Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Danau selebar 6 hektare sepertinya akan menjadi masalah abadi bagi warga Desa Sanga-Sanga Dalam, Kecamatan Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Danau itu merupakan dua galian bekas tambang dengan kedalaman 40-50 meter. Sudah banyak bencana berpangkal dari lubang itu.
Saat musim hujan, danau itu selalu meluap dan membawa lumpur masuk ke desa. Banjir terbesar yang diingat oleh salah seorang warga, M. Zanuri, terjadi pada 2015. Dinding danau yang berjarak 100 meter dari permukiman itu jebol dan air bah menerjang desa.
“Luapan air bercampur lumpur ini menghancurkan rumah-rumah warga, lahan pertanian, sekolah, dan tempat ibadah. Kondisi di desa-desa Sanga-Sanga saat ini berada dalam kerusakan lingkungan yang parah,” ungkap M. Zanuri, warga Sanga-Sanga Dalam pada Sidang Rakyat, Sabtu (30/5).
Lubang itu hanya salah satu musabab bencana, ada sekitar 50 Izin Usaha Tambang (IUP) di Kecamatan Sanga-Sanga yang sudah berakhir masa izinnya, dan tersisa tiga perusahaan tambang yang beroperasi. Celakanya, IUP yang sudah mati tersebut hanya meninggalkan lubang bekas galian tambang tanpa ada reklamasi lahan.
Dan ironisnya, saat kondisi alam masih terbengkalai, beberapa perusahaan tambang yang telah habis masa izinnya pada 2014 kembali mencuat di April 2018. Mereka hidup lagi.
Lubang itu bukan hanya satu-satunya bencana bagi warga. Sekitar 70 persen lahan di kawasan Sanga-Sanga merupakan Wilayah Kerja Panas bumi (WKP) yang menyisakan bencana lain—kekeringan dan tanah tandus.
Konflik tambang pun sempat meletus. Warga melawan pada Juli 2018 dengan menggelar unjuk rasa di Kantor Dinas Pertambangan Kutai Kartanegara dan Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur.
Mereka meminta lubang sisa tambang itu ditangani melalui reklamasi. Mereka sudah tak tahan sebab ada saja bencana bermula darinya. Tapi apa daya, protes macam ini justru diancam dengan pasal pidana.
“Ada pasal yang mengancam pidana jika menghalang-halangi tambang yang masih aktif. Kami pastikan apabila mereka nekat melakukan penambangan di tempat kami, maka kami siap mengorbankan jiwa dan raga kami untuk keberlangsungan anak dan cucu kami," ujar Zanuri.
"Danau" di Sanga-Sanga ini menjadi bagian dari 1.735 lubang sisa tambang di Kalimantan Timur. Kini harapan untuk menuntut penanganan lubang sisa tambang sendiri kian jauh.
Revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba) menjamin perpanjangan izin perusahaan pertambangan tanpa ada evaluasi perusahaan-perusahaan terkait atas kewajiban mereka terhadap reklamasi dan pascatambang.
Sebaliknya, pemerintah justru menghilangkan pembatasan kawasan eksplorasi tambang seluas 15.000 ha dalam Pasal 83 ayat (c) Revisi UU tersebut. Hal ini memungkinkan perusahaan-perusahaan yang sebelumnya mangkir dari kewajiban pascatambang untuk menciptakan kerusakan lebih luas.
Padahal, lubang bekas galian tambang yang terbengkalai telah menyebabkan korban jiwa. Jatam mencatat, sejak 2011 hingga Oktober 2019, korban tewas di lubang tambang tersebar di Samarinda (21 orang), Kutai Kartanegara (13), Kutai Barat (1) dan Penajam Paser Utara (1). Total kematian akibat lubang tambang periode 2014-2019 pun mencapai 143 nyawa, sebagian besar adalah anak-anak.
Zanuri merasa UU baru itu tak berpihak pada desanya. Baginya penyusunan revisi UU Minerba yang telah dimulai sejak 2015 jelas mengabaikan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pertambangan dan hanya menguntungkan para pengusaha tambang.
Hal tersebut terlihat dari poin-poin yang dibahas seputar kewenangan perizinan, perpanjangan izin, pengaturan terhadap Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang menguntungkan para pengusaha tambang, hingga pembahasan aspek lingkungan, hilirisasi, divestasi dan pengaturan yang diklaim untuk memperkuat BUMN.
Zanuri tak sendirian, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat dalam rentang waktu antara 2014 hingga 2019 terdapat 71 konflik antara masyarakat penolak tambang versus pemerintah dan perusahaan tambang. Kasus-kasus tersebut terjadi pada lahan seluas 925.748 hektare atau mendekati dua kali luas Brunei Darussalam yang berukuran 576.500 hektare.
Pada 2019, JATAM kembali mencatat sejumlah 8 konflik baru yang tak kunjung terselesaikan antara masyarakat penolak tambang versus pemerintah dan perusahaan tambang. Kedelapan kasus tersebut berada pada lahan seluas 192,308 hektare.
