Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mala itu bermula Kamis malam (11/2), sekitar pukul 21.00 WIB. Sebuah pertemuan dihelat oleh kelompok yang menamakan diri Padepokan Tunggal Jati Nusantara di Dusun Botosari, Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi, yang berjarak 8 kilometer ke arah barat dari pusat kota Jember, Jawa Timur.
Kepala desa setempat, Nanda Setiawan, hanya tahu kegiatan tersebut adalah pengajian biasa. Wawan—sapaan sang kades—mengatakan bahwa Padepokan Tunggal Jati Nusantara memang kerap membikin acara setiap Kamis malam atau Jumat Pon dan Wage.
Wawan tak pernah curiga dengan padepokan itu meski tak jelas benar aliran keyakinannya, sebab selama ini tak ada warga yang resah dengan kegiatan Padepokan Tunggal Jati Nusantara, apalagi sampai lapor polisi.
“Kami sering mantau. Menurut saya, [kegiatan padepokan seperti] ngaji, yasinan, dan selawatan itu ya baik-baik saja,” ujar Wawan, Kamis (10/3).
Namun, malam itu ada hal tak terduga. Nurhasan (35), pemimpin Padepokan Tunggal Jati Nusantara, punya rencana buat para pengikutnya di luar kegiatan rutin di rumahnya.
Rembukan terjadi. Nurhasan dan para pengikutnya bersepakat untuk menggelar ritual di Pantai Payangan, lusa. Pantai ini terletak di Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, 30 km ke arah selatan dari Desa Dukuhmencek. Sekitar satu jam perjalanan menggunakan mobil dari kediaman Nurhasan di Dukuhmencek.
Nurhasan berhasil menjaring 24 orang untuk mengikuti ritual ini, termasuk istri kedua dan anaknya sendiri. Menurut lelaki yang pernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia ini, ia tidak memaksa para pengikutnya ikut dalam ritual.
“Sekiranya mampu, mau ikut ya [monggo], tidak ikut ya [tidak apa-apa]. Saya tidak memaksa. Sehingga semua sepakat iuran Rp 20 ribu,” ujar Nurhasan kepada penyidik Polres Jember, beberapa waktu setelah ritual tersebut berakhir bencana.
Menurut Nurhasan, iuran Rp 20 ribu itu dipakai untuk membeli makanan sebagai bekal perjalanan, dan biaya sewa kendaraan roda empat.
Petaka di Tepi Segara
Sabtu (12/2), pukul 18.30 WIB, berangkatlah rombongan Nurhasan ke Pantai Payangan. Baik laki-laki maupun perempuan ikut dalam rombongan itu. Mereka menumpang mobil jenis Elf dan Avanza.
Sesampainya di pantai, rombongan itu turun dari mobil kecuali 4 orang, di antaranya Bu Hasan, ibu Nurhasan yang berusia 55 tahun, dan balita berusia 2 tahun yang merupakan anak Nurhasan. Keduanya bersama dua orang lainnya tinggal di mobil.
Jadi, ujar Kades, total hanya 20 orang yang mengikuti ritual di Pantai Payangan. Mereka mengawali ritual dengan berkumpul di pantai. Di sana, mereka bertemu dengan sejumlah warga, termasuk Saladin, juru kunci makam di Bukit Samboja yang masih satu area dengan Pantai Payangan.
Menurut Saladin, ia bertemu rombongan Nurhasan di Pantai Payangan pukul 23.00 WIB. Saat itu, ia memperingatkan mereka bahwa ombak di pantai sedang besar, dan menyarankan agar ritual tak dilakukan malam itu.
“Saya sudah bilang, jangan mandi di laut karena gelombangnya besar. Setelah itu saya ndak mengikuti [kegiatan mereka]. Saya langsung tidur. Ada sekitar 10 orang [di pantai] sepenglihatan saya,” ujar Saladin kepada kumparan.
Nyatanya, begitu Saladin pergi, peringatannya tak digubris Nurhasan. Ia dan rombongannya berkukuh menggelar ritual di pantai, tepat tengah malam pukul 00.00 WIB. Mereka memang biasa melakukan hal itu di berbagai pantai, mulai dari Probolinggo, Situbondo, Bayuwangi, sampai Bali.
Dalam sebuah video ritual yang telah lampau, tampak Nurhasan berpose seolah memegang sinar bulan sembari memandu ritual di pantai diiringi debur air laut.
Akan tetapi, ritual kali ini punya cerita lain. Kala hari berganti Minggu (13/2), sekitar pukul 02.00 WIB, petaka menghampiri. Rombongan Nurhasan tak menyangka gelombang besar benar-benar akan datang. Dalam sekejap, ombak segara menggulung para peserta ritual.
Salah satu korban selamat, Muhammad Feri, mengatakan bahwa ia terpental menghantam pasir dan karang di sekitar Pantai Payangan saat diterjang ombak. Akibatnya, pria 20 tahun asal Kaliwates itu luka di bagian hidung dan lengan.
Feri sempat menahan arus ombak, tetapi terpental. Beruntung ia bisa berenang dan selamat bersama satu anggota rombongan lain yang terpental satu arus dengannya.
“Saat hendak ke tepi pantai, ada satu orang yang juga memegang kaki saya, jadi dia juga selamat,” kata Feri dengan tatapan kosong sambil mengingat kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu.
