Rumah Literasi Sidaya, Aksi Nyata IMIP Peduli Pendidikan Sekitar

3 Desember 2024 11:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para siswa di sela-sela waktu belajar di Rumah Literasi Sidaya. Foto: Amrizal Papua/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Para siswa di sela-sela waktu belajar di Rumah Literasi Sidaya. Foto: Amrizal Papua/kumparan
Anak-anak tampak antusias belajar di Rumah Literasi Sidaya di Desa Labota, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Di sini, mereka belajar bahasa Mandarin dan bahasa Inggris dari guru-guru lokal.
Rumah Literasi Sidaya merupakan oase di tengah hiruk pikuk kawasan industri. Terletak di sekitar kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP), Rumah Literasi Sidaya memungkinkan warga sekitar untuk menguasai bahasa Mandarin, sehingga nantinya dapat terserap sebagai tenaga kerja maupun berinteraksi dengan pekerja asing.
Ini merupakan inisiasi PT IMIP sebagai program CSR di sekitar kawasan industri. Rumah Literasi Sidaya memiliki jadwal kursus bahasa Mandarin sebanyak 4 hari seminggu, yakni setiap Rabu, Kamis, Sabtu, dan Minggu. Sementara kelas bahasa Inggris dilaksanakan tiap Senin, Selasa, dan Minggu. “Ketika saya ngobrol dengan warga, di sini tuh membutuhkan banget orang untuk skill bahasa Mandarin. Nah, kebetulan saya sedikit bisa bahasa Mandarin. Terus saya berpikir, ‘Oh, di sini juga tidak ada tempat les, sulit sekali mencari yang bahasa Mandarin’,” jelas Jamilah Akbar–biasa dipanggil Jemi–selaku pengajar bahasa Mandarin IMIP.
Jamilah Akbar, pengajar bahasa Mandarin di Rumah Literasi Sidaya. Foto: Amrizal Papua/kumparan
Para siswanya adalah anak-anak usia sekolah dasar. Namun, akhir-akhir ini, minat belajar bahasa juga tumbuh dari masyarakat usia dewasa yang dikelompokkan dalam kelas umum. Bahkan, beberapa dari mereka berasal dari desa-desa yang jauh. Mereka belajar gratis di sebuah pondok yang dibangun oleh PT IMIP.
“Sangat-sangat menarik menurut saya, ya. Saya juga cukup amaze begitu, karena awalnya orang berpikir, ‘Oh ini China, ada stereotip atau ketakutan bahwa China.’ Ternyata tidak, warga sangat antusias,” ungkap Jemi.
Selain belajar dengan teori dari buku, dirinya mengembangkan pembelajaran lewat permainan-permainan dan model. Jemi sendiri yang menyusun materinya, lalu dicetak untuk para siswa. Dia juga kadang menyiapkan hadiah-hadiah kecil sebagai apresiasi untuk siswa.
Mulai dari anak-anak SD sampai dewasa, semua bisa belajar di sini. Foto: Amrizal Papua/kumparan
Menurutnya, salah satu tantangan besar saat mengajar adalah pelafalan. Tak mudah untuk menyesuaikan pengucapan para siswa sesuai bahasa Mandarin.
“Tantangannya, sih, kepada, menurut saya, ini kan bahasa lidah, ya, lidahnya kita itu kan sangat jauh beda dengan lidahnya orang Tiongkok. Ada beberapa kata-kata yang rasanya orang masih malu atau patah-patah,” kata Jemi.
“Kadang kita yang enggak ada waktu untuk mengajarinya, jadi kami hanya bisa dua atau tiga kali seminggu,” imbuhnya.
Mulai dari anak-anak SD sampai dewasa, semua bisa belajar di sini. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Para siswa, kata Jemi, menikmati belajar percakapan dan menulis. Meskipun menulis Hanzi–aksara Tionghoa–tergolong sulit, namun anak-anak tetap semangat hingga menikmatinya.
Mereka juga antusias melakukan percakapan; biasanya, yang mahir akan mendapat hadiah kecil seperti permen atau snack dari Jemi.
Jemi berharap dengan adanya kelas bahasa gratis ini menjadi modal anak-anak untuk berpendidikan tinggi atau bekerja di masa depan.
“Jangka pendek hanya untuk belajar, tapi jangka panjang mungkin ini bisa menjadi sebuah peningkatan kapasitas buat mereka. Entah mereka nanti akan bekerja, entah mereka nanti mencari beasiswa kuliah. Ini sesuatu yang berharga menurut saya yang disediakan oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada masyarakat. Enggak hanya sekadar bahwa ini bisnis-bisnis, tapi pendidikan menurut saya adalah aset jangka panjang,” tutur dia.
Jemi bercerita soal salah satu siswanya yang berprestasi yang kini bekerja di IMIP sebagai koordinator Rumah Literasi Sidaya. Dia adalah Nurul Padilah.
Perempuan yang akrab disapa Dila itu belajar bahasa Mandarin pada Jemi, lalu kini membantu mengajar para siswa di sana. Sosoknya menjadi panutan anak-anak lain untuk semangat belajar bahasa dan menggapai mimpi.
Nurul Padilah, eks murid Jamilah yang kini ikut mengajar. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
“Dila adalah siswa pertama saya untuk belajar Mandarin, season pertama untuk belajar Mandarin. Dan 8 bulan kemudian, kami butuh koordinator untuk mengajar di sini dan dia sudah bisa. Sekarang dia mengajar di SMK untuk diperbantukan (mengajar) bahasa Mandarin,” kata Jemi.
“Kalau kita mengajar dengan sungguh-sungguh, akan banyak orang yang akan mengambil manfaat dari program ini. Ketika dia (Dila) diterima bekerja di sini, itu momen bagi saya, saya bersyukur sekali menjadi bagian itu,” tambahnya.
Dia berharap program kelas bahasa tak terhenti sampai di sini, melainkan bisa dijangkau lebih banyak orang. Lebih dari sekadar untuk kebutuhan pekerjaan, menurut Jemi, kemampuan bahasa asing adalah kunci segalanya di era global.
“Saya berharap ini akan berlanjut terus di-support oleh perusahaan. Karena kita pengin lebih banyak lagi masyarakat yang bisa mengakses tempat ini,” ujarnya.