Tiga provinsi dengan jumlah konflik tertinggi yakni Kalimantan Timur (14 kasus), Jawa Timur (8 kasus), dan Sulawesi Tengah (9 kasus). Ada pula kasus di pesisir pulau kecil, yaitu Kepulauan Wawonii.
Seiring konflik yang meluas, upaya kriminalisasi dan serangan terhadap warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya pun meningkat tajam. Beragam kekerasan struktural maupun kekerasan fisik terjadi.
Koordinator JATAM, Merah Johansyah, menganggap pengesahan revisi UU Minerba telah mengesampingkan data-data ini. DPR telah meninggalkan kepentingan korban terdampak tambang, kampung Zainul adalah salah satunya.
Ia menyebutkan bengisnya perundangan ini bagi warga terdampak tambang terlihat pada Pasal 162 dan 164 UU Minerba baru. Pasal itu menganggap masyarakat yang menentang kehadiran tambang justru bisa dipidanakan dan dianggap upaya merintangi atau mengganggu usaha tambang. Bahkan diancam hukuman penjara selama 1 tahun.
Selain itu DPR justru menyetujui pasal-pasal yang memberi angin segar pada pengusaha. Misal saja lain dalam satu masa eksplorasi, maka tak akan terkena royalti. Hal ini dianggap berbahaya karena bisa menjadi celah pelanggaran hukum dan eksploitasi berlebihan.
Kemudian pasal 47 (a) revisi beleid tersebut disebutkan bahwa jangka waktu kegiatan operasi produksi tambang mineral logam paling lama adalah 20 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.
Hal serupa juga diberikan pada pertambangan Batubara, meski di Pasal 47 UU sebelumnya, tak ada kata 'dijamin' melainkan kata 'dapat diperpanjang'. Bahkan, dalam pasal 47 (g), pertambangan batu bara yang terintegrasi dengan kegiatan pertambangan dan atau pemanfaatan selama 30 tahun akan dijamin memperoleh perpanjangan 10 tahun
Salah satu pasal yang disorot banyak pihak yakni keberadaan Pasal 169 A dan 169 B yang bisa menjadi karpet merah bagi perusahaan tambang batu bara. Isi pasal tersebut mengatur perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.
Dengan adanya aturan tersebut, pengusaha tambang dapat memperpanjang KK dan PKP2B tanpa perlu melakukan prosesi lelang terlebih dahulu. Diketahui setidaknya ada 7 perusahaan pemegang PKP2B generasi I yang menguasai 70 persen produksi nasional dan kontraknya akan habis, yaitu PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Ptrima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).
Para aktivis dan korban konflik tambang curiga ini sengaja dilakukan di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atas pandemi Corona agar tak menarik perhatian dan protes.
“Bayangkan, di situasi pandemi, eh malah mencuri kesempatan memanfaatkan keadaan untuk meloloskan undang-undang yang isinya 90 persen bukan untuk kepentingan rakyat," ujar Merah Johansyah.
Tak heran, keputusan mengesahkan revisi UU Minerba melahirkan perlawanan dari kelompok masyarakat sipil. Mereka bergabung dalam gerakan Bersihkan Indonesia, menggelar Sidang Rakyat sebagai tandingan atas sidang di DPR yang dirasa tak mewakili suara masyarakat.
Sidang daring ini digelar selama empat hari berturut-turut dari 29 Mei hingga 1 Juni dengan peserta 85 orang dari kalangan akademisi, warga, aktivis, dan tokoh lintas agama. Kurang lebih 10 ribu akun mengikuti persidangan yang ditayangkan melalui puluhan akun YouTube dan Facebook organisasi yang terlibat.
Pada tiap sesi sidang, konflik dan bencana akibat tambang—seperti dialami Zanuri—diungkap. Pendapat seluruh peserta sama, bahwa menggunungnya konflik antara masyarakat penolak tambang dengan pemerintah dan perusahaan tambang tak diiringi dengan instrumen hukum yang prorakyat.
Mereka sama-sama merasa pengesahan RUU Minerba bakal semakin membuat masyarakat di pusaran konflik tambang kian terimpit.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika mengatakan RUU Minerba yang sudah sah kian melenggangkan jalan korporasi tambang untuk mengeksploitasi kawasan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
"Kesemena-menaan korporasi ini dilegalkan oleh hukum, dilegalkan oleh undang-undang, jadi sudah tidak ada lagi ruang untuk rakyat," ucap dia.
Ia khawatir kelak kriminalisasi akibat konflik pertambangan yang terjadi seperti yang dialami petani Batang, petani Indramayu, kasus Tumpang Pitu, Budi Pego, dan lainnya kian langgeng. Represi aparat atas warga, kata dia, kini sudah dilegalkan.
kumparan menghubungi sejumlah anggota DPR yang terlibat pengesahan UU Minerba—mulai dari Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas, Ketua Komisi VII Sugeng Suprawoto, hingga anggota komisi VII Gandung Pardiman—dan hingga artikel ini diturunkan belum mendapat respons. Ketua Panitia Kerja UU Minerba Bambang Wuryanto dan Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno pun menolak berkomentar via telepon, dan meminta wawancara tatap muka di tengah penetapan PSBB DKI Jakarta.
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.