dalam pencegahan korupsi, seharusnya Kaesang tetap dipanggil. Kaesang perlu diklarifikasi mengenai sumber biaya penggunaan jet pribadi, serta apakah ada konflik kepentingan atau dugaan gratifikasi dalam fasilitas itu.
Kini dengan keputusan mengusut via mekanisme pengaduan, KPK dinilai hendak bersikap pasif dengan mengalihkan pembebanan pembuktian kepada masyarakat yang melapor.
“Setelan pasif ini menunjukkan KPK gamang menghadapi anak presiden,” nilai Charles.
Di sisi lain, KPK menekankan bahwa keputusan mereka untuk tak melakukan klarifikasi kepada Kaesang bukan karena tekanan.
“KPK bekerja tidak dalam tekanan,” tegas Tessa.
Zaenur menilai, pengusutan dugaan gratifikasi jet pribadi Kaesang memang lebih baik melalui mekanisme laporan secara pro justitia ketimbang klarifikasi namun tak ada tindak lanjut.
Menurut Zaenur, jika KPK serius mengusut laporan itu, apalagi sudah tahap penyelidikan bahkan penyidikan, maka seluruh pihak terkait bisa diperiksa. Walau demikian, ia memahami kekhawatiran publik bahwa kasus ini akan menguap. Terlebih, usai UU KPK direvisi pada 2019, KPK tak lagi independen karena merupakan bagian dari rumpun eksekutif yang berada di bawah Presiden
Kalaupun tidak diusut sekarang, Zaenur mengingatkan bahwa kasus ini bisa digas di masa mendatang usai Jokowi tak lagi menjabat.
“Perlu diingat, pemerintahan Jokowi kurang dari dua bulan. Angin politik bisa berubah arah setiap saat. Indonesia punya 18 tahun masa kedaluwarsa penuntutan tipikor, [sehingga] kalau sekarang belum dapat diproses secara hukum, barangkali nanti di kemudian hari,” ujarnya.
Dua Laporan untuk Kaesang
Sejauh ini sudah ada dua laporan dugaan gratifikasi terhadap Kaesang yang masuk ke KPK pada akhir Agustus. Kedua laporan itu berasal dari dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun dan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Dalam laporannya, Ubedilah menyertakan beberapa dokumen seperti data beberapa perjalanan Kaesang menggunakan jet pribadi hingga data kepemilikan pesawat. Ia juga menagih tindak lanjut laporannya terhadap Kaesang dan Gibran di KPK pada Januari 2022.
Saat itu, Ubedilah melaporkan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terkait bisnis Gibran dan Kaesang dengan sebuah grup bisnis yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan.
“Saya minta, buka kembali data laporan saya, masih ada atau enggak? Dibuka lagi, ternyata ada. Artinya berpotensi untuk dibuka kembali. Tinggal KPK atau komisionernya mau atau enggak [mengusut],” ujar Ubedilah.
Sementara itu, Boyamin melampirkan bukti nota kesepahaman (MoU) antara Pemkot Surakarta dengan PT Shopee International Indonesia pada 23 April 2021. Shopee merupakan anak usaha Sea Ltd. Adapun nota kesepahaman itu diteken Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka dan Direktur Shopee International Indonesia, Handhika Wiguna Jahja.
Boyamin menyebut isi kerja sama itu seputar pemberdayaan UMKM di Solo serta pembukaan kantor cabang Shopee maupun gedung Garena di Solo.
Semasa Gibran menjabat Wali Kota Solo, terdapat beberapa proyek Shopee di sana. Pada Mei 2021, Shopee membuka Kampus UMKM Shopee Ekspor di kawasan Banjarsari, Surakarta.
Lima bulan kemudian, Oktober 2021, Shopee membuka kantor di Solo Paragon. Berikutnya pada akhir 2021, e-commerce oranye itu membuka Shopee Solo Creative and Innovation Hub di Solo Technopark. Adapun anak usaha Sea Ltd lainnya, Garena, juga membuka Garena Gaming and Community Hub di tempat yang sama.
Tahun berikutnya, pada Juni 2022, Shopee bekerja sama dengan Pemkot Surakarta dan Kedubes RI di Paris mengadakan program Java in Paris. Program ini menampilkan ratusan produk UMKM Solo di Le BHV Marais, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Prancis.
Boyamin meminta KPK menelusuri apakah kerja sama dan proyek-proyek tersebut ada kaitannya dengan penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Kaesang.
“Semisal kerja samanya benar, pengelolaannya benar, tapi tetap tidak boleh penyelenggara negara atau keluarganya mendapatkan kickback atau imbalan dalam bentuk apa pun. Dalam konteks ini, Kaesang versi saya dapat tiket pesawat, karena ia bisa naik pesawat yang diduga pesawatnya Shopee dari Jakarta ke Los Angeles,” kata Boyamin.
