Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
RI-Korsel Dorong EV Paralel Transportasi Umum Guna Hindari ‘Green Congestion’
10 Oktober 2024 19:46 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 3 November 2024 17:39 WIB
ADVERTISEMENT
Indonesia dan Korea Selatan semakin memperkuat kerja sama strategis untuk mempercepat transisi energi , khususnya dalam pengembangan kendaraan listrik (EV).
ADVERTISEMENT
Salah satu fokus utama yang dipaparkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (Bappenas ) adalah pentingnya memastikan pengembangan EV berjalan seiring dengan peningkatan kualitas transportasi umum agar tidak terjadi ‘green congestion’.
Hal ini disampaikan oleh Nizhar Marizi, Direktur Energi, Mineral, dan Sumber Daya Tambang Bappenas, dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea yang diadakan oleh FPCI di Jakarta Selatan, Kamis (10/10).
Menurutnya, meskipun EV berkontribusi terhadap pengurangan emisi, tanpa perbaikan transportasi umum, Indonesia tetap berisiko menghadapi kemacetan yang tak terselesaikan.
“Bappenas ingin transisi ini berjalan paralel. Sebelum EV berkembang, kita sudah mendorong transportasi umum seperti TransJakarta di berbagai kota seperti Makassar dan Surabaya. Karena kita juga enggak mau beralih ke EV emisinya rendah tapi kalau tetap macet bagaimana? Nanti malah jadi 'green congestion',” ujar Nizhar diakhiri tawa.
ADVERTISEMENT
Istilah 'green congestion' yang disampaikan Nizhar merujuk pada potensi masalah kemacetan yang akan terjadi jika EV sudah digunakan secara luas. Maksudnya, tanpa perbaikan transportasi umum, masalah lalu lintas tidak terselesaikan, hanya berubah menjadi 'kemacetan ramah lingkungan'.
Ia berharap, pada 2045, masyarakat tidak hanya beralih ke kendaraan listrik, tapi juga lebih memilih transportasi umum yang efisien dan ramah lingkungan.
Tantangan dalam Adopsi EV dan Pengubahan Perilaku
Meski pemerintah telah memberikan insentif untuk kendaraan listrik, Nizhar menyoroti tantangan terbesar justru terletak pada mengubah perilaku masyarakat.
“Perubahan perilaku itu butuh waktu, tidak bisa tiba-tiba. Kalau kita lihat roadmap net zero emission, BBM akan dibatasi. Pada 2040 atau 2050, mobil yang menggunakan BBM sudah tidak akan ada lagi,” ungkapnya.
Mengubah kebiasaan masyarakat untuk beralih ke EV memerlukan pendekatan bertahap.
ADVERTISEMENT
“Seeing is believing. Orang perlu melihat infrastruktur dan manfaatnya secara langsung sebelum benar-benar beralih,” tambahnya.
Kepala Departemen Bisnis Baru Hyundai Motor Asia Pasifik, Hendry Pratama, mengamini tantangan tersebut. Ia menekankan pentingnya deregulasi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung, seperti charging station.
“Regulasi yang ada saat ini menghambat pembangunan stasiun pengisian, karena ada aturan minimal investasi Rp10 milyar per station. Ini yang sedang kita diskusikan agar solusi lebih praktis dapat diterapkan,” jelas Hendry.
Pentingnya Infrastruktur dan Inovasi dalam Ekosistem EV
Dari perspektif industri, Hyundai mengaku terus mengembangkan inovasi dan infrastruktur untuk mendukung ekosistem EV di Indonesia.
Data menunjukkan perusahaan tersebut telah memproduksi IONIQ5 sejak 2022 dan hingga kini berhasil menjual lebih dari 9.000 unit.
“Kami terus membangun infrastruktur pengisian daya, baik di rumah maupun di tempat umum, agar pengguna EV tidak kesulitan,” kata Hendry.
Selain itu, Hyundai juga berfokus pada solusi untuk baterai bekas, termasuk pengembangan teknologi hidrogen hijau.
ADVERTISEMENT
Hendry pun menekankan pentingnya dukungan pemerintah untuk memperluas infrastruktur pengisian daya dan memberikan insentif bagi produksi baterai berbasis nikel yang dimiliki Indonesia.
“Dengan insentif yang tepat, produsen akan lebih tertarik berinvestasi di ekosistem EV Indonesia,” tambahnya.
Menghadapi Persaingan Global di Pasar EV
Terkait persaingan dengan produsen EV global seperti BYD dari China, Hendry mengakui bahwa pasar EV di ASEAN semakin kompetitif.
“Thailand saat ini memimpin pasar EV di ASEAN, diikuti oleh Indonesia dan Vietnam. Setiap negara punya karakteristik pasar yang berbeda,” jelasnya.
Menurut Hendry, Hyundai siap bersaing melalui inovasi teknologi dan peningkatan kualitas layanan.
“Hyundai memiliki keunggulan dengan teknologi tinggi namun tetap terjangkau, dibandingkan produsen mobil dari Eropa atau Jepang. Kami juga fokus pada pengembangan baterai berbasis nikel dan membangun ekosistem hidrogen,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Bagi kami (Hyundai), ini bukan hanya soal menjual mobil, tetapi juga tentang mencari solusi hijau yang berkelanjutan untuk Indonesia,” pungkas Hendry.