Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Quraish Shihab, Sekeluarga Memilih Melepas Gelar Habib
13 Januari 2017 16:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Tak sembarang orang bisa jadi habib. Ini bukan gelar yang datang dari langit atau karena menang lotre. Habib ialah gelar yang disematkan kepada orang-orang yang punya pertalian darah, yang memiliki garis keturunan, dengan Nabi Muhammad. Bahkan tak cuma itu.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, habib berarti “orang yang mencintai.” Meskipun demikian, menjadi habib tidak sesederhana arti harfiahnya.
“Pengertiannya bukan hanya orang yang mencintai, tapi termasuk orang yang dicintai, alias jadi Al-Mahbub,” kata Habib Ahmad Muhammad bin Alatas, Ketua Maktab Nasab Rabithah Alawiyah --organisasi pencatat silsilah habib di Indonesia-- kepada kumparan, Rabu (11/1).
Menjadi habib bukan perkara mudah. Ada kriteria dan mekanisme yang harus dipenuhi. Mereka mesti menyerahkan daftar silsilah turunan Rasul hingga tujuh tangga keluarga ke atas. Berbagai syarat administrasi pun wajib dipenuhi. Semua itu diatur oleh Rabithah Alawiyah.
Habib, di kalangan Arab-Indonesia, lebih menjadi titel kebangsawanan orang-orang Timur Tengah kerabat Nabi Muhammad SAW --dari keturunan putri Rasulullah, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib.
ADVERTISEMENT
Menjadi habib di Indonesia menjamin derajat tersendiri di tengah masyarakat. Imej sebagai keturunan Nabi masih menjadi hal istimewa di negara berpenduduk muslim terbesar ini.
Meski demikian, tak semua memandangnya jadi hal utama. Contohnya Quraish Shihab.
Quraish Shihab, akademisi, mufasir, dan menteri agama era Soeharto itu sesungguhnya punya semua persyaratan untuk menjadi seorang habib.
Quraish merupakan cucu dari Habib Ali bin Abdurrahman, habib asli asal Hadhramaut, Yaman.
Tak hanya dari segi silsilah, Quraish juga teruji secara keilmuan. Ia dihormati berbagai kalangan karena kemampuan akademik dan agama yang jempolan.
Namun, Quraish Shihab menolak menggunakan gelar habib. Kenapa?
Dalam buku biografinya, Cahaya, Cinta, dan Canda, Quraish mengatakan bahwa ia keberatan menyandang gelar tersebut karena pengertian dan kesan tentang habib di Indonesia telah berkembang jauh.
ADVERTISEMENT
Quraish sadar ada pergeseran persepsi terkait habib di Indonesia. Di Indonesia, habib berkembang menjadi sebuah kesan. Yakni, kesan menjadi orang yang berilmu wahid dan dekat dengan Rasul.
Quraish juga mengkhawatirkan adanya kemungkinan asosiasi Rasul dengan dirinya.
Singkatnya, gelar habib di Indonesia menurut Quraish terkesan “mengandung unsur pujian.”
Maka ia berkukuh menolak memakai gelar habib, meski berhak.
Quraish berpandangan, mereka yang pantas memanggul gelar habib, selain karena faktor keilmuan dan silsilah, harus pula dilihat akhlaknya.
“Saya merasa, saya butuh untuk dicintai, saya ingin mencintai. Tapi rasanya saya belum wajar untuk jadi teladan. Karena itu saya tidak, belum ingin dipanggil Habib,” ujar Quraish halus.
Quraish juga enggan menyandang gelar kiai. Terlebih sang ayah, Habib Abdurrahman, mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tidak menonjolkan gelar apapun, apalagi yang berasal dari garis keturunan.
ADVERTISEMENT
Kami, kendati memiliki garis keturunan terhormat
Tidak sekalipun mengandalkan garis keturunan
Keluarga besar Shihab pun demikian. Alwi Shihab dan Umar Shihab, kedua adik Quraish Shihab, juga memilih untuk tidak menggunakan gelar habib.
Alwi mengkhawatirkan adanya fenomena kemunculan habib-habib yang tidak sesuai dengan aturan dan tidak mencerminkan akhlak seorang yang pantas dipanggil habib. Alwi menyebutnya sebagai “inflasi habib,” di mana jumlah habib yang bertambah justru menjadikan nilai mereka turun.
Kami membangun sebagaimana leluhur kami membangun
dan berbuat serupa dengan apa yang mereka perbuat*
Ketiga bersaudara itu sepakat hanya memakai sebutan habib untuk kakek mereka, Habib Ali bin Abdurrahman. Sebab, menurut Quraish, cinta sang kakek demikian besar kepada cucu-cucunya.
ADVERTISEMENT
Maka habib, yang berarti orang yang mencintai, dirasa Quraish sudah tepat untuk kakeknya yang kelahiran Yaman itu.
Lantas Quraish lebih suka dipanggil bagaimana?
“Udah deh nggak usah repot-repot pangil saya habib atau kiai. Panggil saya ustaz saja,” ucapnya tersenyum.
Ustaz berarti “guru,” dan Quraish yang mantan rektor IAIN tak keberatan menjadi sosok yang berbagi ilmu.
*salah satu sajak dalam buku Cahaya, Cinta, dan Canda.