Jerat Pasal Gratifikasi Jet Pribadi
Jubir KPK Tessa Mahardika menyebut pengusutan perkara melalui jalur pengaduan masyarakat melewati tiga tahapan: 1) Verifikasi terhadap pelapor dan dokumen yang dilampirkan; 2) Penelaahan; 3) Pengumpulan informasi.
Ketiga tahapan tersebut memakan waktu sekitar 1,5 bulan. Sejauh ini, laporan terhadap Kaesang sudah masuk tahap kedua, yakni penelaahan. KPK tengah menimbang apakah laporan itu bisa ditangani atau tidak; apakah termasuk unsur penyelenggara negara atau tidak; serta apakah mengandung unsur tindak pidana korupsi atau tidak.
Dalam kasus ini, Zaenur menilai jerat pidana terbuka dengan menerapkan pasal gratifikasi, sebab dalam Bab Penjelasan di UU Tipikor, bentuk gratifikasi bermakna luas mulai dari pemberian uang hingga tiket perjalanan.
Untuk menerapkan pasal gratifikasi, harus membuktikan apakah dugaan itu terkait dengan penyelenggara negara di sekitar Kaesang, yakni Jokowi sebagai Presiden atau Gibran saat menjabat Wali Kota Solo.
Mengenai dugaan Kaesang menggunakan pengaruhnya (trading in influence) sebagai keluarga pejabat untuk mendapatkan fasilitas, Zaenur berpendapat potensi itu ada. Hanya saja, delik korupsi pada Pasal 18 Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) itu belum diadopsi ke UU Tipikor.
Zaenur melanjutkan, jika KPK memutuskan kasus ini masuk tahap penyelidikan atau penyidikan, bisa saja dugaan korupsinya tidak sekadar gratifikasi, melainkan suap.
Apabila demikian, perlu dicari alat bukti terkait pemberian fasilitas pesawat atau servis-servis lain terkait operasional perusahaan di Solo. Selain itu, sosok yang diusut tidak hanya terfokus pada Kaesang, tetapi juga perlu menelusuri keterlibatan Jokowi atau Gibran sebagai penyelenggara negara.
“Apakah itu secara politik memungkinkan? Kalau sekarang mungkin mustahil. Harus menunggu arah angin berubah dari arah angin ke Solo menjadi ke luar Solo,” ujar Zaenur.
Charles Simabura berpendapat, KPK bisa menggunakan preseden kasus dua eks pejabat Bea Cukai dan satu eks pejabat Kemenkeu sebagai pintu masuk di perkara Kaesang. Ketiganya diusut KPK usai geger flexing harta di media sosial. Eks Kepala Bea Cukai Yogya Eko Darmanto divonis 6 tahun penjara, mantan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono divonis 10 tahun bui, dan eks pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun dihukum 14 tahun penjara.
“Ini bisa jadi pintu masuk untuk menyasar ‘kewajaran’ harta si anak, ‘kewajaran’ harta dari keluarga atau bapaknya. Pada kasus Kaesang, bisa saja orang mengatakan bahwa itu harta dia. Yang harus dilihat: Perolehan hartanya sesuai enggak dengan profil usahanya? Kami mau uji pernyataan KPK bahwa semua sama di hadapan hukum,” kata Charles.
Sejauh ini, Kaesang belum memberikan pernyataan mengenai dugaan gratifikasi fasilitas jet pribadi yang ia gunakan. Ketua Umum PSI itu menghindar ketika dimintai keterangan pada Rabu (4/9). Sementara itu, sejumlah politikus PSI yang dihubungi kumparan juga tidak merespons.
Sebelumnya, Minggu (25/8), Sekjen PSI Raja Juli Antoni juga enggan menjawab soal dugaan gratifikasi tersebut. “Saya no comment ya terhadap hal itu. Saya bukan juru bicaranya Mas Kaesang Pangarep. Saya pengurus partai.”
Media Singapura The Straits Times telah mencoba mengonfirmasi mengenai dugaan fasilitas jet pribadi untuk Kaesang kepada Sea Limited, namun tak mendapat respons.
Pukat UGM mengingatkan dampak-dampak negatif yang bakal muncul jika KPK tak serius menangani kasus ini. Kepercayaan publik akan semakin turun terhadap KPK, dan pada akhirnya kepercayaan terhadap proses penegakan hukum akan ikut tergerus.
“[Jika tidak diusut] bisa menjadi preseden ke depan dan para penyelenggara negara bisa semakin serampangan, tidak menjaga diri, menerabas UU, menerabas etik. Para penyelenggara negara akan semakin membabi-buta dalam melakukan abuse of power dan akhirnya rakyat yang dirugikan,” tutup Zaenur.