Terbukanya Kesempatan Gemilang

Nurul Padilah dapat kesempatan direkrut PT IMIP. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Nurul Padilah mengaku dapat manfaat besar dari belajar bahasa Mandarin di Rumah Literasi Sidaya. Sebagai siswa pertama yang diajar Jemi, Dila cukup rajin datang belajar hingga mahir.
Delapan bulan kemudian, dia diwawancara oleh PT IMIP dan mendapat penawaran kerja di tim Corporate Social Responsibility (CSR). Dila merasa jadi koordinator Rumah Literasi Sidaya dan menjadi pengajar anak-anak merupakan pengalaman berharga.
“Sekarang saya jadi koordinator Rumah Literasi. Kerjanya itu mengelola Rumah Literasi, mengajar anak-anak, terus bikin laporan setiap minggu. Selama saya jadi koordinator, antusias anak-anak belajar itu sangat tinggi,” kata Dila.
“Saya berterima kasih sekali sama Ibu Jamilah Akbar. Karena berkat dia, saya sudah bisa belajar bahasa Mandarin, walaupun itu cuma sampai HSK 2 (Hanyu Shuiping Kaoshi–level kemampuan), ya. Tapi saya tetap semangat lagi untuk belajar. Berkat Ibu Jemi, saya bisa direkrut sama IMIP,” pungkasnya.
Cerita lain datang dari anak didik Jemi, Baso Haikal Akbar. Dia mulai belajar bahasa Mandarin setelah mendengar cerita teman-temannya. Menurut Akbar, mengikuti kursus di sini dapat menambah wawasan. Dia pun senang memahami bahasa-bahasa baru.
Akbar (kiri) bersama teman-teman belajar bahasa Mandarin. Foto: Amrizal Papua/kumparan
“Karena bisa berguna kalau saya pergi ke China, bisa pakai bahasa Mandarin untuk berbicara dengan orang-orang di situ. Insya Allah saya mau ke China kalau saya sudah besar dan memiliki modalnya,” kata Akbar kepada kumparan.
“Sudah mulai lancar. Level seperti, kalau perkenalan sudah bisa, kegiatan sehari-hari sudah tahu, tapi masih ada yang kurang,” ungkapnya.
Akbar merasa kemampuannya belum cukup jago. Oleh karena itu, dia terus rajin datang dan belajar bersama teman-teman.
Selain di Rumah Literasi Sidaya, anak-anak lain seperti Akbar mendapat kesempatan belajar gratis di Rumah Literasi Bahomakmur dan Rumah Literasi Sombori.
Rumah-rumah literasi tersebut merupakan bentuk nyata komitmen PT IMIP untuk membangun pendidikan. Perusahaan meyakini bahwa pendidikan merupakan kunci untuk mengembangkan sumber daya manusia yang handal di sekitar kawasan industri.