Menjelang subuh, korban selamat beserta empat orang yang berjaga di mobil berpencar ke segala arah untuk mencari pertolongan. Dua orang di antara mereka datang ke Bukit Samboja menemui Saladin.
“Baju mereka masih basah. Mereka ngos-ngosan, minta tolong. Saya pikir, [pasti] sudah ada yang tenggelam. Saya langsung lari bawa pelampung, pergi ke pantai. Sampai di sana, orang-orang sudah nangis, ada yang setengah sadar. Sebagian lainnya sudah tenggelam,” tutur Saladin.
Sejumlah warga yang mengetahui kejadian itu lalu meminta tolong aparat. Puluhan petugas kepolisian dan tim SAR pun dikerahkan ke Pantai Payangan. Mereka tiba waktu subuh dan bergegas membantu mencari korban yang tenggelam.
Petugas mengevakuasi 13 korban selamat ke Puskesmas Ambulu untuk mendapat perawatan medis. Di antara korban selamat itu ialah Nurhasan, sang pemimpin ritual. Sementara 11 orang lainnya masih tenggelam di laut.
Matahari terus naik, dan harapan kian tipis. Sore harinya, pukul 15.20 WIB, barulah petugas bisa mengevakuasi 11 korban tenggelam. Tak ada yang selamat di antara sebelas orang itu. Semua meninggal dunia.
“Ditemukan 10 korban yang mengambang dan terdampar ke tepian. Kemudian paling lama mencari sisa satu korban yang ternyata tersangkut di batu karang. Total ada 11 korban [meninggal] yang ditemukan,” ujar Kapolres Jember AKBP Hery Purnomo.
Demi Ketenangan Batin
Setelah insiden maut menimpa para pengikut Nurhasan, terungkap bahwa ritual Tunggal Jati Nusantara di pantai sudah berlangsung lama. Motif mengikuti ritual bermacam-macam. Feri yang sudah setahun ikut ritual, misalnya, ingin memperoleh tubuh kurus.
“Sebelumnya, tubuh saya gemuk, tetapi setelah ikut ritual, tubuh saya jadi kurus. Saya memang niat [ikut ritual] untuk menguruskan badan,” kata Feri.
Pengikut ritual laut itu bukan hanya warga biasa seperti Feri. Ada pula anggota Polsek Pujer, Bondowoso, yang menjadi salah satu korban tewas dalam ritual tersebut, yakni Bripda FD. Menurut Kapolres Bondowoso AKBP Wimboko, anggotanya itu ikut ritual Tunggal Jati Nusantara demi mencari mencari ketenangan batin.
Wimboko mengatakan, kegiatan Bripda FD tak terpantau institusinya lantaran berada di luar daerah hukumnya. Selain itu, banyak anggotanya yang ikut pengajian di sejumlah pondok pesantren, dan tidak semua kegiatan itu menyimpang.
“Bahkan ada yang baik, dari ikut pengajian bisa mengajari orang mengaji, bisa tausyiah. Itu bagian dari pendekatan kepolisian kepada masyarakat,” kata Wimboko kepada kumparan, Rabu (23/3).
Setelah kejadian mengenaskan yang merenggut 11 nyawa di Pantai Payangan, Wimboko baru tahu ada anggotanya yang ikut ritual itu. Di mata Wimboko, Bripda FD sehari-hari merupakan pribadi yang baik dan tidak pernah melakukan pelanggaran disiplin.
“Istrinya biasanya ikut [ritual], tapi pas hari H kejadian [di Pantai Payangan], dia tidak ikut sebab sedang piket di puskemas [tempatnya bekerja],” kata Wimboko, menyebut bahwa Bripda FD sudah cukup lama bergabung dengan Padepokan Tunggal Jati Nusantara, sejak ia belum menikah.
Nasib Tunggal Jati Nusantara
Usai insiden maut di Pantai Payangan, Nurhasan sang pemimpin ritual yang selamat dirujuk dari Puskesmas Ambulu ke RSD dr. Soebandi untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Selang sehari, Senin (14/2), Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Bupati Jember Hendy Siswanto beserta unsur TNI-Polri menggelar rapat di Pendopo Wahya Wibaha Graha. Mereka menerbitkan surat larangan ritual di berbagai lokasi berbahaya.
Rapat itu juga memutuskan untuk melarang aktivitas Tunggal Jati Nusantara sekaligus mengkaji pembubaran padepokan itu yang tidak pernah menginformasikan atau meminta izin organisasi ke pemerintah.
Setelah Nurhasan dinyatakan sehat, Selasa (15/2), Kapolres Jember AKBP Hery Purnomo memerintahkan anggotanya untuk menjemputnya dari dari RSD dr. Soebandi.
Rabu (16/2), Nurhasan ditetapkan sebagai tersangka atas pelanggaran Pasal 359 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Polisi menahan Nurhasan dengan barang bukti berupa beberapa buku mantra, atribut padepokan, pakaian yang dikenakan para korban, sejumlah alat komunikasi peserta ritual, dan dua unit kendaraan yang ditumpangi rombongan ke Pantai Payangan.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jember Aditya Okto Thohari, Rabu (10/3), menyebut bahwa kasus Nurhasan saat ini baru berada pada tahap penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Kini, Padepokan Tunggal Jati Nusantara tinggal nama. Akan tetapi, bagaimana Tunggal Jati Nusantara selama ini bisa menarik pengikut di timur Jawa? Apa sesungguhnya ajarannya? Simak berita di bawah ini!