Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Aku pernah bilang, ‘Kalau suamiku enggak malaikat sih mungkin aku enggak seperti ini.’ Karena mungkin enggak banyak laki-laki yang betul-betul bisa paham (pasangannya),” kata Retno saat berbincang dengan tim kumparan di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (4/4).
Ruang untuk berkembang. Itulah yang diberikan sang suami kepada Retno.
“Kalau keluarga, terutama suami, dan anak-anak tidak bisa betul-betul memahami profesi saya ini, yang terjadi mungkin komunikasi yang tidak baik dan sebagainya,” ujar Retno.
Retno dan suaminya, Agus Marsudi, sama-sama lulusan Universitas Gadjah Mada. Retno yang berkuliah jurusan Hubungan Internasional mengambil karier sebagai diplomat , sedangkan sang suami ialah arsitek yang kini memiliki perusahaan konsultan arsitektur.
Sejak memulai karier sebagai diplomat tahun 1986, Retno tahu persis risikonya. Ia tak bisa menjadi seorang ibu yang secara fisik terus ada 24 jam bagi suami dan anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
“Kami (Retno dan Agus) melewati proses dialog yang cukup lama. Kami pacaran lama sekali, tujuh tahun. Jadi dia sudah tahu pekerjaan diplomat seperti apa. Sehingga yang kami bentuk dari awal adalah team work,” kata Retno.
Hingga kini, perjumpaan dengan Agus adalah satu di antara sejumlah hal yang paling Retno syukuri dalam hidup. Agus paham benar dengan tanggung jawab berat yang dipikul Retno, dan itu mengorbankan waktu bersama keluarga.
“Hari ini di rumah, besok di Markas PBB New York,” ujar Retno, menceritakan betapa sibuknya pekerjaan seorang diplomat.
Sering berjauhan tak berarti Retno dan Agus tak saling berkabar. Mereka berkomunikasi untuk memastikan semua baik.
“Paling dia kirim teks, mengingatkan ‘Jangan lupa makan. Sudah olahraga belum?’ Jadi make sure aku baik-baik saja,” kata Retno yang dikaruniai dua putra bersama Agus.
ADVERTISEMENT
Kedua putra Retno kini telah dewasa. Si sulung, Dyota Marsudi, bekerja sebagai direktur eksekutif di sebuah startup. Sementara adiknya, Bagas Adhimurda Marsudi, menjadi dokter dan peneliti di rumah sakit jantung.
“Sekarang agak enteng karena semua bisa disangga bareng-bareng,” kata Retno.
Sejak awal, Retno merancang untuk mendidik anak-anaknya mandiri. “Rasa tanggung jawab saya tanamkan karena saya tidak 24 jam di rumah. Jadi anak-anak harus pandai mengelola hidupnya sendiri, karena hidup mereka itu nanti milik mereka sendiri.”
Alhasil, meski Retno hampir selalu ada di luar rumah untuk bekerja, kedua anaknya tak bertindak sembarangan. Mereka bisa belajar secara mandiri.
“Alhamdulilah, sampai anak-anak selesai sekolah semua, aku enggak pernah (menyuruh) ‘Ayo harus belajar.’ Saya cuma lihatin mereka, dan mereka hanya lapor, ‘Udah selesai Ma ujian, nilainya begini,’” kata perempuan kelahiran 1962 itu.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan untuk hidup mandiri sejak kecil, dibawa kedua putra Retno sampai besar, hingga Dyota lulus dari UI pada 2010 dan Bagas meraih gelar sarjananya di Fakultas Kedokteran UGM tahun 2016.
Satu hal yang juga tak pernah lupa ditanamkan Retno kepada dua putranya: disiplin.
Retno memberi contoh dengan tidak pernah menunda-nunda pekerjaan. “Saya pegang terus kebiasaan disiplin, dan saya coba didik anak-anak untuk juga disiplin.”
Maka, pertanyaan klise “pekerjaan atau keluarga?” sesungguhnya tak lagi relevan bagi Retno. Sebab keduanya berjalan beriringan.
Tiap orang punya cara, dan cara Retno setidaknya cocok untuk dia dan keluarganya.
ADVERTISEMENT