Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“I’m not interested to talk about that.”
Ucapan itu keluar dari mulut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Senin (13/5). Ia enggan menanggapi pertanyaan kumparan soal kisruh pengangkatan 21 penyidik baru KPK.
Pengangkatan itu kembali membuka kembali konflik Internal KPK . Sejumlah penyidik asal Polri di lembaga itu melayangkan surat terbuka kepada pimpinan komisi, April lalu. Mereka memprotes pengangkatan 21 penyelidik menjadi penyidik tanpa melalui tes. Salah satu yang menjadi pokok keberatan adalah penggunaan istilah “rotasi" untuk proses itu.
Para peneken surat menilai term itu tak tepat. Rotasi, berdasarkan Peraturan Pimpinan KPK No 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karier di KPK, merupakan perpindahan personel dari satu kedeputian atau kesekjenan dengan jabatan dan fungsi yang sama. Sementara, penyidik dan penyelidik punya fungsi yang berbeda.
Pengangkatan penyidik tanpa memperhitungkan ketentuan peraturan diduga punya maksud tertentu. “Bahwa perpindahan penyelidik menjadi penyidik tersebut adalah politis untuk menghilangkan ketergantungan dari penyidik sumber polisi,” tulis surat tersebut. Wadah Pegawai KPK juga dianggap punya andil dalam pengangkatan 21 penyelidik menjadi penyidik tersebut.
Upaya mengurangi ketergantungan KPK terhadap penyidik dari eksternal pun tergambar dalam dokumen yang diperoleh kumparan. Dalam lembar disposisi surat permintaan tenaga tambahan penyidik dari Deputi Bidang Penindakan, Laode Muhammad Syarif memberikan catatan agar KPK dapat lebih mandiri dalam menyerap tenaga penyidik.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah membantah ada upaya mengurangi peran personel asal Polri di bagian penyidikan. “Padahal dalam penanganan kasus korupsi, sampai saat ini secara kelembagaan KPK bahkan masih meminta bantuan Polri dan membuka proses seleksi untuk calon Penyidik dari Polri,” kata Febri, pada kumparan Selasa (14/5).
Perseteruan antara penyidik KPK asal Polri dan rekrutan mandiri bukan hal baru di masa kepemimpinan Agus Rahardjo cs. Episode friksi dua kubu penyidik di KPK juga pernah terjadi sebelumnya, saat DPR membentuk Panitia Khusus Hak Angket KPK pada 2017.
Pembentukan Pansus itu dilatari penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap salah satu tersangka kasus bancakan proyek KTP elektronik Miryam S. Haryani. Rekaman itu memuat sesi pemeriksaan eks politisi Hanura tersebut oleh dua penyidik KPK, Novel Baswedan dan Ambarita Damanik.
Dari pemeriksaan tersebut terkuak informasi dugaan pertemuan sejumlah penyidik KPK termasuk Direktur Penyidikan KPK saat itu, Irjen Aris Budiman, dengan beberapa anggota Komisi III DPR. Aris diduga meminta uang Rp 2 miliar untuk “mengamankan” kasus Miryam.
Tak terima dengan tuduhan itu, Aris pun muncul dalam Rapat Dengar Pendapat Pansus, Agustus 2017. Padahal, pimpinan KPK sudah menginstruksikan agar Aris tak memenuhi undangan Pansus.
"Tuduhan berkaitan menerima dua miliar bagi saya itu luar biasa ini menghancurkan karakter saya keluarga, jadi saya tidak pernah ketemu dan saya jamin diri saya tidak pernah menerima uang dua miliar," kata Aris di depan peserta Pansus saat itu.
Ketegangan antar penyidik di tubuh KPK juga semakin panas kala Aris mengorek perseteruannya dengan anak buahnya. Pangkal masalahnya adalah rencana Aris mengirim nota dinas permintaan pengangkatan Perwira Tinggi Polri menjadi Kepala Satuan Tugas Penyidikan kepada pimpinan KPK.
Rencana Aris mendapat tentangan di internal KPK. Salah satu orang yang mempertanyakan rekrutmen tersebut adalah Novel Baswedan. Novel berpendapat, permintaan Perwira Tinggi Polisi menjadi Kepala Satuan Tugas Penyidikan tidak sesuai prosedur KPK.
Perbedaan pendapat itu memuncak ketika Novel mengirimkan email yang mempertanyakan integritas Aris. Tak terima dengan hal itu, Aris melaporkan Novel Baswedan ke Polda Metro Jaya. Singkatnya, Novel ditetapkan sebagai tersangka dugaan pencemaran nama baik.
Adapun KPK mengganjar tindakan Novel dengan surat peringatan 2. Aris juga dikabarkan mendapat sanksi dari KPK terkait kehadirannya dalam rapat Pansus Komisi III DPR. Namun hingga saat ini KPK tak mengungkap rincian sanksi itu.
Benturan antar kubu, menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, berpotensi menjadi masalah bagi KPK. Ia menilai, polarisasi di antara penyidik dapat memengaruhi kelancaran penanganan kasus-kasus. Adnan pun mencontohkan kasus perobekan buku merah.
Dalam buku merah tersebut, diduga terdapat catatan aliran uang dari Basuki ke pejabat Polri. Halaman yang memuat transaksi itu diduga dirobek oknum penyidik KPK berlatar polisi. Pihak Polri sudah menampik adanya transaksi tersebut. Adnan Topan menilai, keadaan semacam ini di tubuh KPK tidak bisa dibiarkan.
“Kasus itu mencerminkan salah salah satu bukti adanya konflik kepentingan yang muncul dan bisa mengganggu proses penegakan hukum apabila memang para pegawainya itu punya loyalitas ganda,” kata Adnan.
Ia menilai, perbedaan kepentingan ini ke depannya berpotensi meruntuhkan integritas KPK. “Idealisme, kredibilitas, integritas institusi itu yang kemudian dipertaruhkan. Kalau itu yang terjadi dan terus menerus, maka menggerus institusi KPK.” kata Adnan
Sementara itu, dosen hukum Universitas Indonesia yang pernah menjabat pelaksana tugas pimpinan KPK, Indriyanto Seno Aji menjelaskan keberagaman latar tenaga personel di KPK tidak bisa dinafikan. Ia merujuk pada Undang-Undang KPK Tahun 2002 yang mengamanatkan penyerapan sumber daya manusia KPK tak bersifat eksklusif.
“Secara historis dan filosofis memang Polri juga Kejaksaan memiliki eksistensi dan kontribusi sebagai cikal awal institusi dan berkontribusi menjadi Penyidik KPK,” kata Indrianto.
Oleh karena itu, untuk menjaga kekompakan di internal KPK , Indriyanto berharap pimpinan KPK bisa mendisiplinkan anak buahnya. “Salah satu solusi atas dinamika seperti ini dikembalikan ke optimalisasi peran tegas Pimpinan KPK,” kata Indriyanto.